6. Kepercayaan

5.2K 177 2
                                    

Kusilang tanggal di kalender mejaku. Ada jarak delapan hari lagi, lalu tanggal itu akan tepat berada di tanggal yang kulingkari dan kuberi judul: D-day.

Meski begitu, rasanya masih saja sulit untuk merasa bahagia. Maksudku, bahagia yang benar-benar terjadi, apalagi di acara pernikahan.

Tetap saja, walau Danny sering sekali membuat mood ku baik, dan memperlakukanku dengan manis, tetap saja; rasa percaya itu masih belum  penuh padanya.

"Sere, hari ini ada jadwal foto prewedding di Singapura. Pesawat berangkat jam sebelas. Kamu bersiap, ya?" Ibu mengelus kepalaku.

Aku mengangguk. Memang, kemarin Danny mengatakan akan ada jadwal foto di Singapura. Tadi malam, Danny juga mengingatkanku untuk tidur lebih awal; agar tidak terlambat, katanya.

Kualihkan pandanganku ke arah ponsel tipis berlogo apel yang dibelikan Danny tempo hari. Ada suara dering telepon, dan muncul nama Danny di layar ponsel tersebut. Kugeser logo telepon itu ke sebelah kanan layar.

"Apa kamu sudah bangun?" Suara Danny yang khas lantas memenuhi telinga kiriku.

"Udah, kok," balasku. Aku lantas menuju ke luar kamar, berencana untuk sarapan.

"Bagus, pukul sepuluh saya ke rumah kamu. Jangan lupa sarapan. Dan tidak usah membawa pakaian, saya sudah siapkan pakaian kamu."

Tunggu, apa-apaan itu? Bagaimana caranya dia menyiapkan pakaianku?

"Kok gitu?"

"Kamu hanya tinggal mengiyakan perkataan saya, Sere. Sebegitu sulitkah?" Dua kalimat terakhir agak diberikan penekanan lebih, aku yakin itu. Meski sudah sering mendengar suaranya---apalagi belakangan ini. Tetapi tetap saja, suara bariton itu selalu mampu membuatku merasa harus mengikuti kemauannya.

"Baik, aku siap-siap dulu," kataku final, tak ingin melanjutkan kembali percakapan yang berisiko membuat jantungku berdetak tak keruan itu.

"See you soon, dear."

Aku hanya menggumamkan kata 'ya' tanpa embel-embel apapun lagi. Aneh, aku selalu sulit menjaga detak jantungku ketika berbicara dengan seorang Danny. Rasanya, selalu saja ada bagian diriku yang lemah terhadap perlakuan---bahkan sekadar mendengar suara---nya.

Aku masih tak habis pikir. Atas dasar apa aku masih belum bisa mempercayai seorang Danny seutuhnya. Padahal, sekeras mungkin aku berusaha, untuk lebih membiarkan Danny masuk lebih dalam ke kehidupanku. Tetapi, masih saja ada bagian diriku yang belum bisa setuju dengan sempurna.

Apa aku terkesan aneh karena selalu mengatakan hal yang sama; belum percaya  seutuhnya pada seorang Danny.

Aku tahu, mungkin saja sebagian dari kalian tentu bosan mendengarnya; aku yakin itu. Hanya saja, fakta itu selalu saja membayang-bayangi kepalaku. Di setiap sela istirahatku, atau malah di saat aku sedang melakukan sesuatu. Fokusku selalu saja terbagi antara yang sedang kukerjakan, dan tentang kepercayaan pada Danny.

Kulirik jam di bagian atas kanan ponsel tersebut, sudah pukul sembilan lebih sepuluh menit. Aku pun lantas menyambar handukku, dan segera masuk ke kamar mandi. Kurasa, berendam selama tiga puluh menit dapat menenangkan diriku.

---

"Sudah semuanya dibawa?" Ibu bertanya padaku ketika aku menuju ruang tamu.

Aku menggeleng. "Kata Danny tadi Sere nggak usah bawa baju, dia udah nyiapin."

"Wah? Benarkah?"

Dictator Husband [17+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang