Kutermenung dalam keramaian. Mengabaikan sesuatu yang mengusiku. Kuhanya ingin sendiri, menikmati sebuah mimpi. Seorang penghayal tinggi, menganggap semua seperti mimpi. Tak ada di benaknya mengubah mimpi dalam hati. Yang tersisa hanya mengubah perasaan. Perasaan yang masih selalu melakat dalam.
Ku hanya tersenyum mengingatnya. Rasa ini yang telah menghuni hati, seperti sudah menjadi tuan rumahnya. Tak masalah bagi sang pemilik hati di huni oleh sebuah rasa, sebuah rasa yang sudah lama tidak di beri kabar.
Ini semua resiko. Resiko yang harus di hadapi orang sepertiku. Menganggap rasa hanya untuk satu. Satu orang, yang telah merebut hati terdalam nya. Satu orang yang telah mengambil gelar untuk cinta pertamanya.
Di mata orang, mungkin dia orang yang ada di hatiku termasuk orang yang beruntung, bukan aku sombong atau apa, tetapi sampai sekarang sudah ada puluhan orang yang pernah menngajaku pacaran. Tapi, kutolak semua, selain mereka tidak sesuai dengan yang aku inginkan, pacaran berbanding terbalik dengan prinsipku yang tidak akan berpacaran sampai lulus SMA. Kenapa tidak sampai menikah saja tidak pacaran? Jawabannya cukup sederhana. Aku juga manusia yang ingin merasakan bagaimana rasanya pacaran. Meski begitu, aku masih berdoa pada sang Maha Kuasa agar aku bisa bersamanya tanpa melewati pacaran.
Berbicara tentang pacaran, aku ingat apa yang mendorongku mewujudkan prinsip mulia seorang remaja. Aku, yang notabennya agak gaul seperti anak SMA pada umumnya. Sebenarnya aku terbelenggu peraturan sekolah yang ku tempati, Pesantren. Meski bukan hanya itu, aturan yang sudah di tentukan di dalam kalam-Nya.
Aku terbangun di sebuah ruangan. Ruangan yang tak pernah sepi. Hanya beberapa cahaya yang menembus kelas hitam kami. Bukan hal yang mengagetkan di temukan seorang guru yang sedang mengajar di depanku. Aku hanya menggeliat pelan dan membuka tas mengeluarkan pelajaran guru yang tampak santai mengajar.
"Kamu sudah hampir 3jam pelajaran tidur, apa kamu tidak merasa pusing?" tanya Hanan padaku.
"Kurasa tidak,aku hanya mengikuti saranmu, menggapai mimpi ketika tidur, itu hal yang menyenangkan, sungguh tidak seperti kenyataan yang sulit menggapai mimpi jika tidak dikehendaki sang ilahi"Hanan tertawa samar, ia sadar, itu memanglah sarannya. Aku melanjutkan aktifitasku. Membuka buku mencari halaman yang sedang di terangkan oleh guru dihadapanku. Tidak kutemukan halaman yang sedang kucari, kuputuskan menopang dagu dengan mata yang masih setengah terkantuk.
"Kamu, baca kelanjutannya. Saya lihat dari tadi kamu hanya menguap" tunjuk sang guru
Aku melirik kanan dan kiri berharap itu bukan tuduhan padaku. Tapi nyatanya, itu memang untuku. Tanganku gelisah mencari halaman yang sedang di bahas.
"Ra, halaman 27" bisik Hanan. Aku membuka halaman tersebut dan membaca lanjutan yang tadi.
Selasai membaca, aku termenung. Sebuah senyum terukir di bibirku. Meski pengalaman ini termasuk pengalaman yang mungkin buruk, bagiku tidak. Senyumanku karena teringat pengalaman dahulu, dimana aku masih menginjak kelas 6 SD. Sungguh miris bukan? Merasakan first love sebelum menjadi remaja sebenarnya.
Cukup bersyukur merasakan itu di saat umur belum memenuhi. Setidaknya, saat umur menginjak remaja, baru terpikirkan olehku mengenai prinsip itu. Andai aku memiliki pikiran untuk berpacaran dengannya, mungkin prinsipku akan berbeda. Tapi aku sangat menghargai pengalaman yang pernah kualami itu.
"Hira, coba kamu baca jawabanmu" aku yang sedang mengobrol dengan Farha langsung mengerjap seketika. Aku yang gelagapan menjawab karena memang sebenarnya belum mengisi soal tersebut satupun.
"Hira dari pada kamu terus mengobrol lebih baik kamu pindah tempat duduk. Di sebelah sana"
Bu Sofi yang menjadi guru wali kelasku saat itu menunjuk bangku terdepan yang berada di pojok. Aku dengan berat hati bertukar tempat duduk dengan yang ada di bangku tersebut. Aku menoleh ke arah belakang, kulihat dia sedang mengayunkan tangannya tanda senang.
"Untung kamu pindah, aku kesusahan menjawab soal no 2 ini" memberikan buku paket itu kepadaku.
"Aku saja belum menjawab no 1, mana jawabanmu?" aku menyalin jawaban no 1 nya sebagai ganti jawaban no 2.
"Kamu tau tidak, aku sudah muak dengan Resti. Dia bilang kepadaku, aku tampan, huh...padahal aku tidak ingin dipuji orang pesek seperti dia"
Aku tertawa sejenak, tidak ada niatan untuk membela Resti yang tempat duduknya sudah terganti olehku.
"Jangan terlalu kejam padanya. Ayo kita selsaikan dulu ini, aku sudah sampai no 4"
Dia terperanjat kaget dengan ucapanku. Aku pikir dia tidak menyadari dari tadi dia hanya membicarakan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Kamu sungguh jenius Ra, tidak salah tadi ibu menggantikan Resti denganmu".Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Dia yang mempercayaiku sebagai teman wanita curhatannya. Aku mungkin bangga pernah menjadi orang kepercayaan nya tanpa harus memujinya terlebih dahulu seperti temanku yang lain. Dan aku sungguh akan selalu ingat.. Diaa yang membuatku bangga memiliki teman laki laki. Seorang Muhammad Arfarahman
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tanpa Luka
Teen FictionSeperti hujan yang selalu berpindah hari. Tak ingin menatap dalam hari. Jikalau bosan, hanya tunggu di lain hari, tak seperti bulan yang tetap setia dengan hari. Tak mudah baginya berpindah hari. Hanya ingin selamanya bukan waktu tuk sehari. Seperti...