Tanpa Kak Syakheil

503 10 0
                                    



    Bukan hal mudah ternyata, menjalani hari tanpa adanya Kak Syakheil serta kabar darinya. Sekali waktu, air mata masih berderai di pipi ketika merindukannya. Sedihnya seolah tak ingin menghilang.


Bahkan Abi dan Ummi setiap libur sekolah sampai mengajakku berjalan-jalan ke suatu tempat, sekadar untuk mengalihkan perhatianku dari rasa sedih itu. Sayangnya, hal semacam itu malah semakin mengingatkanku kepada Kakak. Karena dulu, Kakaklah yang sering membawaku berjalan-jalan.


Fiya dan juga beberapa temanku sering bermain ke rumah. Tapi tetap saja, mereka datang hanya sebatas untuk belajar bersama. Setelah selesai, pulang. Tak pernah ada pembicaraan dari hati ke hati di antara kami semua. Itulah sebabnya kenapa aku tak kunjung akrab dengan mereka, dan lagi-lagi merindukan Kak Syakheil.


"Mashel, bisa ke ruangan saya sepulang sekolah nanti?" Suara penuh wibawa milik Ustadz Ilyas langsung membuyarkan lamunanku.


"Insya Allah, Ustadz," jawabku cepat.



***



Koridor sekolahku tak terlalu panjang, karena memang sekolah ini masih terbilang baru. Bangunannya pun masih terkesan apa adanya. Langkah kaki ini sedikit tergesa-gesa menuju ruangan paling ujung dimana Ustadz Ilyas sedang menunggu.


"Assalamualaikum." Kuketuk pelan pintu ruangan beliau. Setelah terdengar jawaban salam dan permintaan agar aku masuk, aku segera membuka pintu itu. Ternyata di dalamnya ada Ustadz Ilyas, Ustadzah Asma' istri Ustadz Ilyas, Bu Ismi wali kelasku, dan beberapa ibu-ibu yang aku tak terlalu mengenalnya.


"Oh, perkenalkan ini murid saya. Mashel Althafunnisa, putri Ustadz Abdurrahman Ali," ujar Ustadz Ilyas. Aku pun bersalaman takzim kepada semua ibu-ibu yang ada di ruangan itu. "Silakan duduk, Mashel. Sebagai seorang guru dan pembimbing, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada kamu." Suaranya yang memang selalu berwibawa itu membuatku tertunduk.


"Ya, Ustadz." Suaraku sedikit bergetar menjawabnya.


"Rileks Mashel, ini bukan sedang ujian," canda Ustadz Ilyas yang kemudian mendapat sambutan senyuman dari semua yang ada di ruangan tersebut. Dan akhirnya, senyuman itu hadir juga di wajahku.


"Jadi begini, akhir-akhir ini kok saya lihat kamu sering murung. Juga nilai pelajaranmu yang biasanya sangat baik, kok bisa turun menjadi sebatas baik saja. Mungkinkah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Aku terdiam beberapa saat. Haruskah aku ceritakan? Atau lebih baik aku diam saja? "Ceritakan saja tidak apa-apa, barangkali saya bisa membantu memberi solusi," lembut cara ustadz Ilyas berbicara. Sama seperti Abi.


"Saya sedang sedikit sedih, Ustadz." Mata tajam lelaki setengah baya itu menatapku tenang, menunggu kelanjutan dari ceritaku. "Semenjak Kak Syakheil berangkat ke Tarim, saya merasa kesepian. Ada sih teman-teman saya, tapi enggak ada sama sekali yang bisa saya jadikan tempat berbagi seperti Kakak. Hal itulah yang membuat saya malas melakukan apa saja, termasuk belajar." Kulirihkan suaraku pada kalimat terakhir. Ustadz Ilyas tersenyum sumringah.


"Jadi ini masalahnya ya," beliau menaruh tangannya di atas meja, "jika itu masalahnya Mashel, maka saya selaku gurumu hanya bisa memberikan nasihat dan sedikit solusi untuk meringankan beban pikiranmu serta mengembalikan semangat belajarmu.


“Mashel, yang namanya sebuah kebersamaan di dunia, itu pasti ada perpisahannya. Hanya saja, ada perpisahan yang sejenak, dan ada juga yang selamanya. Setiap perpisahan maupun pertemuan itu pasti ada maksud dan tujuan serta hikmah yang akan Allah berikan kepada kita.


“Seperti yang terjadi pada Mashel. Kak Syakheil pergi untuk menuntut ilmu, yang kemudian untuk dibagikan kepada masyarakat yang masih awam dari pengetahuan tentang kewajiban mengamalkan syariat Islam. Kepergian Kak Syakheil adalah kepergian yang insya Allah penuh dengan keberkahan. Kenapa begitu? Ia pergi dengan niat mulia menuntut ilmu, datang pada semulia tempat bagi penuntut ilmu, diajarkan oleh semulia pengajar yang hanya mengharap balasan-Nya, dan akan kembali dengan niat dakwah yang amat mulia.


“Maka Mashel tidak boleh sedih. Karena jalan yang diambil Kak Syakheil adalah jalan keridhoan-Nya. Insya Allah, jalan keridhoan Allah akan mempertemukan insan kembali. Jika tidak di dunia, maka di alam surga. Sedihlah jika ada saudara atau teman Mashel yang jauh dari Allah. Sebab nanti tak akan dipertemukan lagi oleh Allah di akhirat." Adem, hati ini bagai mendapatkan tetes-tetes air yang amat menyejukkan dan menghilangkan segala keresahan.


"Oleh karenanya, Mashel tidak boleh membuat Kak Syakheil sedih dengan mendadak tidak semangat belajar dan tidak semangat memperbaiki diri. Kira-kira, Kak Syakheil bakal sedih enggak, kalau tau Mashel sedang dalam keadaan seperti ini?" Aku mengangguk pelan.


Ustadz Ilyas menyarankan, "Alihkanlah segala kesedihan Mashel pada kegiatan yang positif. Ikut sertalah dalam gerakan dakwah komunitas remaja masjid misalkan. Ini alhamdulillah ada beberapa adik kelas Ummi Asma' serta kawan-kawan Bu Ismi yang akan mendirikan komunitas keremajaan di sini. Apakah Mashel tertarik untuk ikut meramaikan komunitas ini dengan menjadi pengurus?" Tawaran yang sangat mengejutkan. Juga sangat membuatku bahagia. Sudah lama aku ada keinginan untuk membuat sebuah organisasi remaja yang berorientasi pada kegiatan keagamaan. Akhirnya, insya Allah dapat terwujudkan melalui kegiatan ini.


"Akan Mashel bicarakan dulu dengan Abi dan Ummi, Ustadz. Insya Allah besok saya sampaikan hasil keputusannya." Akhirnya itulah yang dapat aku ucapkan pada beliau semua. Kemudian setelah mengucap salam, aku meninggalkan ruangan itu dengan hati yang berbunga-bunga.


***


"Abi, Mashel mau bicara sebentar, sama Ummi juga. Lagi sibuk enggak?" tanyaku setelah mengucap salam dan mencium tangan beliau berdua.


"Enggak, sekarang lagi enggak sibuk. Ada apa, Nak?" Abi menjawab sekaligus bertanya, sedangkan Ummi mengajak kami duduk dulu untuk kemudian mengobrolkan hal yang ingin kutanyakan kepada mereka.


"Tadi Mashel dipanggil sama Ustadz Ilyas gara-gara Mashel sering diem di kelas, sama karena nilai pelajaran Mashel juga menurun." Aku berkata dengan suara lirih seraya menundukkan pandangan.


"Terus?" tanya Ummi sabar.


"Terus Mashel dinasihatin biar jangan kayak gitu. Akhirnya, Ustadz Ilyas menawariku buat mengisi waktu luangku dengan ikut serta menjadi pengurus di sebuah komunitas. Biar enggak inget Kak Syakheil mulu. Boleh enggak?" Harap-harap cemas aku menanti tanggapan dari kedua orang terkasih ini.


"Komunitas apa dulu? Kalau sudah jelas kegiatannya, positif dan baik, insya Allah Abi dan Ummi akan mengizinkan." tenang Abi menjawab, dan memang selalu begitu.


"Komunitas dakwah remaja masjid, Bi. Mashel masih belum tau jelas detailnya seperti apa." Abi manggut-manggut mendengar ucapanku. Lalu senyumnya mengembang.


