2. Mantan!Takasugi, Hijikata x Gintoki (Gintama)

389 58 7
                                    

Mantan, satu kata beribu makna. Ketika mendengar namanya saja, emosi Takasugi Shinsuke bisa dibuat naik turun lalu berputar-putar, seperti ketika ia naik roller coaster. Perutnya bisa mual dan ulu hatinya terasa cenat-cenut, sakit tak karuan.

Ketika SMA, Takasugi pernah jatuh cinta. Pada seorang lelaki manis dengan surai kelabu mengembang bagikan permen kapas. Jika bicara kadang mulutnya sepedas cabai rawit yang terkenal di Indonesia, salah satu negara yang dulu pernah dijajah Jepang. Tapi kalau bibirnya menarik senyuman, Takasugi bisa lupa diri dan berubah jadi seorang pujangga yang tersenyum gila kala membacakan puisi yang sebenarnya merupakan isi hati.

Takasugi pernah masuk pada masa di mana ia mengikuti pujaan hatinya secara brutal. Mem-follow semua media sosial si gebetan, dimulai dari aplikasi pamer foto, lalu aplikasi berbalas cuitan sampai aplikasi super besar dengan ikon dinding biru yang belakangan ini rentan akan penyebaran isu bohong di dalamnya.

Selain itu, Takasugi sampai menggunakan semua koneksinya. Dimulai dari preman kelas sampai dokter gigi dekat rumah Gintoki—dialah sang pujaan hati kala Takasugi duduk di bangku SMA. Ia tahu apa makanan favorit Gintoki. Hafal ukuran dada, pinggul serta paha Gintoki. Takasugi bahkan sampai tahu kalau Gintoki sering uring-uringan pada hari Senin yang tanggalnya dicetak dengan tinta merah.

Kekuatan cinta memang mengerikan. Setiap hari sebelum pulang ke rumah, Takasugi pasti akan membuntuti Gintoki.

Hingga suatu ketika, semua kejahatan Takasugi terbongkar. Gintoki tahu bahwa Takasugi sudah memasang alat penyadap di kamarnya, tentu bukan dengan cara yang legal.

Mendatangi si surai ungu gelap, Gintoki marah seperti banteng yang melihat kain berwarna merah. Nyaris melayangkan pukulan mentah, tapi terhenti saat melihat tak ada perlawanan dari Takasugi.

Sudah telanjur tertangkap, sekalian dibuat basah sekujur badan. Takasugi pada waktu itu tanpa takut memegang pundak Gintoki, meyakinkan. Manik hijau saling bertaut dengan merah delima. Menyelami kedalaman masing-masing—atau mungkin hanya Takasugi saja yang melakukannya.

"Jika bumi tanpa manusia, apa bumi tetaplah bumi?" Tanya Takasugi dengan raut wajah serius. Suara beratnya mendukung suasana yang kini sedikit tegang, memberi tekanan pada Gintoki yang mulai gentar.

"Maksudmu apa, Teme?!" Mengangkat dagu pongah, Gintoki sedikit tergesa saat menjawab, rupa-rupanya ia memang terdesak.

Kala itu Takasugi sungguh tak bermaksud untuk memamerkan gombalan, ia hanya ingin mengatakan isi hatinya yang mungkin lebih mirip dengan sebuah puisi. Dengan rima yang tepat juga penggunaan bahasa yang kadang sedikit jadi hiperbolis.

"Bumi jadi bumi karena bumi adalah satu-satunya planet yang sampai saat ini bisa ditempati oleh makhluk hidup. Dalam kasus gombal—dalam hal ini adalah manusia. Bumi takkan bisa jadi bumi, jika tak ada manusia yang menempati."

Ketika itu, Takasugi bisa ingat bagaimana raut lucu dan menggemaskan dari si calon pacar. Tampak menggiurkan dan minta dimakan. Takasugi sanggup melakukannya semalaman.

"Begitu juga diriku setelah bertemu denganmu, Gintoki." Menutup mata, kemudian meremas tangan dalam genggaman. Ia sedang mengalami yang namanya doki-doki suru. "Aku bukanlah aku jika tanpa dirimu."

Singkatnya, Takasugi dan Gintoki pun jadian. Sengaja Takasugi mengingat momennya yang barusan. Ia rasa pada zaman itu, kemampuannya dalam meluluhkan hati wanita ataupun uke dalam kasusnya, sudah melampaui tokoh Dylan dan juga Rangga-kun yang filmnya sempat booming ketika tayang. Ia tampan dan bisa dengan mudah memikat hati siapa saja.

Berpacaran seperti kebanyakan orang. Saling berbalas pesan di waktu senggang, pergi jalan di akhir pekan, serta saling memberi ciuman di waktu-waktu khusus.

Nyaris lima tahun ia dan Gintoki berpacaran. Menghabiskan suka duka yang diarungi bersama. Gintoki adalah pacar baik yang tak banyak menuntut.

Tapi diam-diam Gintoki menaruh rasa kecewa pada Takasugi. Yang awalnya sama sekali tak tampak, tapi ternyata begitu banyak mengendap di bawah permukaan. Gintoki, pada malam berhujan di bulan Juni mengucapkan salam perpisahan yang sama sekali tak terduga.

"Mau kau mengakuinya atau tidak, aku tahu kau menduakanku dengan seorang wanita." Gintoki begitu tegar, hanya kedua tangannya saja yang mengepal—berusaha untuk menahan diri agar tak menghajar Takasugi yang saat ini megap-megap.

Menyentuh tengkuk, Takasugi lumayan lelah ketika mengingat masa lalu. Salahnya memang bermain-main dan menganggap Gintoki takkan tahu. Tapi sungguh, meski ia punya seribu pacar simpanan selain Gintoki, cintanya utuh hanya untuk Gintoki—sama sekali tak dibagi-bagi.

Mengelus-elus dada, Takasugi mengobati dirinya sendiri. Ia memang telah menemukan karmanya sendiri. Kemarin sore, tak disangka-sanga Gintoki kembali menemuinya setelah sekian lama. Dengan senyuman manis yang ia sangka sudah lenyap sejak dirinya ketahuan mendua.

Kini di sinilah Takasugi berada, duduk di barisan paling depan sembari menyaksikan pernikahan sang mantan yang sampai saat ini masih belum ia lupakan.

Kata Gintoki, yang jadi suaminya adalah seorang polisi. Berpotensi menembak sembarangan tapi pasti tepat sasaran jika ketahuan ada yang mengacau di hari pernikahannya. Takasugi urung melakukan niat untuk melarikan sang mantan pacar dan memaksanya kawin lari.

"Hijikata-kun itu baik, tampan, dan yang pasti kaya. Ia juga setia."

Dosa apa Takasugi di masa lalu sampai-sampai dirinya dipaksa menahan mulas dan terus menyaksikan pernikahan yang sepenuhnya ingin ia batalkan tersebut?

#

N A N O (2)Where stories live. Discover now