8. Apa Kita Emang Cocok?

9.1K 1.5K 285
                                    

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

-

Pagi ini, seperti biasa Senin mulai mengantar Lubna ke kantor. Perempuan yang masih penasaran dengan kejadian malam minggu kemarin itu, bungkam seribu bahasa sedari tadi. Meskipun dalam diam manik mata Lubna tidak pernah bisa berada di tempat. Selalu bergerak turun-naik lantas ke kanan dan kiri mengawasi Senin.

Rupanya Lubna berniat untuk sebisa mungkin harus dapat mendeteksi kejanggalan sekecil apapun dari lelakinya sekarang.

Harus. Tekad perempuan itu bulat.

"Na, Ibu--" Senin menggantung ucapannya di udara, kala tanpa sengaja pandangan lelaki itu bersirobok dengan Lubna yang justru salah tingkah di kursi penumpang.

Sambil mengulum senyum Senin menatap wajah Lubna. "Kamu kenapa?"

"Enggak," jawab Lubna pendek. Dia lantas mengalihkan tatapannya ke depan. "Tadi kamu mau bilang apa?"

"Ibu malam ini mau ditemenin makan malam keluar. Kamu bisa kan?"

"Sama kamu juga, kan?" gumam Lubna terdengar kurang nyaman.

Senin mengangguk mantap. "Kenapa? Kayaknya kamu takut banget berdua Ibu?"

Bibir Lubna mencebik. Perlahan mata perempuan itu terangkat ke langit-langit mobil. Bila dipikir-pikir bukan takut penyebab utamanya, tapi kurang nyaman. Dia merasa setiap ucapan yang keluar dari mulut Dini selalu bertema kritikan. Lebih tepatnya Lubna merasa kecil di depan Dini.

"Perasaan kamu aja kali," kata Lubna mengambil botol air minum di samping persneling.

"Oh iya, Ibu juga minta buat ajak sepupu kamu yang kemarin."

Mata Lubna memelotot. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Mendadak air minum di tenggorokannya menolak untuk masuk ke dalam lambung. Otomatis membuat dia tersedak. Cepat-cepat Lubna menggeleng dan tersenyum kepada Senin. Seolah ingin meyakinkan bahwa kondisinya aman-aman saja.

"Dia sibuk," jawab Lubna mengelap sisa air yang tercecer di bibirnya. "Ibu bilang apa aja sama kamu?"

Senin yang sudah mengalihkan tatapannya ke depan, lalu menggeleng. "Enggak bilang apa-apa. Ibu cuma mau bilang terima kasih sama sepupu kamu karena udah dibantuin masak waktu itu."

Lubna tanpa bersuara coba memasukkan udara sebanyak mungkin ke paru-parunya, yang sedari tadi terasa sempit.

"Perasaan aku, kamu enggak pernah kenalin sepupu kamu itu sebelumnya?" tanya Senin memutar kemudi mobil ke kiri ketika gedung perkantoran Lubna sudah tampak.

Tangan kanan Lubna tanpa sadar menggosok punggung tangan kirinya berkali-kali. "Dia keponakan suaminya Tante Gracy. Tahu kan? Adik bungsunya Mama aku. Jelas aja kamu enggak tahu, kamu kan lebih sering ketemu keluarga Papa," tutur perempuan itu panjang lebar tanpa berniat melirik Senin.

 [SUDAH TERBIT] Katanya, Ini Dongeng Soal CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang