9. Rahasia

4.8K 164 10
                                    

"Gimana di sana? Seru? Tempatnya bagus, nggak? Kamu tidur cukup di sana, kan? Danny nggak bertindak berlebihan, kan? Kamu makannya teratur?" Ibu langsung memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Sungguh, kurasa Ibu adalah makhluk yang setipe dengan Danny. Rasa khawatirnya yang berlebihan memang sedikit mengganggu, tapi terlepas dari itu semua, aku sangat menyukainya.

"Ibu, pelan-pelan. Aku agak capek gara-gara harus duduk lama di pesawat." Kukeluarkan tas yang berisi oleh-oleh untuk Ibu. "Ini, tadi Danny beliin untuk Ibu sama Ayah. Kalau untuk Yere nanti biar aku yang kasih."

Ibu membuka tas tersebut. Matanya tampak kagum begitu melihat isinya. "I-ini semua untuk Ibu?" Tatapannya tidak bisa lepas dari perhiasan yang Danny belikan untuknya.

Tentu saja, aku sempat menolaknya. Rasanya terlalu berlebihan ketika Danny membelikan itu untuk Ibu. Gelang, kalung, cincin, dan anting perak tersebut sangat mengagumkan. Hanya saja, aku harus tahu menempatkan diriku ketika Danny memberinya.

Tapi, bukan Danny namanya jika gagal melakukan apa yang diinginkannya. Dia malah membungkamku dengan ciumannya ketika aku menolaknya. Tentu saja dia berkata bahwa itu adalah wujud rasa cintanya pada keluargaku.

"Iya, padahal tadi aku udah nggak nerima itu, Bu. Cuma si Danny-nya aja yang maksa." Aku mengeluarkan baju-baju yang ada di koper. Baju-baju itu juga merupakan pemberian Danny. Karena saat pergi ke Singapura, aku tidak membawa baju selain yang ada di tubuhku.

Sedikit aneh memang rasanya memiliki benda yang bukan berasal dari milik kita sendiri, bukan dari jerih payah kita; melainkan dari orang lain. Tapi, mau apa dikata, Danny adalah pemaksa yang hebat.

Ibu menatapku. "Haruskah kita kembalikan?"

Aku mengangkat bahu. "Aku nggak tahu, Bu. Takutnya kalau ngembaliin dibilang nggak sopan. Tapi kalau nerima, kesannya kayak kita terlalu materialistis."

"Apa perlu ditanya Ayah?"

Sejenak aku menimbang. "Boleh, Ayah pasti tahu gimana harusnya."

Ibu kemudian kembali memasukkan perhiasan di tangannya ke dalam kotak beludru berwarna merah tersebut. Mengembalikan ke dalam tas kertas tadi, Ibu membantuku merapikan baju-bajuku.

"Gimana di sana?" Ibu bertanya lebih pelan, tidak memberondong seperti tadi.

Aku tersenyum pelan menanggapinya. "Ya, seru. Danny ngajak ke Universal Studio! Dan Ibu tahu, di sana lebih keren daripada di foto-foto waktu aku baca di artikel Internet! Semuanya keren," kataku.

"Apa lagi waktu foto prewedding, di sana asli keren banget, Bu! Tempatnya hijau, luas, intinya di sana indah," jelasku. "Kapan-kapan aku pengin ngajak Ayah, Ibu, sama Yere ke sana."

Ibu tersenyum. "Ibu senang kalau kamu senang seperti ini, Sere. Sungguh, tidak ada yang lebih membahagiakan selain kebahagiaan putrinya sendiri."

Nada suara Ibu sedikit bergetar di ujung kalimatnya. Meski begitu air mukanya mencoba sekuat mungkin untuk tetap tegar. Tentu saja, aku tidak bisa dibohongi. Menurutku, Ibu pasti tengah menahan tangisnya. Buktinya, ketika aku berhenti memindahkan pakaian, Ibu mengalihkan tatapannya ke arah lain; mencoba menghindari kontak mata denganku.

"Bu," panggilku. Kemudian matanya beralih padaku. Kudapati iris cokelat terang tersebut sedikit berkaca-kaca. "Aku sayang Ibu." Lantas kupeluk raga setengah baya tersebut.

Ibu sejenak membeku, lalu lima detik kemudian, dia membalas pelukanku. "Ibu juga sayang sama kamu, Sere. Sangat menyayangimu.".

Ibu menarik diri, lantas tawanya terurai di antara tangis kami. "Ini kok malah nangis-nangisan, sih?"

Dictator Husband [17+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang