Opposites Attract... Do They?

2K 216 172
                                    

Pernah ga, sih, lo bertemu orang yang seolah-olah adalah Kutub Selatan ketika lo adalah Kutub Utara-nya?

Gue pernah.

Gue ditempatkan di satu kelas yang sama dengannya, di tahun terakhir kami sekolah. Gue sama sekali tidak mengenalnya. Gue tidak tahu namanya. Bahkan gue lupa apakah gue pernah berpapasan dengannya di kantin, di lapangan upacara, di perpustakaan, atau di manapun di sekolah itu.

Seiring berjalannya waktu, gue tahu dia adalah orang yang sering menjadi topik pembicaraan teman-teman gue karena prestasinya yang bukan main, peringkat satu seangkatan. Tidak heran, semua teman gue di kelas, dengan segala ujian menjelang kelulusan, sering menghubunginya untuk bertanya soal pelajaran.

Termasuk gue yang sering tiba-tiba menghujani chat room kami dengan soal-soal fisika dan matematika yang paling gue tidak suka. Gue ingat, malam itu saat gue menanyakan sebuah soal dari tugas fisika kami, chat kami berlanjut.

Dia: Gue ga bisa pulang nih dari tadi gojek ga ada yang mau ambil

Gue: Masih di GO?

Dia: Iya

Gue: Coba pake grab
Gue: Gojek bukannya td lg pada demo ya?

Tidak lama berselang, dia pun membalas chat gue.

Dia: Udah nih pake grab
Dia: Thanks ya, you saved me

Kurang lebih seperti itu chat kami, jika gue tidak salah mengingat.

Hari-hari di sekolah biasa aja. Gue main dengan teman-teman gue, dia dengan teman-temannya. Dia lebih sering di kelas atau ke masjid untuk salat dhuha saat jam istirahat. Gue lebih sering duduk-duduk di depan kelas saat ada jam pelajaran yang kosong.

Dulu, gue suka banget sama orang yang punya selera musik yang sama dengan gue. Yang bertanya pada gue, "Eh udah denger lagu The 1975 yang baru?" atau berseru "Sumpah Kodaline mau ke LaLaLa!"

Gue juga tertarik dengan orang yang mempunyai kesukaan yang sama dengan gue, seperti bicara tentang sinematografi atau buku-buku yang gue baca.

And he didn't even match the kind of guy I looked for.

Dia suka sekali main game. Dia tidak mengenali band-band yang gue gemari. Dia tidak menonton film-film yang gue tonton. Dia tidak membaca buku-buku yang gue baca.

Meski kami tidak punya satu bahasan pun yang sama, di luar dugaan gue, intensitas chat kami jadi makin sering. Selain karena gue yang peringkat bawah-bawah ini sering meminta bantuannya untuk mengerjakan soal, gue sering bercanda dengannya. Gue ingat waktu itu gue sempat nge-chat dia seperti ini:

Gue: Kalo 7 pm tuh pagi apa malem sih?

Dia: Malem

Gue: Malem jugaa

It was so lame. Yang gue tau, gue punya intensi. Gue melihat dia sebagai seseorang yang seru untuk diusili seperti itu.

Gue dan dia, we got along. Sampai akhirnya kenyamanan di antara kami membuat dia bercerita tentang perasaannya pada sahabat gue yang gue sayang banget. Rasanya aneh sekali mengetahui itu. Kadang perih harus gue tahan selagi ia menanyakan solusi terhadap ia dan sahabat gue itu karena dia terlalu malu.

He was a super awkward guy. Not to mention that I'm that awkward too, tapi dia benar-benar segampang itu berubah kikuk.

Sampai akhirnya, saat kami outing di Belitong satu kelas, dia meminta tolong pada gue untuk membantu dia foto dengan sahabat gue itu karena mereka tidak lanjut ke kampus yang sama.

Heart OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang