Hidupku saat ini baik-baik saja.
Seharusnya memang seratus kali lipat lebih baik daripada aku yang hancur di masa lalu.
Tapi kekosongan yang kurasakan tetap tidak terisi. Lubang di hatiku meninggalkan kehampaan tidak berujung.
Aku selalu bertanya-tanya, apa yang harus kulakukan pada diriku sendiri? Aku sudah melindungi hati ini sebaik mungkin. Agar tidak kembali dilukai, tidak dibuat lagi-lagi tersakiti. Sesekali aku memang terjatuh, tapi luka yang kutanggung hanya goresan, bukan lagi tikaman pisau yang membuatku hilang akal.
Kosong. Hampa. Rasanya hidup semakin tiada makna. Aku mulai lelah menjalani kehidupan, aku berharap bisa hilang ingatan.
Setiap aku membaik, sayatan luka itu kembali terbuka oleh mimpi. Mencabikku, menghancurkanku, menarikku kembali ke dalam kegelapan yang berusaha keras aku hindari.
Kenapa hanya aku?
Kenapa harus aku?
Kesalahan fatal macam apa yang sudah kuperbuat sampai diperlakukan seperti sampah di masa lalu?
AKu tahu aku tidak berguna, tapi aku selalu berusaha mengusahakan semua yang terbaik yang kubisa. Tapi tidak ada seorang pun yang mengerti. Bahkan anggota keluargaku pun menunjukkan punggung mereka seolah tidak peduli.
Mereka mencintaiku setelah aku hancur seperti ini.
Entah mereka benar menganggapku ada, atau karena aku sudah terlanjur ada dan bisa menjadi aib keluarga jika dibiarkan berantakan terlalu lama?
Apa pun motif mereka, bagiku tidak ada artinya. Karena semua perkataan mereka pada akhirnya tidak bisa diterima oleh akalku.
Dari aku yang sudah terlanjur hancur. Dari aku yang sudah terlanjur lebur.
Semua kalimat manis hanya seperti gula yang mematikan. Pada akhirnya ... aku pasti akan ditinggalkan.
Terjebak dalam kesendirian.
"Kenapa kamu nangis?" pertanyaan pantulan bayanganku di cermin membuatku meluruskan pandangan. Menatap aku yang lain dengan sorot sakit. "Seharian yang kamu lakuin cuma ngurung diri di kamar, kenapa kamu harus nangis?"
Aku menelan ludah. Berusaha mengingat alasanku menangis sesenggukkan padahal baru bangun tidur. Pagi ini aku memang terluka. Saking dalamnya luka yang kuterima, aku bahkan tidak ingin beranjak dari tempat tidurku.
"Tadi malem aku mimpi, ketemu sama orang yang ngebully aku di masa lalu," aku menelan ludah saat mengingatnya, "padahal aku udah lupa sama muka orang itu, tapi cowok itu tiba-tiba muncul di mimpi aku. Padahal aku udah lupa sama nama anak itu, tapi aku malah jadi keinget lagi sama semuanya."
Aku menjambaki rambutku sendiri, "Kenapa Tuhan sebenci ini sama aku?"
"Hm ..." dia menyahut tidak tertarik, "emang Tuhan itu ada?"
Aku berkedip, meremas jari-jariku sendiri dan menyahut, "Ada ... kayaknya."
"Kalau Tuhan ada, Dia gak bakalan biarin hidup kamu sehancur sekarang."
Mataku bergerak gelisah, "Tapi kalo Tuhan gak ada, mungkin aku masih hancur kayak dulu."
"Mungkin Tuhan emang ada."
"Hm." aku mengangguk. "Ibu bilang Tuhan itu ada."
Aku menangis lagi. Lukanya lagi-lagi terasa sakit, ingatan yang mulai samar kini kembali terungkit. Aku meringkik sambil meremas wajahku sendiri. Kenapa aku tidak bisa bersyukur dengan hidupku yang sekarang? Kenapa aku masih terjebak sesuatu yang sudah lama aku lewati?