Pensil

22 3 0
                                    

Suara pintu membangunkan tidur nyenyakku. Itu suara Papa yang akan pergi ke masjid. Kulihat jam di HP yang terletak di pinggiran bantalku. Jam setengah 5, tidak ada waktu lagi untuk kembali tidur. Dengan jalan lunglai, aku segera mengambil wudhu dan melaksanakan sholat.

Selesai sholat, aku menyandarkan punggung ke kasurku. Berdoa dan berdzikir pada sang Maha Cipta. Aku teringat dengan snapgram yang dia tambahkan. Foto itu di tambahkan pada jam 11 malam. Dia dengan temannya sedang berada di suatu cafe dan snapgram yang lainnya menunjukan dia mengendarai mobil diiringi musik yang agak keras. Lagu yang ia dengarkan terkesan seperti lagu yang sedang jatuh cinta. Aku berpikir, andaikan lagu itu disampaikan untukku, mungkin jantung ini sudah tidak bisa normal lagi. Segera ku menepis pikiran andai-andai itu. Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Akhirnya, kuselipkan dia dalam doaku. Aku hanya memohon, cukup... Berikan hidayah padanya, bukakanlah hatinya, dan semoga dia bisa berhijrah dengan kesadarannya sendiri. Harapanku, jika aku bisa bersamanya suatu saat nanti, kembalikanlah dia di jalan-Mu sebelum dia di takdirkan denganku.

Sudah jam 06.15 pagi, dan aku belum menyiapkan buku. Papa sudah memanggilku agar cepat keluar. Aku mondar-mandir kesana kemari mencari sesuatu takut ada yang tertinggal. Buku pun baru kumasukan ke dalam tas. Memang, salahku yang tidak menyiapkan buku tadi malam.

Malam itu, aku hanya memainkan ponsel, stalking ig Arfa dan orang-orang yang berhubungan dengannya. Teman-temannya kurang bisa di sebut teman yang baik. Nyatanya, dalam ig mereka, foto-foto yang di upload lebih mainsteram dari ig Arfa. Foto dengan kekasih(meski Arfa pun tak kalah dengan kekasihnya), foto sedang merokok. Sampai tertuju pada satu foto yang sedang berbarengan. Seperti sebuah geng motor, ya tidak salah lagi, memang benar foto itu menunjukan geng motor. Foto itu kuperbesar, tapi untungnya Arfa tidak ada di sana. Hanya satu yang ku kenal di foto tersebut, Aksa. Aksa adalah sahabat Arfa sewaktu SD dan SMP. Yang sekarang berpisah saat SMAFarha, sahabatku dari SD itu pernah menyukai Aksa ketika aku menyukai Arfa. Terlihat seperti dua sahabat yang menyukai dua sahabat.  Rasanya, kenapa bisa sampai kebetulan seperti itu. Dan aku ingat, hari spesial itu bahkan sama dengan hari spesial Farha dan Aksa.

Sudah kuduga, pasti penjaga piket sudah berjaga gerbang. Ya, aku si murid yang paling sering kesiangan dan mendapat surat dari sekolah. Entah sudah berapa kali surat itu kuabaikan. Jikalau surat itu di berikan pada mama, mungkin beliau hanya akan menasehatiku. Karena prinsip diriku sendiri, yang penting sekolah, dapat ilmu, pertahankan nilai, dan kesiangan tidak akan mempengaruhi nilai kan? Ya, mungkin mempengaruhi kedisiplinan saja.

Bangku pojok yang tersisa saat itu. Sudah menjadi bangku keramat bagiku. Siapapun yang mendapat bangku di sana, sudah kupastikan, jam pelajaran akan terisi dengan tidur. Tempat yang nyaman tak terlihat guru, angin sejuk yang berhembus dari jendela, dan bangku itu berbeda, duduk disana jin tidur mungkin akan memasuki tubuh kita.

Willy yang duduk di sebelahku tersenyum. Dia sahabatku dan masih banyak sahabatku yang lain.
"Wil,malam Arfa masukin foto kayak lagi di cafe, kira-kira dimana ya?" tanyaku meski aku sudah tahu, bahwa Willy juga pasti tidak tau dan apa peduli. Willy sudah tau kepada siapa sayap hatiku ini terbang bertengker. Bahkan bagi satu kelas ini sudah jadi rahasia umum.
"Tapi Ra, sekitar jam 8 malem, Kasella bikin snap sama Arfa. Bukannya udah putus ya Ra?"
Aku terkejut. Tapi, sudah biasa. Yang membuatku penasaran, sebenarnya apa hubungan mereka, kadang bareng, kadang berpisah. Willy bilang, Kasella itu baik. Hanya terlihat sombong jika kita tidak mengenalnya. Willy tahu karena satu SD dengannya. Namun bagiku, apapun itu aku tidak peduli.

"Ya udah lah, nyambung kagi kali, aku juga udah gak peduli. Mau MOVE ON"
Fara yang sedang duduk di depanku menoleh kebelakang. "Semoga berhasil ya Ra, jangan kayak kemarin-kemarin cuman omdo"
Aku tersenyum kikuk seperti tidak punya beban. "Doain aku ya, biar bisa move on"

Aku yang terlihat tegar dan serius mengatakan itu, sebenarnya suatu kesalahan. BOHONG. Sungguh bohong. Cukup mustahil bagiku melupakannya dan semua kenangan dengannya. Mungkin Allah tidak menghendaki, atau ada setan yang membisikanku agar pikiranku dan hatiku tertuju padanya. Naudzubillah.

Jam kosong sedang menghampiri kelasku. Aku yang sedang bosan hanya memainkan pensilku. Miris, kata-kata Willy yang tadi masih terngiang dikepalaku. Sakit, ya itu yang aku rasakan. Tapi aku bukan perempuan lebay yang merasa tersaingi oleh perempuan lain. Kuakui dia itu cantik, pintar karena berhasil berada di SMA favorit, dan mungkin baik seperti yang Willy katakan. Dan Arfa pasti tidak salah memilihnya untuk menjadi pacarnya. Sampai-sampai Arfa rela pindah kelas di SMA nya ke kelas Kasella, entah tujuannya untuk itu atau yang lain, aku tak peduli.

Melihat pensil yang kumainkan teringat satu kenangan yang tidak perlu kusebut indah juga. Tapi cukup kusebut kenangan manis.

Saat itu, semua sedang mengerjakan pelajaran IPA dengan serius di kelas. Hanya ada satu soal yang belum kujawab, dan tak ada satupun yang sudah mengisi soal tersebut. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku menanyakan kepada bu Sofi dan diberikan clue kepadaku. Untungnya, aku memiliki otak yang jenius, tidak butuh waktu lama mengerjakannya. Setelah selesai, langsung kukumpulkan. Arfa mendekat ke arah mejaku, "Ra, pliss Ra apa ini isinya...kamu kan baik, liat tuh si Tata pelit gak mau ngasih jawaban" Tata yang mendengar langsung menoleh dan di balas cibiran oleh Arfa. Aku yang sudah menduga Arfa pasti akan bertanya jawaban dan langsung kuberi tahu jawabnnya. "awas..awas" suruhnya pada orang yang ada di depan bangkuku. Dia duduk di sana melanjutkan mengisi jawaban. Aku kira hanya satu soal, ternyata masih banyak. Aku yang sedang melihat caranya menulis dan tulisan tangannya terkejut dengan tarikan pada pensilku. Tangan yang satunya lagi menarik pensil yang ada di tanganku "minjem ya Ra, semoga kakau pake pensil ini aku juga bisa cepet ngisi soal" aku hanya mengangguk memperhatikan kembali tulisannya. Dia berdiri segera mengumpulkan tugasnya. Tapi, dia balik lagi memberikan sebuah pensil kepadaku "Ra, pensilnya di pinjem dulu, kamu pake pensil aku aja. Pensil kamu ajaib. Aku jadi cepet nulisnya, bagus lagi." Dia memperlihatkan tulisannya itu. Bagiku sih, masih sama seperti yang tadi.

Jam pulang segera berakhir. Aku menghampiri Arfa yang sedang beres-beres. "Ar, balikin pensil aku, nih pensil kamu" aku menyodorkan pensil itu. Tapi, pensil punyaku yang sedang ia pegang malah di masukan ke tempat pensilnya. "Aku bawa dulu ya ke rumah besok di balikin kok, ada pr MTK, biar cepet ngerjainnya kalau pake pensil ajaib."  Arfa melengos pergi dari hadapanku. Aku masih berpikir, apa iya, pensil itu ajaib?

Ya, itu salah satu kenangan manis dari ratusan kenangan lainnya.

Pikiranku yang jenius, masih memikirkan bagaimana masa lalunya. Apa jenius itu mempengaruhi memori yang sudah berlalu tanpa ada penghapusnya?

Sendiri dengan ratusan kenangan manis, indah, dan pahit menyadarkanku atas sesuatu. Aku, seorang wanita yang bukan pengemis cinta ternyata tidak bisa mencegah tipuan cintanya sendiri yang di hadirkan oleh sang hati.

Entahlah apa yang sedang dipikirkan Arfa terhadapku. Mungkin dia sudah menghapusnya bahkan melupakan. Sudah kukatakan aku bukan pengemis cinta, hanya saja seseorang sedang terjebak dalam hatiku yang terkunci rapat. Sepertinya, aku lupa bagaimana cara membuka kunci hati, bagaimana caranya jatuh cinta pada yang lain, dan bagaimana caranya bisa membenci dia seperti aku membencinya saat kelas 4 SD.

Tapi aku yakin, waktu bergulir mengurut waktu. Mungkin waktu bisa menghapusnya. Dan saat ini, mungkin waktu sedang terkena gangguan sehingga tidak bisa menghapus kenangan itu dari pikiran. Tapi aku tetap harus bersyukur. Allah memberikan padaku ingatan yang kuat dan panjang meski itu ingatan yang tidak terlalu ku simpan baik-baik. Tapi aku berharap semoga kenangan itu berguna di lain hari.

Cinta Tanpa LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang