^5^

42 11 3
                                    

Perlahan Lelaki itu melangkahkan kakinya. Mata Putih tak berhenti menatap. Langkah kakinya semakin dekat. Sangat dekat.

"Hai, apa kabar?" sapa lelaki itu sembari mengajukan tangannya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Seakan sadar tak ada pergerakan, Ben menurunkan tangannya. Tampak jelas kekecewaan di raut wajah Putih. Dengan tatapan miris, Putih mengalihkan pandangannya kearah Biru. Biru yang seakan mengerti pun menjauh meninggalkan sepasang insan tersebut bercengkrama.

"Hai.. Putih Chelsea Merida, apa kabar?" sapa nya lagi namun tidak ada jawaban. Putih hanya tertunduk, menutupi air mata yang mengalir.

"Apa kabar?" Tanya nya lagi, dan lagi. Tangis Putih pun menjadi jadi. Luka itu masih terbekas sangat jelas. Kekecewaan itu seakan menggelegar.

"APAKAH AKU HARUS KASIH TAU KABAR AKU SEKARANG, SEDANGKAN KAMU GAK PERNAH SEKALIPUN NGASIH AKU KABAR?. JAWAB BEN!!"

Hati Ben seakan tertusuk benda tajam. Sakit, berdarah, Perih, saat itu juga. Ucapan Putih berhasil lolos menjepit hatinya.

"Bukan gitu Put, Aku cuma gamau bikin kamu sedih karna aku ninggalin kamu kuliah di LA," Ben berhasil menggenggam tangan Putih. Namun tak lama kemudian tangan Ben terhempas.

"Kamu kira aku baik-baik ajaa???, kamu ninggalin aku tanpa kabar sama sekali, itu sama aja kamu udah buat aku kecewa setengah mati sama kamu!!,"

"Putih, dengerin dulu penjelasan aku.,"

"Aku gak butuh penjelasan dari kamu. Aku udah tau semuanya. Aku udah tauuu!!" Tangisan Putih semakin menggelora.

"Putih, tapi aku masih------"

"udaah!, aku udah gamau denger apa-apa lagi. Aku udah terlanjur kecewa, aku udah gak mau liat muka kamu lagi, aku udah sangat kecewa,. Aku mau sekarang kita putus," ucap Putih dengan sedikit penekanan di akhir kalimat.

Putih berlari sekencang mungkin tak peduli jika Ben mengejarnya. Teriakan Ben saat memanggil namanya pun tidak ia gubris. Ia sudah terlanjur sakit hati.

Putih berjalan gontai. Ia lalu duduk di bawah pohon rambutan yang sedikit berbuah. Tangisannya semakin menggelegar. Ditambah segelintir kenangan yang ia lakukan bersama Ben.

-------------

Biru terlihat cemas, Ia sedari tadi hanya mondar-mandir tak jelas. Ia khawatir dengan Putih. Ia tahu siapa lelaki itu. Dia sangat tahu bahwa lelaki itu adalah lelaki yang pernah meninggalkan Putih tanpa alasan, yang membuat suasana hati Putih sangat terguncang.

"Gue harap, lo baik-baik aja disana Put," harapnya. Namu pergerakannya terhenti. Telinganya mencoba fokus mencari arah tangisan yang ia dengar.

"Putiiih, Lo dimana?," Namun tidak ada jawaban. Mata Biru mencari ke beberapa arah. Sampai akhirnya Mata Biru berhasil menangkap sosok wanita yang sedang tertunduk bersandar dibawah pohon Rambutan yang sedikit berbuah.

Biru berlari, dengan segera tangan kekarnya memeluk tubuh mungil Putih. Putih terlihat kacau. Mata sembab, hidung merah, dan suara yang sumbang. Entah kenapa hati Biru terasa sesak saat melihat sahabatnya itu menangis.

"Lo di apain sama dia Put? dia ngomong apa sama lo?" Biru mengeratkan pelukannya.

"gapapa Bir, gue gak----"

"ssssst, sini lo boleh nangis di pelukan gue."

Putih semakin kacau, tangisannya semakin tersedu-sedu. Biru mengeratkan pelukannya sembari mengelus-elus puncak kepala Putih. Tatapan hangat Biru seakan menciptakan kenyamanan. Biru melepas pelukannya. Tangannya berusaha mengusap air mata yang masih berlari melewati pipi Putih.

"Gue udah putusin dia Bir," ucap Putih seraya merogoh ponsel di tasnya.

"Lo mau ngapain Put?" tanya Biru dengan bola mata sedikit melirik kearah ponsel yang berada di genggaman Putih. Tampak beberapa foto lelaki yang Putih hapus dari ponselnya.

"Kenapa dihapus?" tanyanya lagi namun tak ada jawaban. Putih hanya tertunduk, dengan mata yang tengah mengamati foto terakhir Ben yang ia punya. Tangannya bergetar bergerak menuju kata 'delete' yang berada di pojok kanan bawah. Setelah menghapus semua foto, tangis Putih kembali memecah.

"Gue benci sama dia Bir, gue mau lupain dia" ucap Putih tersedu-sedu.

"udah ih, gausah nangis lagi. Ntar jelek loh," ujar Biru berusaha menghibur.

"Anjir ya lo, temennya lagi sedih malah diledekin, hwaaa lu nggak ngerasain sih jadi gueeee!!"

"udah udah ah, malah nangis lagi. udah ya nangisnya"

Namun Putih terdiam.

"Bir?,"

"yaps, kenapa Put?"

"Kok lo care banget sih sama gue?, padahal gue selalu bikin lo susah," ucap Putih dengan napas sedikit tersengal-sengal.

"Lo ga pernah bikin gue susah kok. Lo malah selalu buat gue seneng,"

" hahaaa, seneng karna apa?, apa si bagusnya gue?" ucap Putih diselingi candaan, walau napasnya terengah-engah.

"emm--" Biru terdiam sejenak, kemudian senyum hangat terpancar. "Lo tuh yang nyebelin, tapi gue suka,"

"Suka?, maksudnya?" Putih sedikit melotot.

"Gue suka bikin lo sengsara, bwaaaahaahaaaa," canda Biru. Biru terdiam. Ia mengamati Putih yang kini tengah tersenyum. Tedapat getaran aneh yang biru rasakan saat ini.  Getaran yang tak pernah biru rasakan sebelumnya.

Biru menatap wajah Putih. Menghafal setiap inci wajah Putih. Semakin lama menatap, semakin kencang debaran jantungnya, seakan terdapat tabuhan beribu gendang dalam dadanya. Dan mata mereka pun terkontak satu sama lain.

Deg.. Deg...

1 detik..

Deg..Deg...

2 detik...

Putih segera melepas kontak matanya dengan Biru. Mereka berdua tampak salah tingkah. Biru tampak mengipas-ipas kan daun  ke wajahnya yang jelas jelas hanya sebesar jempol tangan.

" Uuh gerah ya,"

Putih tertawa. Dengan segera ia menampar pelan muka Biru.

"ngigo ya lo?, daun kecil begitu gimana mau kerasa?," ucap Putih sembari tertawa. Biru semakin salah tingkah. Ia malah terlihat meremas rerumputan di bawahnya, dengan wajah yang dibuat-buat.

Putih berdiri. Kakinya melangkah jauh kearah sana. Sedangkan Biru hanya sekadar menjadi bodyguard alay nya Putih.

"Mau kemana si?" Biru yang jengkel mulai merengek tak jelas.

"Putiiih, Biru capek tauu.. Ntar biru bilangin ke Bunda loh," ucap Biru disusul dengan bibir yang diajukan.

Langkah kaki Putih terhenti. Matanya terpaku menghadap kearah ayunan yang sedang dipakai anak perempuan.

"Lo inget gak? dulu kita pernah ngucapin janji disitu"

Biru mengangguk. "kenapa emang?"

"jadi gue mau, kita ulang janji kita dulu. Bahwa kita akan jadi sahabat selamanya, janji kan? selamanya?"

Hati Biru seakan tertindih benda berat. Ia tak sanggup mendengar ucapan Putih. Ia tak tahu, mengapa ia tak rela bila Putih menjadi sahabatnya untuk selamanya.

Biru tertunduk, " i- iya Put, s-selamanya," ucapnya dengan lidah kelu.

***

Salam dari author yang lagi bahagia^^
Adiska Orva adiskaorva
Diva Salma.

Give Me LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang