Satu jam berlalu begitu saja, dua jam selanjutnya hanya sekadar numpang lewat, tiga jam setelahnya berjalan sangat pelan, tapi tak sedikit pun melirik pada dua orang yang ia lewati. Enam jam sudah Mey dan Bi Cicih menanti orang yang dijanjikan akan menjemput mereka, tapi hingga waktu menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, tak satu pun penampakan manusia mampir melintasi gerbang rumah mereka yang terbuka lebar.
Memang sudah sejak lama keluarga kaya raya ini bahkan tak memiliki sopir pribadi. Hal yang aneh memang. Namun, sejak resign-nya sopir mereka beberapa tahun yang lalu, Reynold tak pernah berminat menggunakan jasa sopir pribadi lagi. Reynold lebih memercayakan kemudi mobilnya kepada tangannya sendiri.
Mey tampak telah pulas tertidur di atas sofa, sambil memeluk Zen yang tak kalah pulas.
Sementara itu, Bi Cicih masih terjaga di kursi kayu depan rumahnya, dengan tatapan kosong sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja kaca. Seakan memahami kondisi penghuni rumah yang nyaris kehilangan semangat, langit pun semakin tak bernafsu untuk menyinari mereka.
Awan gelap yang semakin menutup cahaya matahari, kian memadat dan menggulung hingga tetesan air mulai turun menyapa bumi.
Bi Cicih menghela napas, di samping kanan dan kirinya telah tertumpuk tiga tas besar yang sudah jelas bisa ditebak berisi pakaian dan buku-buku catatan Mey. Ia memegangi ujung kainnya, terlihat sangat gundah.
Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih, tak ada tanda-tanda kedatangan orang yang sangat dinantinya. Pasukan hujan pun turun menggempur bumi, memaksa kegundahan menyerahkan diri. Bi Cicih bangkit dari kursinya, mulai mengangkat tas berat itu satu per satu ke dalam rumah.
“Neng, bangun. Tidurnya di kamar saja.” Bi Cicih membangunkan Mey pelan.
Masih setengah sadar Mey membuka kedua matanya, bangkit dari tidur sambil mengucek-ngucek kedua bola matanya, melepaskan dekapannya dari Zen yang seketika itu langsung mengikuti apa yang dilakukan Mey.
Sambil menguap Mey melihat ke sekelilingnya. “Mama belum pulang, Bi?”
Bi Cicih menggeleng. “Sepertinya kita gak jadi berangkat.”
Mey melipat keningnya, “Gak jadi?” Mey mengecek jam tangan. “Buku Mey ada di mana, Bi?” tanyanya.
“Di tas ini,” jawab Bi Cicih sambil menunjuk salah satu tas yang berada di sampingnya.
“Makasih, Bi,” ucap Mey sambil segera menghampiri tas yang ditunjuk oleh Bi Cicih.
Baru saja ia hendak membuka resletting tas itu, deru mobil terdengar menembus hujan di pekarangan mereka. Bi Cicih, Mey, dan Zen menatap ke arah asal suara, hingga sebuah mobil carry jadul kini terlihat berhenti di depan teras mereka.
“Siapa itu, Bi?” Mey bertanya sambil menatap Bi Cicih. Namun, ia hanya mendapati Bi Cicih bergeming, terdiam seribu bahasa.
Mey menatapnya lekat, raut wajah itu seakan membawa jiwa Bi Cicih jauh di tempat lain. “Bi?”
“I-iya, Neng. Itu jemputan kita. Ayo kita berangkat.” Bi Cicih gelagapan sambil bergegas mengambil tas paling besar di antara tiga tas yang menumpuk di sana.
Sementara itu Mey hanya terdiam menatap heran dengan sikap pembantunya yang tak biasa.
Pintu mobil pun terbuka. Dari baliknya bangkit seorang pria dengan perawakan tinggi, usianya terlihat tak jauh lebih tua dari Bi Cicih. Rahang yang tegas dibalut oleh janggut dan kumis tipis yang tak begitu tertata. Rambut pria itu sedikit ikal dan terlihat tak sering disisir. Kemeja hitam yang ia kenakan terlihat serasi dengan kulit gelapnya.
Sesaat setelah ia berdiri, ia segera menghampiri Bi Cicih yang terlihat kerepotan dengan barang bawaannya. Pria itu mengulurkan tangan hendak membantu, tapi sedikit pun Bi Cicih tak menoleh.
Bi Cicih berjalan menuju mobil dan memasukkan tas-tas itu ke bagian belakang tanpa menunggu restu dari sang empu.
Mey tak tahu harus berbuat apa melihat situasi itu, selain mengikuti apa yang baru saja dilakukan Bi Cicih. Ia membawa salah satu tas yang paling ringan, sementara Bi Cicih kembali untuk mengambil satu tas terakhir.
Jangan tanya Zen berada di mana. Makhluk itu tak perlu komando kedua untuk segera berlari memasuki mobil tepat saat Bi Cicih memberi informasi tentang maksud dari kedatangan mobil itu.
Mey memasuki mobil dan duduk di kursi depan bersama Zen, tepat di samping pengemudi asing itu, sementara Bi Cicih duduk di kursi belakang. Setelah memastikan semua siap, sang sopir—atau siapa pun dia sebenarnya—menyalakan mesin mobil dan mobil pun melaju, menerobos terjangan air hujan yang masih turun begitu lebat.
***
Nyaris satu jam berlalu, seluruh penghuni mobil hanya terdiam dengan lamunannya masing-masing. Raut muka dari sopir itu nyaris sama dengan raut muka yang ditunjukkan Bi Cicih, muram, tampak gelisah.
“Mey?” Pria itu tiba-tiba bersuara.
“Ya?”
“Bagaimana kabar Papa dan Mama?”
Mey melirik ke arah Bi Cicih, wanita itu masih terlihat tak nyaman. Ia hanya duduk sambil memperhatikan ke arah luar jendela sambil menggigit bibirnya.
“B-baik, Pak.” Mey menjawab setengah terbata.
Pria itu hanya tersenyum, kemudian kembali mengarahkan pandangannya lurus ke arah jalanan padat nan basah yang mereka lalui.
Itu saja? bisik Mey dalam hati, bingung dengan sikap kedua orang yang mengantarnya. Jangan-jangan mereka punya niat lain-lain. Ah, masa sih?
Tiga puluh menit setelahnya berlalu, tak ada percakapan lain dari mereka.
Lambat laun, arah yang diambil oleh mereka semakin menjauh dari aktivitas lalu lintas yang padat menuju jalanan yang lebih lengang hingga kemudian memasuki jalanan yang semakin sepi, seiring dengan tingkat kepadatan air hujan yang semakin menipis diempas gelap yang menutup kejayaan matahari, pertanda siang mulai pergi.
“Sebentar lagi kita sampai,” ucap pria itu.
Mey menatap jalanan sepi nan gelap itu, jalanan yang tidak terlalu berbatu, tapi juga tidak terlalu mulus. Lapisan aspal yang mereka lalui sesekali membuat mobil bergoyang. Di kiri kanannya, tak banyak rumah menghiasi. Lebih banyak didapati pepohonan rimbun dan perkebunan.
“Apa ini masih Jakarta?” Mey memberanikan diri untuk bertanya.
Pria di sampingnya tersenyum. “Ini Banten, Nak.”
Mey hanya membulatkan bibirnya, bunyi oh yang tak keluar.
Sepuluh menit kemudian, mobil pun berhenti di depan gerbang sebuah rumah. Dari balik gerbang, tampak seorang pemuda berpeci dengan setelan baju muslim berlari membukakan pintu gerbang. Pria itu mempersilakan tamunya dengan senyum lebar dan tangan terbuka.
Pemuda itu mengangguk ramah, dibalas oleh anggukan ramah lain dari balik kemudi, meski tentu saja masih kalah ramah dari anggukan pemuda itu. Mobil mereka memasuki pintu gerbang yang berupa gapura dengan desain tradisional.
Tampaklah sebuah bangunan yang tak terlalu besar tapi memiliki lapangan yang luas, meski tentu tak seluas halaman rumah Mey.
“Kita sampai,” ucap sang pria di balik kemudi sambil mematikan mesin mobil, sesaat setelah mobil itu berhenti.
Kunci pintu mobil terdengar terbuka, mereka pun bergegas keluar dari kendaraan. Perlahan Mey melangkahkan kakinya turun ke atas lapisan tanah lapang yang masih basah oleh hujan yang kini tinggal tersisa rintik yang menyentuh wajahnya dengan lembut.
Ketika tangannya menutupkan pintu, sorot matanya tak lepas dari bangunan yang ia lihat. Sebuah bangunan tua yang di berandanya berdiri orang-orang aneh tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mey jadi pindahan, nih 😅
Next part, penasaran kan bagaimana setelah mereka masuk bangunan tua itu? 😁
Dont miss the story yaaa
Jangan lupa ninggalin jejak
See ya 🙋
KAMU SEDANG MEMBACA
"Does God Really Exist?"
Mystery / Thriller[THE WATTYS 2018 WINNER - THE ORIGINAL] [NEW STORYLINE] Buat yang udah pernah baca, per Maret 2018 cerita ini ditulis ulang dari part 2. Ada banyak perombakan yang semoga membuat cerita jadi lebih oke. ^_^ ============================ Kisah tentang...