"Nanti malam kebetulan Abi ada perlu sama Ustadz Ilyas. Nanti Abi coba tanyakan kegiatannya secara detail, ya?" Aku mengangguk semangat. Kupeluk Abi dan Ummi bergantian sebagai tanda terima kasihku atas segala pengertian mereka kepadaku. Tentu saja, mereka membalas pelukanku dengan kasih sayang yang tak pernah berkurang sepanjang hidup.


***


'Komunitas Remaja Masjid'


*Program Utama:

1. Tilawah Alquran: Memperbaiki bacaan tajwid dan makhroj, Mempelajari teknik Qiro'atil Quran, Tadarus One Day One Juz, Menghafalkan Alquran.

2. Kajian Fikih: Mengkaji dasar-dasar ilmu fikih seperti batas seseorang memasuki usia balig, kewajiban seorang balig, hukum bersuci dan lain sebagainya.

3. Pendidikan Akhlak: Mempelajari contoh-contoh akhlak dan perilaku yang diajarkan serta dianjurkan dalam Islam bagi setiap muslim maupun muslimah, serta latihan bermujahadah untuk mengamalkannya.


*Program Tambahan:

1. Gemar Menulis: Menulis karangan cerita atau artikel bermanfaat yang kemudian disebarkan melalui website atau pun dikirim ke sebuah majalah yang memuat tema sesuai artikel dan cerita yang sudah ditulis.

2. Giat Membaca: Bersama-sama membaca buku, satu hari satu bab. Bertujuan untuk menambah wawasan, memahami dunia pendidikan yang sebenarnya, bukan hanya mempelajari apa yang ada di bangku sekolah saja.

3. Diskusi Syari'ah: Ajang diskusi seputar permasalahan fikih, akhlak, serta membedah buku-buku yang sudah dibaca dan juga tulisan yang akan dikirim, maupun yang akan dikembangkan lebih lanjut. Dan juga, apabila ada salah satu anggota yang memiliki ide baru untuk menambahkan atau mengefesienkan program remaja masjid, bisa disampaikan dalam forum diskusi ini.

Notabene:
-Dilarang membolos kegiatan tanpa ada alasan yang jelas
-Dilarang ikhtilat maupun khalwat dengan non-mahrom, para akhwat dan ikhwan diwajibkan melakukan kegiatan secara terpisah dan di bawah pengawasan para pembimbing masing-masing
-Panitia maupun Pengurus Utama Remaja Masjid diwajibkan untuk mengingatkan, menegur dan mengawasi para anggota remaja masjid agar selalu tertib dalam menjalankan peraturan maupun program yang sudah dicanangkan


***


Senyumku merekah begitu selesai menuliskan program-program impianku. Walaupun aku masih belum tau seperti apa rintangan dan tantangan saat merealisasikan program-program tersebut, yang pasti, ada perasaan puas dan senang di hati ini. Abi sama Ummi sedari tadi sudah berangkat ke rumah Ustadz Ilyas. Jadi aku sekarang sedang sendirian di rumah.


Setelah puas dengan coretan sendiri, aku berdiri dan berjalan menuju dapur untuk memasak sayur sop sebagaimana pesan Ummi tadi. Aku juga menanak nasi sekaligus membuat gorengan kesukaanku, bakwan mie.

Belum selesai menggoreng, terdengar salam dari suara khas kedua orang tuaku. Segera aku menjawab salam. Tapi karena tak mungkin meninggalkan gorengan yang masih tercelup minyak, aku tidak bisa menyambut kehadiran Abi dan Ummi.


"Mashel, Abi tadi bicara sama Ustadz Ilyas. Beliau bilang masih belum merencanakan bentuk dan susunan acara seperti apa yang akan dipakai dalam acara nanti. Ustadz meminta kamu untuk mengajak teman-temanmu besok ke kantor beliau untuk mendiskusikan perkara ini." Abi menyampaikan kabar mengenai hal itu tanpa harus aku minta.


Atau sebenarnya Abi tau melalui sorot mataku kalau aku begitu ingin tau kelanjutan mengenai pembicaraannya bersama Ustadz Ilyas? Entahlah, yang pasti aku mengangguk senang mendengar perkataan Abi.


***


"Jadi, program yang menurut saya paling efektif adalah program-program yang telah saya sampaikan barusan pada teman-teman dan gurunda sekalian. Mengapa program unggulan pertama harus Alquran? Karena saya ingin mengembalikan girah atau semangat kita semua dalam membaca Alquran serta memahami dan mengkaji artinya. Sehingga tumbuh pada diri kita rasa cinta dan rasa tidak ingin terpisahkan dengan kalam Allah." Berbicara di hadapan banyak orang seperti ini bukanlah hal mudah. Tetapi demi tersebarnya ilmu agama, aku akan mencoba sekuatku.


Kemudian aku melanjutkan, "Lalu mengapa yang kedua adalah kajian fikih? Karena saya sangat ingin kita semua mengetahui kewajiban-kewajiban serta larangan dalam Islam, juga berbagai anjuran dan segala hal yang harus diketahui oleh seorang balig. Yang mana pada usia tersebut sudah wajib bagi seorang balig untuk mengetahui hukum seputar fardu kifayah dan fardu ain. Dengan harapan, setelah ini kita semua akan semakin mantap dan rajin dalam menjalankan perintah-Nya." Sorot mata para audien masih terarah padaku, keseriusan masih nampak di wajah mereka.


Aku pun menambahkan, "Selanjutnya, program unggulan terakhir adalah pendidikan akhlak. Mengapa? Saya berharap ke depannya kita semua selain menjadi pencinta Alquran, memahami segala perintah dan larangan-Nya, kita juga mampu tumbuh menjadi seseorang yang memiliki sikap dan sifat yang baik, sopan santun yang tinggi, serta adab yang mulia. Sebab pada akhirnya, pintar saja tidak cukup untuk menjadi orang terpandang di mata manusia maupun di pandangan-Nya. Serta tidak cukup pula sebagai bekal dakwah. Dikarenakan, kebanyakan orang lebih menyukai diperlakukan dengan baik dibandingkan dengan hanya sebatas dinasihati." Senyum tersungging di bibirku. Begitu juga Abi dan Ummi yang tampak bangga dengan apa yang aku sampaikan.


Kemudian aku mengakhiri presentasiku, "Adapun program tambahan, akan saya tambahkan dan jelaskan secara bertahap setelah program unggulan terealisasikan." Tepuk tangan mengiringi anggukan hormatku. Setelah semua mendengar berbagai program yang terlahir dari pemikiranku sejak lama, Ustadz Ilyas menanyakan, Apakah yang lain keberatan?” Semua menggeleng dengan semangat dan berkata bahwa semua program yang aku paparkan, kelak akan sangat efektif. Alhamdulillah ya Allah. Semoga engkau ridho dengan awal jalan dakwah ini.


***


Abi membawaku dan juga Ummi jalan-jalan ke Jogja untuk membeli buku bacaan dan beberapa barang yang aku inginkan. Tak lupa kami memborong mukena dan jilbab untuk dibagikan kepada mereka yang akan ikut serta dalam komunitas remaja masjid. Kebahagiaanku perlahan mulai menghapus rasa sedih perpisahan dengan Kak Syakheil. Walaupun terbesit dalam hati, Andai Kakak masih di sini dan tau ada komunitas seperti ini, pasti Kakak yang paling semangat untuk mengembangkannya.” Ternyata aku masih tetap menginginkan Kakak ada di rumah. Atau setidaknya aku ingin Kak Syakheil tau tentang hal ini. Lalu melihatnya tersenyum bangga.


"Mashel, kok melamun sih?" Ummi mengejutkanku. Malu juga ketahuan sedang melamun seperti ini. Hehe.


"Ehehe, enggak, Mi. Cuma keinget aja, kalau Kak Syakheil tau soal komunitas ini, pasti Kak Syakheil bakal bangga sama Mashel. Iya kan, Mi?" Umi tersenyum lalu mengusap kepalaku lembut.


"Belajar ikhlas ya? Ikhlas melepaskan orang tersayang demi kebaikan, juga ikhlas menjalankan sesuatu tanpa mengharap pujian." Lembut nasihat Ummi. Terasa langsung di hati, memberi ketenangan luar biasa.


"Insya Allah, Mi." Senyumku semakin merekah. Sesaat kemudian, Ummi mengajakku kembali serius memilah-milih jilbab. Aku pun dengan semangat kembali melihat-lihat kesana kemari, mencari barang yang sesuai dengan keinginan.

*****

Pelataran masjid ramai dengan para remaja seusiaku, juga para ustadz dan ustadzah yang diundang oleh Abi dan Ustadz Ilyas. Ya, demi lancarnya awal pendirian komunitas remaja masjid ini kami memutuskan untuk mengadakan acara tabligh akbar untuk umum di masjid desa kami. Alhamdulillah banyak kemudahan yang kami dapat dari-Nya. Salah satunya adalah membludaknya jumlah para hadirin di luar prediksi kami, padahal acara masih belum dimulai.


Acara kemudian dimulai dengan alunan rebana dari grup hadroh Jogja yang kami undang. Dilanjutkan dengan tausiyah dari beberapa ustadz. Dan ditutup dengan doa penuh khusyuk dari Abah Kiai tempat Kak Syakheil mesantren dulu, yang alhamdulillah bersedia hadir dalam acara ini.


Tengah asyik membereskan masjid seusai acara, seorang teman menghampiriku.


"Mashel, kenapa acara ini dan juga dalam program kegiatannya nanti cewek sama cowok harus dipisah? Kan bakalan enggak seru tuh kalau seperti itu," tanyanya serius. Aku tersenyum lalu menghentikan aktivitasku sejenak. Mengajaknya duduk dan mulai berbicara.


"Karena ikhtilath semacam itu tidak dibenarkan dalam Islam. Tau kenapa?" tanyaku balik. Dia menggeleng. "Sebab itu akan membuyarkan semangat kita dalam menuntut ilmu dan lebih fokus untuk bersenda gurau dengan yang bukan mahrom," aku membenarkan jilbabku yang sedikit tersingkap, "selain itu, terlalu sering memandang yang bukan mahrom akan mudah membuat kita lupa pada hafalan  Alquran kita. Juga bisa menimbulkan perasaan atau pun nafsu dalam diri kita. Itu akan berbahaya kalau timbul pada waktu dan pada orang yang tidak semestinya." Anita, nama temanku. Dia mengangguk mengerti kemudian membantuku membereskan masjid dan pelatarannya bersama dengan yang lain.


*****


“Kepada Kakakku Tersayang

Terima kasih pergi jauh dariku demi mencari ilmu yang Ia ridhoi.
Terima kasih pergi jauh dariku karena perlahan pergimu membawa arti.

Kak, aku turun pada jalan dakwah yang menjadi impian kita dahulu. Maaf karena aku masuk terlebih dahulu dalam jalan ini. Bukan maksudku tak sopan padamu, hanya saja aku ingin menjadi penyebab mudahnya kelak kau menempuh semua ini.


Pergimu menuai hikmah duhai Kakakku Tercinta.
Karena dengan seperti ini, aku mampu menahan diri dari emosi dan gejolak rasa yang ada di hati. Lalu perlahan mulai mencoba semakin dewasa. Pada sikap, perilaku, juga perasaan. Doakan aku tetap dapat menjadi seorang gadis berakhlak mulia, atau kalau bisa semakin lebih baik lagi.
Pada setiap mentari terbit, kutunggu pulangmu bersama rindu yang bergejolak di hati.”


~Mashel Althafunnisa~

***************************
***************************
***************************

Assalamu'alaikum..

Selamat hari kamis guys..

Alhamdulillah, akhirnya SNR bisa update lagi di sela-sela sibuknya kehidupan nyata Author. Mungkin setelah ini juga akan slow update. Mohon maaf membuat lama menunggu (padahalmah aku tau, menunggu itu menyakitkan #eh) tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin agar cerita bisa sebagai ajang menebar kebaikan dan bermanfaat bagi aku pribadi ataupun teman-teman.

Oke. Cukup sekian salam aku, semoga kalian suka dan betah nunggu update. Terima kasih bersedia membaca. L U Readers ♡

@Hilwa_Syauqillah

@assallaatoh

Sepenggal Nafas RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang