Hari indah mengahampiri dunia kelam. Biru, satu warna yang selalu kudambakan menutup permukaan atas. Menghalangi indahnya bintang di siang hari. Langit tahu, aku mudah bosan, bila aku terus melihat gelapnya malam disertai bintang cantik, mungkin aku akan bosan menatap dunia luar. Tak pernah sekalipun aku berpikir menembus birunya langit. Karena aku tahu, setelahnya ada kegelapan dengan bintik cahaya, dan birunya langit tak bisa mengobati kerinduanku padanya.
Aku selalu merasa siap untuk memulai hari baru, semangat yang terus ku kobarkan untuk mengisi takdir di hari yang telah disiapkan Allah. Arah mataku melirik sekeliling suasana ramai. Hari ini aku tidak telat, kugunakan untuk melihat bagaimana keributan kelas di pagi hari.
Amal, dengan cepat menghampiri bangkuku. "Apa mal?" tanyaku. "kamu udah MTK? kata bu Hajar sekarang harus dikumpulin" Amal gelisah sambil membuka buku tugas MTK nya.
"Bu Hajar mah gak akan marah, gak akan di periksa Mal, percaya deh" Amal menghembuskan nafasnya, ia mungkin jengah dengan prilaku teman-temannya. Tidak ada yang peduli satupun dengan pelajaran MTK.
"Qis!" panggilku pada sahabatku yang baru menginjakan kaki di kelas. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "tuh Amal nanyain MTK. Kamu udah?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk dan membuka tugas MTK tersebut. "sini Mal, aku belum LKS 13" Amal menghampiri Bilqis dengan riang. Satu kecocokan bagi Amal dan Bilqis yang sangat mendambakan MTK. Sudah pasti, akhirnya mereka berdiskusi tugas yang banyaknya 5 LKS. Mungkin kepalaku sudah botak memikirkannya.Disini, SMA berbasis pesantren sekolahku, aku sang jenius saat SD di bidang MTK mungkin sudah terhapus. Buktinya, sekarang tidak ada lagi rasa penasaran mengisi soal atau pun semangat untuk mengerjakannya. Bisa untuku mengisi jika aku berusaha. Tapi, aku bukanlah orang yang dengan mudah menghapal, membaca dan mencari materi sendiri. Aku bagaikan virus, jika sel inang mati, mungkin virus itupun akan mati. Jadi, guru itu bagiku seperti sel inang. Jika sang guru tidak mengajar dan bermodalkan diskusi, aku akan mati kutu seperti sang guru yang diam tak mengajar.
Itulah gambaran MTK saat ini. Beliau menerapkan kurikulum terbaru yang mewajibkan anak untuk aktif dan kreatif. Guru hanya memantau dan membenarkan yang salah. Dan itu, sama sekali bukan tipe belajarku. Jika sudah berbeda dengan apa yang kuharapkan, aku akan meninggalkannya atau jika mengharuskanku tinggal, aku akan mengabaikannya. Cara yang tepat mengabaikan pelajaran MTK adalah dengan tidur. Kebiasaan dan hobi yang lumayan bermanfaat bagi tubuh.
Bu Hajar datang dengan senyum menawannya. Jujur, aku tidak menyukai beliau jika sedang pelajaran MTK. Tapi, aku termasuk penggemar beliau jika sudah menyangkut pengalaman, keahlian, dan sikap beliau. Sabar menjadi andalannya. Tenang menjadi kewibawaannya. Berwawasan tinggi menjadi gelar atas kecerdasannya. Peduli sudah menjadi sifat yang melekat pada diri beliau. Aku tidak akan tertidur jika beliau sedang membicarakan tips dalam kehidupan sehari-hari atau resep makanan. Keahliannya dalam memasak sudah bisa dibilang sangat profesional. Selain itu, kebaikannya yang selalu berbagi pada muridnya. Beruntung jika dikata orang pada kelasku yang memiliki wali kelas seperti dirinya.
Aku mulai terkantuk dengan pembahasan di depanku. Tak sadar, aku mulai menutup mata dengan keadaan tanpa penopang kepala.
"ini spidolnya abis. Kan kata ibu juga isi sebelum masuk pelajaran. Sekarang bagian nomor absen berapa yang mengisi spidol? Yang bagian isi spidol tapi gak ngisi, ke depan, kerjain no 3" perintahnya. Aku yang semula mengantuk berusaha membuka mataku. Aku ingat, kemarin no absen 12, dan no absenku 15. Sedangkan spidol kelas ada 6. Mau tidak mau, mungkin aku harus menerima akibat dari kelalaian itu. Tapi, yang menjadi permasalahan saat ini, aku tidak mengerjakan tugas itu. Dan, tidak sedikitpun aku tahu bagaimana cara mengerjakannya. Mampus deh.. Ketahuan kan kalau aku malas. Sang jenius sekarang sudang menjadi sang pemalas.
"Bu, kan sekarang absennya dari akhir, kemarin udah 2 kali dari awal." tegas Ina. Bu Hajar nampak berpikir "oh iya, ya sekarang berarti Zahra kedepan isi soal sama isi spidol." Aku menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan bagiku, aku yang terlihat terampil dalam MTK tidak bisa mengisi soal yang masih terbilang mudah. Aku terampil mengerjakannya hanya saat ulangan. Selain peduli, Bu Hajar juga selalu memberikan tutor sebelum ulangan. Jadi, aku akan mengerti MTK hanya saat mendekati hari-hari ulangan.
Selain ketakutanku mengisi soal, sebenarnya aku termasuk orang yang merasa ngilu saat mengisi spidol. Ada satu peristiwa yang membuatku merasa takut saat mengisinya.
"Ibu minta kalian bikin miniatur listrik pararel, kelompoknya terserah kalian. Satu kelompok 6 orang" jelas Bu Shofi pada anak didiknya. Semua murid segera mencari orang yang bisa membuat masing-masing merasa nyaman. Aku hanya duduk dengan Farha menunggu teman yang lain menghampiri kelompokku. Di kelompoku sudah ada Farha, Silma, Rahma dan aku. Saat Farha hendak memanggil Resti, seseorang mencegahnya dengan duduk dihadapanku. Ya, dia Arfa dan Aksa, sang parasit yang Farha dan aku sukai. "Aku disini aja ya, di yang lain mah udah penuh." dia berbicara sambil menunjuk orang satu persatu "tuhkan jadi udah pas 6 orang." sahutnya tanpa merasa malu karena mencegah kami memanggil orang yang kami inginkan. "Ketuanya mau siapa?" tanya Rahma. "Kamu aja Silma" tunjukku "ia, kamu aja Sil" tunjuk Farha. "Mending Hira ya Ar" usul Silma.
"iya, kamu aja Ra. Biar cepet, sama aku di tulis ya, ketuanya." tanpa basa basi, Arfa menuliskan namaku sebagai ketua di kertas laporan kegiatan."Sok Ra, di gimanain ini teh lampunya?" tanyanya padaku. "Ar kamu mah masuk kelompok ini teh biar gak kerja ya? Seenaknya nyuruh Hira" kesal Silma. "udah kamu mah jangan ikut campur Sil, orang dia ketuanya" sahut Arfa kesal. Aku hanya bisa melihat petengkaran mereka. "Ar, mending kamu sambungin lampu ini sama kabel, nanti aku yang nyambungin sama batrei." ia mengangguk faham dengan arahanku. Kami semua sibik dengan tugas masing-masing.
"Udah Ar?" tanyaku.
"udah, tinggal disambungin sama batrei nya."
"kamu pegang batrei nya, aku yang pegang lampu" pintaku. Ia langsung mengambil alih batrei dan menyambungkannya dengan kabel
"Ahkkk, nyetrum" sahutnya. Aku kaget dan langsung mengambil alih batrei. Ternyata benar, nyetrum. Tapi, setruman menyakitkan itu terubah dengan lampu yang menyala. Kelompok kami berhasil menjadi yang pertama dalam percobaan.
"Bu, udah nyala" teriak Arfa pada Bu Sofi. Bu Sofi menghampiri dan memeriksa hasil kerja kami. "sekarang tulis kelompok kalian di gabusnya."Arfa langsung berlari mengambil spidol di meja depan. "cepet Ar! Keburu sama kelompok lain" panggilku sedikit kesal "bentar, abis spidolnya" ia cepat-cepat mengisi tinta dan menghampiri kelompok. Langsung kusambar spidol itu dengan kesal. Aku coba menulis, tapi tidak keluar tintanya. "Ar yang bener dong ngisinya, gak keluar tintanya" aku yang sedang kesal membentak pada Arfa. "mana sini, belum turun kali tintanya" Arfa menggoyangkan spidol tersebut ke atas dan bawah. Tetap, tidak keluar. Dia mencoba menggoyangkan ke samping dan... "crak crak" tinta itu keluar bocor. Mengenai lantai kelas. "Silma, ambil pel" kalau Bu Shofi tau, bisa marah kan. Saat Silma kembali "Ra, baju kamu" aku melirik bajuku kebawah, kanan dan kiri. Lengan kiriku, penuh tinta. Seragam putih baru yang baru kupakai minggu kemarin habis oleh noda tinta dalam sehari. "Arfa, kamu mah liat seragam baru aku" sungguh kesal, seragam baru, bukan seragam lama. "Ra, maaf. Gimana atuh? Di cuci kayaknya bisa. Langsung di rendam" Rahma melotot ke arah Arfa "enak aja di cuci, gak bisa. Tinta itu gak bisa di cuci. Paling gantiin bajunya" Arfa yang merasa bersalah menatapku dengan sendu, aku tidak merasa iba sama sekali pada Arfa. Ini kan salahnya. "kalau aku bilang sama mamah, mungkin aku bakal di marahin" ia tampak berpikir sejenak "kan kamu punya toko baju, ambil aja di toko sendiri kan gratis" ujar Arfa dengan senyum dan alis yang terangkat. "Arfaaaa" aku mengejar Arfa yang berlari ke arah Bu Shofi. Sungguh aku ingin menghabisinya. "Bu itu Hira gak bisa diem"
"Bu Arfa yang salah, baju aku jadi kotor sama tinta" Bu Sofi tidak menanggapi dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku kami. Pertengkaran kami berakhir dengan saling kejar dan mencubit satu sama lain "udah, aku cape, yang penting udah beres. Kelompok kamu mh selalu jadi kelompok yang hebat" ucap Arfa terengah engah. Aku terenyuh sedikit merasa senang dengan pujiannya.Apa yang aku lakukan setiap hari, selalu saja terpaut peristiwa lalu. Aku tidak menyesal dengan kejadian itu, karena Allah mengabulkan doaku dengan menjadikan kejadian yang lalu sebagai manfaat dan pelajaran di masa depan. Tidak masalah bagiku, mengalami itu semua. Karna itu dengan dia, sosok yang aku rindukan dan aku simpan dalam hati sampai saat ini. Karena semua itu tidak akan terjadi lagi. Dengan alasan aku yang sudah tidak satu sekolah dengannya dan aku yang sekolah di pesantren mengharuskanku berbeda kelas dengan lawan jenis. Dan aku yakin, tidak akan mudah bagiku mencintai yang lain, karena bisa mencintai sosoknya pun membutuhkan waktu 3 tahun. Dan sudah bertahan 5 tahun sampai sekarang kami kelas 2 SMA. Dengan alur kebencian, persahabatan, dan sebuah rasa selama 3 tahun. Cukup panjang menjelaskan pertemuan kami, masalah kami, persahabatan kami, dan rasa kami. Terlalu banyak cerita yang kami rangkai. Dan aku merasa, cerita kami unik untukku, mungkin tidak untuk dia. Dan aku bersyukur mengalami itu sebelum aku menjadi remaja yang memang sudah menjadi dosa meski hanya menyentuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tanpa Luka
Teen FictionSeperti hujan yang selalu berpindah hari. Tak ingin menatap dalam hari. Jikalau bosan, hanya tunggu di lain hari, tak seperti bulan yang tetap setia dengan hari. Tak mudah baginya berpindah hari. Hanya ingin selamanya bukan waktu tuk sehari. Seperti...