Keberangkatan Kak Syakheil

1.1K 33 12
                                    

Dini hari, seperti biasa Abi membangunkanku untuk salat malam bersama.

Jujur, seringkali aku malas menjalankannya. Tau sendiri kan? Jam setengah tiga itu adalah waktu tidur ternikmat. Dan aku ingin menikmatinya.

Tapi tentu saja, Abi sama sekali tak pernah mengijinkan hal itu terjadi.

"Kak Syakheil kok pulang? Inikan bukan akhir bulan?" Tanyaku terkejut saat melihat kakakku satu-satunya itu ikut duduk di ruang tengah menungguku.

"Sudah, ayo salat! Ceritanya habis salat saja." Sela Abi cepat.

Lalu mulailah kami larut dalam munajat penghambaan pada Ilahi Rabi. Kadang aku malas melakukannya.

Namun setelah aku menjalaninya, hal tersebut amat terasa begitu indah. Huruf demi huruf, ayat demi ayat yang aku hafal kulantunkan dalam kepasrahan jiwa kepada-NYA.

Tak terdengar suara selain helaan nafas bacaan salat yang lirih serta detak jantung yang berdegup tenang.

Seusai salat, seperti biasa Abi memulai tadarus. Abi membaca seperempat juz Alquran. Lebih tepatnya melantunkan, karena Abi adalah seorang Hafiz.

Lalu dilanjutkan oleh Umi seperempat juz. Kemudian Kak Syakheil yang hafal 15 juz melanjutkan bacaan Umi.

Baru deh aku yang cuma hafal juz 'Amma -karena sering malas menghafal- meneruskan bacaan Kak Syakheil.

Jadi, 1 juz dibaca oleh empat orang. Saat ada satu orang yang membaca, maka yang lain pun menyimak.

Dan biasanya, Abi akan menyampaikan beberapa wejangan hidup kepadaku dan Kak Syakheil, lalu dilanjutkan dengan ngobrol ringan seputar hari-hari yang terlalui.

"Jadi Syakheil, kamu sudah siap untuk serius belajar di Tarim?" Tanya Abi pada Kakakku.

"Loh? Kak Syakheil mau ke Tarim? Tarim itu di mana?" Tanyaku heboh.

"Insya Allah siap Abi. Ini sudah cita-cita Syakheil semenjak masuk Madrasah Aliyah di pondok kemarin. Tarim itu di Yaman, Dek. Di sana banyak ulamanya. Dan banyak pula ribat majelis taklim yang dibuka untuk para mahasiswa dan santri dari berbagai negara." Kak Syakheil menjawab dengan yakin.

"Kenapa ke Tarim? kenapa enggak ke Kairo aja? Atau ke Makkah?" Kembali kuberondong dia dengan pertanyaan berdasarkan rasa penasaranku.

Sebelum memilih Tarim, Kakak udah sowan terlebih dahulu ke Abah Kyai Kakak dan meminta pendapat sekaligus wejangan beliau seputar niat Kakak untuk melanjutkan studi di Timur Tengah.

Dan ternyata beliau beristikharah kemudian mendapatkan petunjuk, bahwa sebaiknya Kakak berkuliah di Tarim, Hadhramaut, Yaman.

Aku menghela nafas ketika mendengar penjelasan Kak Syakheil. Bagiku, nama Tarim amatlah asing. Tapi tampaknya Abi dan Umi apalagi Kak Syakheil tampak bahagia dan antusias dengan tempat itu.

Seusai salat Subuh dan muraja’ah, aku segera membuka komputer Abi untuk mengetahui berbagai informasi seputar Yaman.

Apa yang menarik ya? Dari hasil gambar yang aku dapat itu, Yaman hanyalah sebuah negara gersang yang rumahnya pun tak ada yang tampak mewah.

Kenapa Kakak harus ke situ? Apa lagi katanya Tarim hanyalah sebuah kota kecil saja di Yaman.

Lelah mencari dan tak banyak informasi yang aku dapat. Aku pun akhirnya lelah dan memutuskan untuk segera bersiap ke sekolah.

Saat aku mulai melangkahkan kaki ke luar rumah, seperti biasa mentari masih sedikit malu untuk menerpakan cahayanya ke bumi.

Ia hanya tampak menyinari dedaunan yang berada di pohon yang cukup tinggi.

Sepenggal Nafas RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang