Terlahir di keluarga yang tidak harmonis.
Menjadi satu-satunya anak yang dikucilkan.
Memiliki paras yang tidak serupawan keluargaku yang lain.
Dibully dan diperlakukan tidak menyenangkan orang-orang sekitar.
Kadang, aku bertanya kenapa harus aku yang mengalaminya?
Sulur-sulur gelap itu merambat ke hatiku semakin dalam, membungkusnya erat, memuntahkan racun mematikan yang orang lain sebut sebagai kedengkian.
Aku berusaha bertahan hidup. Menapakkan kaki-kaki lemahku di atas bara keabadian. Caraku memandang dunia semakin kabur, seburuk penglihatanku yang menuju kegelapan tidak berujung.
Hidupku sekarang tidak sesulit dulu.
Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, kebutuhanku tercukupi dan orangtuaku tidak lagi pernah memarahiku.
Aku depresi.
Dan sebanyak apapun kata-kata yang dokter ucapkan, atau obat yang kukonsumsi setiap hari demi mempertahankan kewarasan, pada akhirnya... aku tetap hampa.
Kekosongan yang kurasakan tidak bisa diragukan sebesar apa?
Duduk di sisi ranjang, menatap cermin lurus. Pantulan bayanganku mulai tidak menunjukkan refleksi. Senyuman menyebalkan terukir membuatku mengangkat alis.
"Kamu... mulai gak nyaman lagi di kampus?" Pertanyaannya membuatku berdecih. Aku bertopang dagu, menyorot malas.
"Sejak kapan aku bisa nyaman di tempat selain restoran atau rumah?"
"Ada kejadian lucu?"
Aku berpikir sejenak. "Oh, kamu tahu?"
Aku mulai bercerita.
"Di kelas, ada beberapa orang yang nunjukin terang-terangan kalau mereka gak suka sama aku. Aku ngomong gak direspons. Aku pake make up disindir. Malahan, pas dia jalan ngelewatin aku, saking gak mau nyapa, dia nutupin separuh mukanya pas lewat."
Aku tertawa.
"Kamu tahu salah kamu apa?" Aku yang lain menyahut, memberiku senyuman mengejek. "Karena muka kamu ngeselin. Hahahahahaha!"
Aku terbahak-bahak.
"Hm. Aku emang kayak gitu. Itu sebabnya aku berharap bisa cepet lulus kuliah." Aku menunduk, memainkan ponsel di tanganku. "Hidup itu emang shit banget."
"Sedih? Sakit hati?"
"Gak juga. Bodo amat, kan? Gak butuh juga sebenernya. Yang rugi dia sendiri, ngerasa gak nyaman pas ada di kelas. Kalau aku dari awal emang gak nyaman, jadi udah biasa." Aku merenung sebentar. "Aku gak mau kepikiran. Kalau dipikir-pikir, hidup aku sekarang udah lebih baik, kan?"
Tidak mendapat jawaban.
"Tapi kenapa?" Aku mengernyit tidak paham. "Kenapa aku masih ngerasa kosong?"
Karena luka yang mereka tinggalkan begitu membekas.
Rasa sakit yang tidak bisa membalas atau pun kubuat ikhlas.
Kepedihan selalu menjadi bayang-bayang yang menghantui hidupku setiap waktu.
Kemarahan yang tidak tersalurkan membeludak menjadi salah satu parasit dalam hidupku.
Mati atau hidup sama saja.
Hidup atau mati bukan aku yang memutuskannya.
Seperti boneka, aku benar-benar kosong. Ada bagian manusia yang tidak kumiliki, sesuatu yang menjadi penentu sisa umur yang kumiliki.
"Jadi..." Dia bertanya lagi. "Apa yang bakalan kamu lakuin sama orang-orang itu?"
Aku berkedip. Meluruskan pandangan dan berbisik, "Jangan bilang-bilang kalau nemu nama mereka jadi salah satu korban di genre gore paling baru, ya."
Dia tertawa.
Aku tertawa.
Tapi... kenapa semuanya masih terasa hampa?
***