Bagian 3

8.3K 370 19
                                    

.

       Akira membuka mata. Cahaya matahari sudah menerobos masuk melalui pintu kaca besar ke arah balkon. Sesaat ia meringis karena memar di sekitar bibir dan pelipis. Tapi kemudian matanya menangkap sosok kecil yang telah berpakaian rapi itu tengah mengendap-endap ke arah pintu kamar. Ingin keluar.

"Ehem!" Akira berdehem.

Gadis itu terlonjak kaget. Lalu berbalik. Seketika wajahnya menunjukkan ekspresi kesal.

"Mau ke mana?" Akira membuka selimut yang menutupi sebagian tubuh, berganti posisi dari berbaring menjadi duduk bersandar di sofa putih yang sudah dua malam ini menjadi ranjangnya.

"Aku ingin keluar!"

"Kau tidak boleh keluar."

"Hei- tapi aku bukan tahanan!" Protes gadis itu dengan wajah ditekuk.

"Aku bilang kita tidak boleh keluar sebelum membuat cucu untuk ayahku!"

"Kau ...!"

Pandangan mata mereka bertemu.

"Kemarilah!" Akhirnya Akira bicara.

"Mau apa?!"

"Kita harus bicara."

Gadis berambut tergerai panjang itu masih diam. Menatap Akira dengan ekspresi tak percaya dan takut. Takut kalau pria itu akan coba memaksanya lagi seperti semalam.

"Aku tidak akan melakukan hal kurang ajar lagi. Kau lihat wajahku? Ini belum sembuh. Jadi sekarang kemarilah. Kita harus membicarakan sesuatu!"

Ada keraguan terpancar di mata hazel gadis itu. Tapi melihat wajah serius yang ditunjukkan Akira, akhirnya dia melangkah mendekat. Hanya saja memilih tetap berdiri beberapa langkah di dekat sofa yang diduduki pemuda itu.

Setelah merasa gadis di hadapannya mendengarkan, Akira mulai bicara.

"Sekarang katakan padaku, apa maumu?"

"Aku mau pulang ..."

"Kecuali itu!"

Mata Yuri sekilas berkaca-kaca. Tapi tak satu pun tetes air yang luruh. Akira bisa melihat betapa gadis itu berusaha menjadi tegar setelah tahu dirinya dijual.

Sesaat mereka bertatapan.

"Aku ... cuma mau pulang ..." Suaranya bergetar. Gadis itu menggigit bibir menahan tetes yang semakin menggumpal.

"Tidak boleh!"

"Kumohon ... aku cuma mau bertanya ... kenapa aku dijual?" Akhirnya airmata itu meluncur sudah, diusap oleh jemari lentiknya dengan bibir bergetar tertahan. "Kenapa kakek tega melakukannya? Aku anak yang baik, sungguh! Aku tidak pernah membantah kata-kata mereka ... tapi ... kenapa aku dijual?" ucapnya terbata-bata.

Terdengar isakannya, pelan. Tertahan.

Akira terdiam untuk beberapa saat. "Dengar, kau itu istriku. Di sini rumahmu. Sekarang katakan padaku apa yang kau mau agar kita bisa segera melakukannya?"

"Melakukan apa?"

"Masih bertanya?"

Terlihat semburat kemerahan di kedua belah pipi Yuri. Dialihkan pandangan ke kedua telapak kakinya.

"Aku ... mau meneruskan pendidikan."

"Kuliah?"

"Ya. Bolehkah?"

Akira tertawa kecil. Dia ingat betapa sang ayah sampai kehabisan kata menyuruhnya pergi kuliah dan dia menjadikan itu sebagai syarat untuk berkencan dengan banyak gadis, sedangkan gadis ini malah menjadikan kuliah sebagai syarat pernikahan?

DRAMA PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang