8. Rayuan

6.4K 181 21
                                    

Kurasa, jika tidak karena jadwal foto ini, aku sudah sangat menikmati pemandangan yang disuguhkan tempat ini. Maksudku, dengan hijaunya suasana di sini, juga luasnya sangat membuatku nyaman.

"Kamu suka tempatnya, 'kan?" Dia memelukku dari belakang.

Aku sedikit terkejut. "Uhm, yah, gitu. Keren."

Dia tertawa rendah. "Kamu tahu sedari dulu ini adalah tempat favorit saya jika stres."

Mendengar itu, aku sedikit terheran. "Maksudnya? Kalau stres ke Singapura dulu, gitu?"

Danny melepas pelukannya. Tawanya terdengar lebih keras dari yang tadi. Para kru foto juga sempat mengalihkan pandangannya ke arah kami. "Kamu konyol, Sere," katanya. "Tentu tidak. Apa kamu tidak tahu, saya dibesarkan di sini. Kota kecil ini adalah kampung halaman saya. Semasa sekolah, saya selalu ke sini sepulang sekolah."

Ada nada suram terdengar dari kalimat tersebut. Namun tidak terlalu kentara. Aku masih menyimak kalimatnya. "Problematika anak sekolah, ditambah masalah di rumah. Saya merasa tempat ini sangat cocok," lanjutnya.

Aku menatapnya. "Kamu kayak tanda tanya yang hidup, ya, Danny. Masih banyak yang aku nggak tahu dari kamu," ucapku.

Dia sedikit mengernyit. Senyumnya terpampang jelas. "Tidak apa-apa, Sere. Seiring berjalannya waktu, saya yakin kamu akan tahu saya seutuhnya. Yang terpenting adalah, saya tahu kamu."

Aku tersenyum. Kurasa Danny benar. Aku harus mulai peduli pada pria dihadapanku ini. Sebagai seorang wanita, sudah seharusnya aku peduli pada calon suamiku.

"Apa kamu masih mau di sini dan menatapi rumput? Atau pulang?"

Sejenak aku berpikir. "Pulang lebih baik. Tempat ini hebat, hanya saja membosankan. Kurasa denganmu di hotel lebih baik."

Dia tersenyum jahil. "Kamu benar," ucapnya sambil menarik tanganku dan mengecup punggung tanganku. "Di hotel denganmu lebih baik."

Aku menggeleng. "Bukan! Bukan itu maksudku, Danny." Aku bisa merasakan pipiku memanas.

Danny tertawa rendah lagi. Kali ini dia menatapku lebih intens. "Memangnya apa maksud kalimat saya?"

Resmi sudah aku malu dihadapannya. "Nggak apa-apa." Aku sebisa mungkin mengalihkan tatapanku ke arah lain. Tentu saja, meski terkesan biasa, sebenarnya rasa maluku sudah berada pada titik tertinggi.

Aku bukanlah tipikal orang mesum yang seperti dipikirkan Danny tadi. Jadi rasanya aneh saja ketika mendengar hal seperti itu keluar langsung dari bibirku.

"Saya hanya bercanda, Sere." Dia menarikku dalam pelukannya. "Kamu tahu, ada satu hal yang tidak pernah saya duga datang pada hidup saya."

"Apa?" tanyaku.

"Bertemu denganmu, dan jatuh cinta padamu." Jawabannya membuatku tersenyum dalam dada bidangnya. Rasanya tempat itu adalah tempat yang nyaman bagiku. Aku dapat merasakannya mencium puncak kepalaku. Dan itu rasanya geli.

"Kamu tahu, nggak? Dulu aku benci banget sama kamu," kataku. Dia lantas tertawa dan berkata, "Saya tahu itu, Sere. Bahkan kamu punya panggilan kesayangan pada saya: Tua Bangka."

Aku tertawa. Dia benar. Ternyata, tidak selamanya hal yang kita benci akan tetap kita benci. Kadang ada hal yang membuat kita mau tak mau harus berdamai dengan hal itu. Dan Danny adalah salah satu contohnya. Si Tua Bangka yang dulu sangat kubenci, kini bisa merebut hatiku dan memenangkannya.

"Tapi sekarang aku udah nggak benci lagi. Aku udah sayang banget sama dia," lanjutku.

"Hey," katanya. Aku lantas mendongakkan kepalaku, namun karena masih ada dalam rengkuhannya, aku dapat langsung melihat mata hitam tersebut menarikku dalam pesonanya.

Dictator Husband [17+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang