3. Kepastiannya

11.4K 1.7K 137
                                    

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

-

Sisa-sisa tawa masih menggantung di bibir tipis Janus ketika kejadian setengah jam yang lalu mengganggu otaknya. Dengan sekotak tisu di tangan kanan, dia berjalan ke arah teras. Senyum Janus kembali mengembang, tatkala mendapati Lubna masih sesenggukan pelan sambil memandangi langit malam yang semakin tua.

Janus tidak habis pikir, ternyata masih ada manusia di dunia ini yang histeris hanya karena makhluk menggemaskan bernama kucing.

"Hapus pakai ini, gih."

Ekor mata Lubna bergerak ke samping. Cepat dia sambar tisu di tangan Janus dan menghapus air mata yang tersisa di pipinya.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja," celetuk Lubna jengkel. "Dasar amphibi!"

Janus sesaat terdiam. Baru kali ini ada yang menyebutnya amphibi, alih-alih buaya.

"Nih," kata Lubna setelah sedikit tenang menyerahkan kartu nama ke tubuh Janus. "Itu kartu nama gue."

Janus menggaruk tengkuknya sambil mengeja kalimat di sana.

"Kalau lo enggak mau kolab, freelance aja. Kerja lepas," tutur Lubna ketus. "Jadi, begitu proyek ini kelar, kita selesai. Lagian bayaran lo pun enggak perlu tunggu buku ini terbit. Gimana?"

"Gue pikir-pikir dulu," jawab Janus masih memperhatikan perempuan yang rambutnya acak-acakan tak berbentuk.

"Oke. Jangan lupa hubungin gue kalau lo udah tahu jawabannya," kata Lubna membuka tas make up dan mulai membenahi penampilannya yang berantakan. "Tapi inget! Next meeting gue enggak mau ke sini lagi. Apalagi kalau sampai ketemu kucing jelek tadi. Ngerti!"

Janus terkikik kecil. "Lagian siapa yang suruh lo ke sini? Dan mana gue tahu lo takut kucing."

Lubna memeluk tasnya erat, dan mendekati tubuh Janus kesal. "Pertama, gue udah telepon lo sejak dua hari yang lalu dan enggak pernah diangkat. Kedua, gue enggak takut kucing. Gue cuma geli sama bulunya, ngerti!"

"Oh, jadi itu lo? Sorry, gue kira orang endorser. Lagian kenapa enggak kirim pesan dulu sih? Malah telepon berkali-kali kayak debt collector. Emang di SOP penerbitan lo enggak ada caranya komunikasi sama klien?" tanya Janus meringis risi sambil berkacak pinggang.

Bibir Lubna menekuk tajam. "Dasar amphibi!"

Belum sempat Janus membalas, suara nada dering terdengar dari tas di pelukan Lubna. Buru-buru perempuan itu berjalan menghindari Janus dan mengangkat telepon masuk dari ponselnya.

"Halo," sapa Lubna sambil berjalan ke pojok teras rumah Janus.

"Lagi meeting sama klien," jawab Lubna melirik Janus di belakangnya yang cengengesan tidak jelas.

 [SUDAH TERBIT] Katanya, Ini Dongeng Soal CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang