NAMA APOTEK

134 6 0
                                    

Juni 2015

Ada enggan kala benak Ryan disesaki ingatan soal cinta. Tak pernah terpikir ia mencari pacar lagi. Merintis dari awal lagi apa-apa menyangkut romantisme. Ia masih ingin sendiri dulu.

Meskipun, ia tahu menyendiri bukan dalih terjujur. Alasan kamuflase untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya. Jangan salahkan dia. Seseorang berhak berpendirian.

Kawan, terkadang kau harus tahu batasanmu. Tentu kau tak mau dianggap dangkal, kan ? Terkadang ada hal-hal yang mesti kau sembunyikan, ada pula konsumsi publik. Disinilah kelemahan Ryan, ia kurang memahami teritorialnya. Cinta memang universal tapi perjalanannya individual.

Ryan-ku tidak demikian. Jauh-jauh hari ia hapus semua batasan. Ia sangat terbuka untuk perkara asmara. Bukannya tolol, justru itulah caranya menunjukan kejujuran. Kebohongannya hanya satu : pura-pura tak butuh pacar lantaran ia malas main-main berkomitmen.

Tak terkecuali aku pada awalnya, awam pasti menuding Ryan keterlaluan. Wajar, lingkungan menyulap kita jadi skeptis tanpa kita sadari. Tapi jika kau dalami, Ryan adalah simbol perasaan kita semua.

Akuilah, kita tak mau blak-blakan soal cinta bukan lantaran kita kuat. Bukan karena kita tahan banting. Bukan karena kita anti membicarakannya. Atau bukan karena kita tak membutuhkannya. Lebih karena malu, sungkan, gengsi, takut, atau sok acuh.

Di dalam dadamu, aku yakin, semabrek sentimentasi cinta rapi kau tutupi. Dalam kasus ini kupikir Ryan setingkat lebih baik dari kita. Di jujur pada dirinya sendiri. Pada cintanya sendiri. Kitalah yang membohongi diri.

***

Seorang pemuda ceking menelungkup serius diatas cadas beralas daun pisang. Cadas licin berlumut yang sesekali terhempas serpihan embun dari air terjun dihadapannya. Hati-hati sekali ia memposisikan kamernya di puncak gundukan batuan. Menahan nafas, nyaris tak bergerak. Satu guncangan saja hancurlah bidikannya.

Pemuda itu tampan, berkumis jarang, mata belo meski terkesan serius dan kulitnya semi langsat. Berkat deburan embun, kesan basah membuat rambutnya rancung berkilat, tulang-tulangnya terekspos dan kolor santainya menyusut. Dia kharismatik dalam gayanya sendiri. Perpaduan Iwan Fals dan.... Son Go Ku ????

Landscaper  lokal mengenalnya sebagai Deni Si Anak Rimba. Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil mencatatnya sebagai Deni Kumbala. Ia sendiri lebih nyaman disapa Monox. Kependekan dari Karbon Monox-sida, celetuknya tempo hari. Aku tak pernah tahu maksudnya.

Gemericik air terjun nan nyaring membekap suara alam sekeliling. Monox tak bisa menemukan suara-suara khas pegunungan Maja yang ia denger di atas tadi. Bahkan ia tak bisa mendengar dengus nafasnya. Hanya countdown kamera yang melengking tinggi samar-samar mampir di telinganya.

NIIIIT NIIIIIT NIIIIT NIIIIT NIIIT CEKREK .... Suara kamera mengakhiri pose gilanya hari itu.

Monox bangkit. Kembali bernafas normal. Diraihanya kamera itu, mengecek hasil di displaynya.

"hahay....!" teriaknya "Ini dia ! Ini dia ! Foto terbaik abad ini. Gue bakal tenar. T-E-N-A-R ! Bakal banyak majalah yang mosting jepretan gue ! Lo tau majalah apa wahai alam ??? Majalah BERANAK DALAM KUBUR !!!!"

"Woiii Nox, lo ngecamprung sendiri ?". Ujar pemuda satunya yang tiba-tiba menyembul dari balik cadas. Tak lain, Ryan.

"Eh, Mang. Merhatiian Lo ? Kagak, gue lagi ngomong sama kamera gue....". seloroh Monox asal.

"Sama aja namanya ngomong sendiri...".

"Beda lah Mang. Kalau ngomong sendiri lo gak punya lawan ngomong. Monolog istilahnya. Gue kan sama kamera, komunikasi dua arah. Dialog kata Guru Bahasa Indonesia. Berarti gue ngomong berdua, kan ??"

"Apa kata udel lo aja lah ! Yuk capcus, udah sore nih....."

***

Ratusan anak tangga menyambut mereka. Sepertinya, hanya itulah akses jalan pulang. Menanjak sepanjang tepian tebing. Dijamin aman karena berpagar. Dijamin anti selip karena permukaannya timbul. tetap saja, perokok aktif bakal kena asma dadakan menitinya. Tapi bagi landscaper macam Ryan dan Monox nampaknya itu belum apa-apa.

"Langsung balik, Mang ?" tanya Monox tanpa menunjukan tekanan pada nafasnya.

"Males !" sahut Ryan tanpa menoleh.

"Terus mau kemana ?"

"Belom tahu..".

"Hmmmmm... Udah gue bilang lo buruan cari cewek, Mang. Kalo bisa deket-deket sini. Abis cape-capean gini kan kita bisa mampir ke rumah camer. Sangu-sangu wae mah aya jigana nya ..."

Ryan menghentikan langkahnya. Agak ngos-ngosan. Bukan lantaran lelah. Paru-parunya kadang rentan di suhu dingin. Lebih dari itu, ia ingin mengkonfirmasi sesuatu

"Ah, kebeneran lo nyinggung soal itu. Gini ya, Tarzan, gue bilangin. Gue udah punya gebetan" tegas Ryan sambil menepuk-nepuk pipi sahabatnya itu. "Puas Lo, bos !?"

Monox terdiam sesaat. Bola matanya bolak-balik layaknya orang berfikir keras. Mulutnya komat-kamit seperti ikut berfikir. Khasnya kala mencari ide atau sekedar mencari gurauan kreatif. Khas Einstein ce'es.

"Jiahahahahahah serius ?" Sumringah Monox sekonyong-konyong "Bagus lah, yuk mampir!".

"Bukan orang sini, Oncom !" Sanggah Ryan.

"Terus ?"

"Namanya Syifa. Orang Jatiwangi. Dia invite Pin BB gue...".

"Cantik dia ?"

Gelagat si Monox kian menyebalkan kalau sedang hoki tapi juga lucu.

"Yah, tipe gue lah" Lanjut Ryan. "Foni, mungil, gigi gingsul, kacamata. Yang pasti beda banget sama cungur lo itu..".

"Jelas beda lah, Mang. Gender-nya juga laen. Gue pan cowok, pacar lo cewek. Kagak boleh gender disama-samain. Pamali ha ha ha !!!!".

"Betul juga lo, Nox". Ryan ngangguk-ngangguk. "Anyway, gimana tuh cewek gue menurut lo ?".

"Foni, mungil, gigi gingsul, kacamata ??? Hmmmm.." Lagi, monok mengulangi ekspresinya kala berfikir. "kok gue keingetan sama keledai yang di felmnya si Shrek ya ?".

"Anjrit ! Cewek gue lo samain sama keledai ? terlalu lo, Nox".

"Gue gak bilang sama, gue bilang gue keingetan....".

"sama aja, kampret". bantah Ryan tak kuat menahan tawa.

"Beda, Mang !"

"Halah, susah ngomong sama lo !"

"He he he.... Siapa tadi namanya ?".

"Syifa, Nox. Asyifa..".

"Syifa... Syifa... Asyifa. Kaya nama Apotek..".

***

*Sangu-sangu wae mah aya jigana nya . Bahasa Sunda. Artinya, Sekedar nasi sepertinya ada.

RYAN : SATU DARI SERIBU WAJAH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang