5. Karakteristik

20.1K 3K 128
                                    

"Muka kamu..." Aku yang di dalam cermin bicara saat aku duduk di depannya, melepaskan almameter biru yang kupakai dan meletakkannya di kasur. "Keliatan lebih 'cantik' dari biasanya."

Aku mengangguk. Melepas ikat rambutku, membiarkan rambut hitam kecokelatan sepunggungku tergerai. Helaan napas berat menggema saat aku mengambil sebotol obat di nakas.

"Hari ini aku jengkel banget." Aku bergumam. Memasukkan satu pil obat pereda stress lalu meminum air putih di gelas sampai habis. "Ketua kelompok aku, dia mulai bikin masalah lagi."

"Hm..." Lawan bicaraku mengangguk. Dia tersenyum meremehkan. "Harusnya kamu tikam dia pas ada kesempatan."

"Aku gak setolol itu buat masuk penjara demi bunuh seekor serangga."

Aku yang lain tertawa. Rasa sakit di perutku berangsur menghilang, aku menatap langit-langit kamar dengan sorot nanar.

"Besok ada pawai kemerdekaan, kan? Dia bilang semua wajib dateng. Aku udah nyanggupin tapi minta jaga posko, dia bilang aku wajib ikut pawai. Aku minta keringanan buat jaga tas sama air minum di kecamatan."

Aku memberi jeda.

"Kamu tau dia bilang apa? Karena aku gak stay di posko, katanya cowok-cowok di posko nyinyir dan sering jelek-jelekin aku. Mereka benci sama aku yang gak sama capek kayak mereka. Kadang-kadang, omongan dia itu kayak orang tolol, kan? Aku emang gak stay tapi bayar iuran seperti kewajiban kelas karyawan."

Tidak mendapat jawaban, aku melihat pantulan bayanganku sendiri di cermin. Wajah pucatku terlihat berantakan, aku berharap bisa beristirahat barang sejenak dari hiruk-pikuk manusia yang selalu membuatku muak.

"Jadi... aku tanya sama cewek-cewek lain yang stay di posko. Apa bener cowok-cowok itu sering jelekin atau benci aku?"

Aku di cermin menyeringai lebar.

"Pasti respons mereka nyuruh kamu gak nanggepin orang itu, kan? Satu di antara mereka bilang kalo ketua kamu itu emang uler."

Aku mengangguk.

"Dia jelek-jelekin aku di depan orang lain, dia jelek-jelekin orang lain di depan aku. Akhirnya, kami orang-orang yang sering dia fitnah sama gosipin saling tuker informasi. Ternyata... semua omongan yang dia bilang itu kemungkinan besar palsu. Cowok di posko kami gak semua secerewet itu. Mereka mungkin bahkan gak peduli aku dateng ke posko atau enggak."

Kami berdua tertawa. Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan rasa kesal bulat-bulat.

Aku sering bertemu tukang cari muka, atau orang yang banyak muka, tukang fitnah atau pengadu domba juga banyak. Tapi akhirnya bertemu satu orang yang memiliki tiga sifat cacat tersebut, aku tidak bisa membayangkan hidupnya serepot apa?

Kenapa harus berusaha sesusah itu untuk mendapatkan perhatian?

Kenapa harus hidup semenjijikkan itu hanya demi menjadi pusat kehidupan?

Dia memakan bangkai sesama manusia demi menutupi kebusukannya, tanpa sadar kalau darah-darah korbannya tercecar membuat orang-orang muak padanya.

"Tapi aku maklum aja." Aku tersenyum kecil. Mengingat senyuman busuk cewek itu yang membuat perutku lagi-lagi kram. "Paling tuh orang sakit jiwa."

"Hm." Aku yang di cermin mengangguk. "Mungkin ada baiknya kalo kamu ajak dia ke jurang terus dorong aja dia biar cepet masuk surga."

Aku terbahak-bahak. Memejamkan mata rapat sambil berbisik, "Aku gak mau masuk penjara cuma demi bunuh seekor kecoa."

***

Aku dan CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang