Untuk berbagai alasan, untuk berbagai hal yang tidak aku mengerti, aku kini sudah tumbuh dewasa, aku meninggalkan masa kanak-kanak yang menyedihkan.
Aku belajar bersosialisasi, aku berusaha tersenyum dan tertawa, aku menutup rasa sakit, hampa, yang menggerogoti tubuhku sampai ke tulang.
Manusia itu... menyebalkan.
"Kamu mau jadi ketua kelompok?" pertanyaan cewek yang duduk di sampingku. Selebaran KKN sudah dibagikan, aku bersikap manis dan mengumbar senyuman pada orang-orang di sekitarku.
"Saya kerja, jadi gak bisa stay di posko. Kalian aja."
Mereka mengangguk mengerti.
"Jadi gak stay nih?"
"Saya usahain masuk seminggu dua kali."
"Hm... oke. Tapi kena denda loh, ya. Beda sama yang stay itu bayar kas lima ratus ribuan."
"Gak pa-pa."
Aku sudah meninggalkan diriku di masa lalu. Aku memilih menjadi figuran yang tidak terlibat dengan banyak orang. Aku adalah pengamat yang bisa menilai karakter orang-orang. Aku tidak pernah nyaman di sekitar mereka, tapi senyum kecil dan sikap aktifku cukup untuk menutupi semua kepalsuanku.
Aku hidup bahagia.
Rongga di hatiku yang membesar bukanlah apa-apa.
Kehampaan yang mencekikku hanyalah hal kecil yang tidak perlu kuhiraukan.
Penderitaan setiap bertemu dengan mereka semua aku sudah melakukan training bertahun-tahun untuk menutupinya.
Aku merasa bangga dengan bakatku. Kemampuan terbaik yang kumiliki memang pura-pura baik-baik saja.
Bunda mulai mengeluh karena napsu makanku yang semakin turun. Sesekali setiap sebelum bekerja atau saat malam, Bunda akan masuk ke kamarku, menyuapiku yang semakin malas menyentuh makanan.
Setiap hari tubuhku gemetar. Menginjakkan kaki di posko bagaikan memasuki gerbang satu neraka.
Aku menutupi ketidaknyamananku, tapi aku sadar ada banyak di antara mereka yang tidak senang dengan keberadaanku.
Aku baik-baik saja. Tidak makan atau minum selama sepuluh jam di posko.
Setiap pulang aku muntah-muntah lalu minum obat pereda mual juga anti stress.
Aku baik-baik saja.
KKN baru berjalan beberapa hari. Masih banyak minggu yang harus kulewati.
Ahh~
Aku berharap bisa melenyapkan mereka semua.
"Sip. Aku udah siap pergi lagi." Aku bercermin, namun sebelum berbalik seseorang menjambak rambutku. Aku menatap pantulan bayanganku sendiri di cermin.
"Kamu siapa?" pertanyaan retoris. Aku terdiam, senyumanku semakin lebar.
"Hah?"
"Siapa bilang kamu cocok pake topeng itu?"
Tangan pucat itu menyentil keningku. Topeng yang kupakai hancur. Aku meluruskan pandangan, melihat wajah asliku yang nyaris hancur dipenuhi retakan.
"Kamu lebih cocok sama wajah kamu yang sekarang."
Aku mengela napas, menyentuh wajahku sendiri sambil bergumam.
"Ahh~ Aku berharap bisa ngelenyapin mereka semua."
***