Merindukan Mama

39 3 0
                                        

Ave duduk di bangku ayunan sambil berayun. Angin yang menerpa wajahnya, helai rambutnya yang bergerak mengikuti arah angin. Ia menoleh saat tangan kekar lelaki itu menggenggam rantai dan membuatnya berhenti dari aktivitasnya.

Lelaki itu membungkuk, tangannya terulur menariknya ke dalam pelukan. Ia mengusap lembut punggung Ave memberikan kekuatan untuk keponakannya.

"Pulang lah ke rumah. Sampai kapan kamu mau kabur terus?"

Ave menatap pamannya tiga detik lalu berdecak sebal. Jika pulang ke rumah segampang itu mungkin ia tidak susah membayar uang apartemennya dengan kerja paruh waktu.

Jikalau kebencian yang tertanam di dirinya tidak sebesar ini dengan senang hati Ave akan kembali ke rumah itu.

"Tidak ada merindukanku untuk pulang," cetus Ave. "Lagian rumah itu selalu ramai dengan adanya keluarga baru." Ave menekan kata keluarga baru. Rama-paman Ave meringis, gadis di depannya benar-benar keras kepala mirip mamanya yang merupakan adik kandungnya.

"Kamu salah. Rumah itu sepi. Dan lagi, mamamu kesepian. Alfarez kuliah di luar kota. Havez tidak pernah pulang sama halnya dengan dirimu. Sedangkan, Faruzi sedang melakukan bisnis di luar negeri," jelasnya panjang lebar.

Ave mendesis. Pernikahan yang kata Vanya--ibu Ave--bisa membahagiakan mereka. Justru malah menyedihkan. Mamanya kesepian dan fakta itu tidak berubah. Masalah semakin runyam yang entah kapan berakhir.

"Hanya kamu yang bisa membuat Vanya bahagia."

Bahagia? Ave merasa kebahagiaannya sudah direnggut oleh mereka.

"Maaf paman tapi aku harus pergi kerja." Ave berdiri, tangannya dicekal Rama membuatnya mengurungkan niatnya.

"Ave, Vanya membutuhkanmu!"

"Vanya menderita kanker stadium akhir," lirih Rama. Ave mematung dadanya terasa sesak. Meskipun benci tapi sebagai seorang anak ada rasa khawatir dan tak ingin kehilangan.

"Cih, keluarga macam apa mereka yang sibuk saat mama sedang sakit. Dan aku salah satu dari mereka."

Ave berjalan menjauh. Rama memijit kepalanya frustrasi. Keponakannya sudah keterlaluan. Ia mengambil ponselnya disakunya dan mengetikkan tempat Vanya di rawat. Ia tidak peduli Ave mengabaikan pesannya nanti.

*****

Pengujung cafe hanya tersisa berapa saja mengingat setengah jam lagi cafe ditutup. Tangannya dengan lihai melap meja.

Ave melepas apronnya ketika tugasnya sudah selesai. Ia berjalan keluar dan mengulurkan tangannya bermaksud menstopkan taksi.

Matanya menatap jalanan di luar jendela yang hanya beberapa kendaraan berlalu lalang mengingat jam sudah menujukan jam satu malam.

Ave tidak peduli kalau jam besuk sudah habis. Yang ia pedulikan bertemu Mamanya setelah beberapa tahun lost contact. Ia mengambil nafas panjang sebelum masuk ke dalam ruangan Vanya dirawat.

Di sana selain Vanya yang berbaring di atas brankar di sampingnya ada Claudia--sahabat Vanya yang sekaligus Mama kandung Havez. Matanya terlihat bengkak, dan Ave berasumsi kalo Claudia habis nangis. Walaupun Claudia tersenyum manis ke arahnya ia malah merasa tak enak.

"Halo, Tante apa kabar?" sapa Ave kaku. Ia mendekat dan berdiri di samping Claudia.

"Anak gadis tidak boleh keluyuran malam-malam gini. Tante ngerti kalo kamu merindukan Mama kamu. Kan masih ada pagi, sayang." Claudia mengusap punggung Ave dengan penuh kasih sayang.

Claudia sosok wanita dan seorang ibu yang tegar dan tiada dendam di hatinya. Ave bisa merasakan itu. Seharusnya Claudia marah atau balas dendam padanya atas kesalahan Mamanya yang telah merebut suaminya. Tapi, yang terjadi sekarang kebalikannya. Claudia memperlakukannya sebagai anak sendiri.

"Yang sabar ya, sayang," ucap Claudia seakan mentransfer kekuatannya lewat lisan. Ia tau kalau Ave merindukan Mamanya. Insting seorang ibu tidak pernah salah.

*****

Bersambung.

Tinggalkan jejak guys.

Hope [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang