Kedua cowok itu menggelengkan kepalanya membayangkan mereka berada di tengah-tengah banyak orang yang mengantre. Panas dan sesak.
"Gunting batu kertas aja. Yang kalah harus masuk ke sana!" usul Havez seraya menunjuk banyak manusia dengan kadar kepo yang tinggi. Ardito tanpa pikir panjang mengiyakan kesepakatannya.
Havez kertas sedangkan Ardito batu.
"Yeay! gue menang," celetuknya bersemangat sedangkan Havez terkekeh seraya menepuk bahu Ardito dengan tatapan kasihan.
"Aturannya kertas yang menang. Udah kesana aja gak usah basa basi."
Setelah kalah dalam permainan suit membuatnya mengalah berdesak-desakkan di depan mading. Sedangkan yang menang hanya menunggu. Ardito membelah kerumunan itu.
Tangannya bergerak menjelajahi nama-nama satu persatu. Mengabsen seluruh murid baru SMA Bintang.
"Wah gak sekelas," gumam Ardito yang melihat nama Havez berada di kelas 10 IPA 1.
Matanya dengan lihai mencari namanya. Ia berada di kelas 10 IPA 3.
"Arin Syahfitri, Averlin?!" matanya membulat sempurna ketika membaca urutan nomor tiga.
"Buruan liatnya! Gue kepo banget! minggir ... minggir!" Gadis bergaya tomboy mendorong tubuh Ardito sehingga cowok itu terhuyung.
"Biasa aja kalik!"
Dengan wajah kesal ia menghampiri Havez yang berdiri tegap di samping tangga.
"Lo 10 IPA 1 sedangkan gue IPA 3," jelasnya.
"Segitu kesalnya karena gak sekelas," simpul Havez ketika wajah cowok itu tertekuk.
*****
Petaka! satu kata itu menggambarkan apa yang dipikirkan Ardito. Ia seperti ditengah-tengah drama. Gadis itu kembali. Dan bisa saja Havez memandang langit yang sama. Meskipun keduanya saling menghindar. Tetapi takdir bisa mempertemukan mereka. Tangannya mengaduk kuah bakso tanpa minat.
Peluang ada di depan mata tapi konsekuensinya membuat Ardito menenguk salivanya sendiri. Ia belum siap jika Havez memusuhinya dan kehilangan sahabatnya karena ingin memiliki gadis itu.
"Ada masalah?"
Ardito tersentak dari lamunanya buru-buru menggelengkan kepalanya lalu menyendokkan pentolan ke dalam mulutnya. Ia seperti menikmati makanannya namun perutnya ingin memuntahkan.
"Gue bukan Ave yang dulu lagi. Nggak usah sebut namanya. Gue merasa benci diri sendiri karena keegoisan mereka."
Apa sebenarnya yang disembunyikan? Ardito pusing memikirkannya. Terlalu banyak teka-teki diantara mereka bertiga. Dan ia juga sadar kalau ia juga menyimpan sebuah rahasia.
"Lo mau gue ngamuk ke kepala sekolah biar kita sekelas?" Tanya Havez matanya memicing mencari kebenaran. Ardito tersedak dengan makanannya ia gelagapan menjelaskannya. "Lo--lo jangan gila! lebih baik kita pisah daripada dikira homo."
Havez tertawa. Dirinya sangat yakin kalau ada yang ganjal pada Ardito. Karena cowok itu tidak bertingkah seperti biasanya.
"Nyadar juga lo. Biasanya nempel kaya prangko," ejek Havez sedangkan Ardito mencebik sebal.
"Au ... ah. Nyesel nemanin lo makan." Ardito beranjak dari duduknya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
Havez mengisyaratkan seseorang di belakangnya untuk mendekat padanya.
"Cari tau apa yang disembunyikan orang itu." tunjuk Havez pada Ardito yang mulai menjauh. Sedangkan cowok yang berpenampilan urak-urakkan menganggukkan kepalanya.
Havez membayar seorang mata-mata yang seusia dengannya agar mempermudah untuk mencari tau orang suruhan ayahnya. Ia tidak naif yang mudah dimanfaatkan hanya persahabatan diantara mereka.
Dulu persahabatan mereka tulus. Semenjak ada yang ikut campur persahabatan mereka. Pemicu retaknya hubungan yang terjalin lama.
Mana yang berpura-pura dan tulus seperti kelihatan sama.
Janji yang dulu pernah diikrarkan. Kini menjelma sebagai pengkhianatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope [Revisi]
Novela Juvenil(Cover by @lightmagicalfairy) Hal sekecil apapun tentang Havez, tidak pernah terlewatkan oleh Averlin. Sebaliknya, Havez tidak peduli dengan kehadiran gadis itu. Havez menganggap gadis itu sebagai angin lewat. Menurut Havez; gadis zaman sekarang beg...