2. Perdebatan

8K 229 3
                                    

Empat puluh enam menit, dua puluh tujuh detik. Waktu yang kubutuhkan untuk menenangkan diri di kamar mandi. Aku kemudian mengerikan tubuhku, juga rambutku. Kupakai baju tidur motif panda kesukaanku.

Jam masih menunjukkan pukul enam kurang. Aku memutuskan untuk sedikit menyicil tulisanku.

Kubuka laptop berwarna hitam itu. Sejenak kutatap layar putih kosong, dan menimbang sedikit apa yang hendak kutulis.

Satu dua kata kupadu. Hingga satu paragraf. Lantas berlanjut ke paragraf lain. Hingga menjadi satu bagian. Aku diam.

Sejenak, kubaca ulang tulisanku. Sedikit kukoreksi salah ketik, atau kalimat yang kurang padu. Hingga aku memutuskan untuk menyudahinya. Kurasa, sudah cukup.

Aku menutup benda itu, lantas meregangkan badan. Kulihat jam yang menempel di dinding berwarna kuning gading itu. Pukul delapan.

Lumayan lama juga.

"Sere, makan malam." Itu suara Ibuku. Dia berteriak dari ruang makan.

Kebetulan, aku sedang lapar. Kuputuskan untuk menurunkan sedikit gengsiku, dan keluar menuju ruang makan.

Sedikit kuperbaiki letak rambutku yang kurasa agak acak-acakan. Tadi, aku sempat melihat sekilas di cermin, ada beberapa anak rambut yang berantakan.

Ayah dan Ibu sudah ada di meja makan. Yere---adik lelakiku juga ada di sana. Aku duduk di samping Yere. Begitu sampai, aku langsung menyambar gelas dan menuangkan air. Keteguk isinya hingga tandas setengah.

Ibu menuangkan nasi serta lauk ke piringku. Kami makan dalam diam. Denting suara sendok dan piring yang beradu memecah keheningan.

"Hmm," Ayah berdehem. "Gimana rencana pernikahan kamu, Sere?"

Gerakan tanganku terhenti. Sialan. Kenapa hal ini yang harus jadi bahasan. "Ya gitu."

Ayah mengernyitkan dahi. "Udah ada rencana, kapan nikahnya?"

"Yah, udah deh. Jangan dibahas. Aku nggak mau nikah sama si tua bangka itu." Aku tak nafsu lagi makan.

"Sere! Jaga bicara kamu," Ibu ikut angkat suara.

Aku menatap keduanya dengan tatapan heran. "Kalian ini sebenarnya ngedukung siapa, sih? Anak kalian itu siapa?!"

"Sere!" Ibu menggebrak meja. "Apa kamu tahu berapa banyak hutang kita pada keluarga mereka?!"

Yere yang melihatnya hanya mampu terdiam. Dia lantas meletakkan sendoknya. "Yere udah selesai." Adikku itu lalu pergi.

"Terus kenapa?! Ibu mau Sere dijual gitu sama si tua bangka itu, hah?! Ibu pikir Sere sepadan? Semurah itu harga Sere?!" Aku ikut membentak, tak habis pikir. Bagaimana bisa orangtua tega menjual anaknya karena hutang.

"Bukan gitu, Sere. Ayah tahu. Ini berat bagimu, hanya saja, kita nggak ada cara lain," ucap Ayah.

Aku tertawa sinis. "Sebegitu putus asanya?! Ayah sama Ibu nggak sadar, aku mau kuliah. Aku dapat beasiswa, aku bisa kuliah gratis. Aku juga bisa kerja sambilan waktu kuliah. Setelah kuliah, ada guru yang bisa bantuin aku masuk kerja. Apa itu nggak cukup?!"

Setelah selama ini kututupi, akhirnya aku berani mengungkapkan rencana hidupku. Semenjak awal masuk SMA, aku sudah menetapkan semua itu. Hanya saja, agak sedikit sulit ketika di akhir semester kelas 11, Ayah memberitahu bahwa aku akan menikah dengan si tua bangka itu.

"Kamu pikir gampang?" Kali ini Ibu sedikit mengeluarkan nada menantang. "Apa kamu pikir hidup segampang itu?"

"Kamu nggak tahu, 'kan. Berapa banyak hutang kita sama keluarga Rogero?! Ibu berani taruhan, gaji kamu setahun, nggak akan bisa mengganti uang itu!" sambung Ibu lagi.

Jujur, aku agak terbungkam. Sebanyak itukah? Aku belum tahu nominal hutang kami sebenarnya. Hanya saja, Ibu dan Ayah selalu berkata, hutang kami itu adalah jumlah yang besar.

Ayah masih diam. Hanya Ibu yang senantiasa berdiri, dan menentang penjelasanku. "Kamu itu harusnya sadar diri, Sere. Kita ini miskin. Masih syukur keluarga Rogero itu tidak memenjarakan kita."

"Bukan gitu, Bu. Aku masih punya akal untuk nggak harus pasrah dengan keadaan." Aku masih tetap mempertahankan argumenku. "Semua ini, semua rencana hidupku, sudah kupikirkan matang-matang, dan aku yakin pasti akan terwujud. Percayalah, Bu."

"Cukup!" Kali ini Ayah yang teriak. Aku menatapnya dengan sedih. "Apa kita tidak bisa membicarakan dengan kepala dingin?! Haruskah kita berteriak seperti orang tak beretika seperti ini?"

Ibu duduk. Jika Ayah sudah berkata demikian, Ibu pasti akan diam seperti saat ini. "Sere. Tolong saja, kali ini Ayah minta pada kamu, untuk menuruti perintah Ayah."

"Tapi, Yah. Emang nggak bisa kalau---"

"Sere! 17 tahun kamu hidup, apa pernah Ayah memohon hingga seperti ini padamu?!" Satu pertanyaan itu menamparku.

Memang, selama ini Ayah tak pernah memaksakanku untuk mengikuti kehendaknya, bahkan bisa kubilang, ini adalah permintaan Ayah yang pertama. Sedari dulu, Ibu-lah yang sering menyuruhku dan meragukan pilihanku, tetapi Ayah, dia selalu mendukungku, menyetujui segala keputusan yang kuambil. Bahkan Ayah rela bertengkar dengan Ibu agar keputusanku tetap sesuai dengan keinginanku.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Ayah itu.

"Sekali lagi, tolong. Tolong Ayah, tolong Ibu, dan tolong Yere. Kita butuh penghidupan yang layak. Kita sudah bukan seperti dulu lagi," kata Ayah. Aku dapat merasakan sedikit getaran di nada suaranya, aku yakin Ayah sedang menahan tangisnya. Dari matanya, aku bisa melihat netra senada malam itu sedikit berkaca-kaca.

"Ayah tahu, ini berat bagimu. Karena sejujurnya, ini juga berat bagi Ayah. Sangat berat. Hati Ayah mana yang tidak sakit, ketika harus merelakan anak perempuannya menikah dengan orang yang bahkan tak dicintainya," sambung Ayah.

Sejujurnya, aku tidak sanggup mendengar pernyataan Ayah yang memilukan hatiku ini. Aku kembali menatap tubuh yang sudah mulai renta itu. Sosok Ayah yang kukagumi karena kehebatannya kini malah harus sedikit terisak.

Air mataku luruh. Seegois ini kah aku, sampai aku tak pernah memikirkan perasaan orangtuaku? Aku memang membenci si tua bangka itu, hanya saja, aku tak pernah memikirkan dampak dari hal itu pada keluargaku.

Ibu juga sudah ikut menangis, namun, sebisa mungkin dia menyeka air mata itu dengan tangannya.

Aku masih terdiam di tempat dudukku. Menimbang segala macam hal dalam pikiranku sendiri.

Aku bisa.

Aku pun berdiri, lantas memeluk Ayah. "Ayah, maafin aku. Aku-aku, aku belum bisa mikir ke depannya, aku selalu aja egois dan ingin memutuskan sesuai dengan pandanganku, tanpa memikirkan efek ke depannya. Maafin, aku, Yah."

Aku terisak dalam dekapan Ayah. Aku sudah memutuskan, setidaknya aku harus membahagiakan Ayah dan Ibu. Aku yakin, aku pasti bisa menjalani ini. Semuanya pasti bisa kulalui.

Aku merasakan Ibu ikut memelukku dan Ayah. Dan saat itu, hanya ada isak tangis yang mengisi kekosongan ruangan yang lengang.

Segala perdebatan yang tadi sempat memanas di ruangan ini, kini luruh dalam tangis kami bertiga.

Aku harus mencobanya.

Aku yakin pasti aku bisa menghadapi semua ini. Meski ini keputusan yang sulit, aku harus bisa membahagiakan Ayah dan Ibuku.

"Maafin aku, Ayah, Ibu," gumamku di antara tangis kami yang pecah.

Sudah seharusnya aku memundurkan sedikit egoku.

--

So, what's up?
Gue balik.

Bukannya apa atau gimana, gue ngerasa bagian ini kurang nge-feel. Haha.

Menurut kalian gimana?

Little question:
Menurut lo semua cerita ini bakal gimana?

See you soon.
#AbangSwag

Dictator Husband [17+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang