Teh Telur di Dipatiukur

314 22 0
                                    

Sarapanmu hari itu, ketika malam sebelumnya yang kamu gunakan untuk terjaga memaksa tubuhmu membayar kontan dan menyisakan mata sayu yang sesekali menatapku sambil tersenyum, aku yang habiskan. Padahal jika kamu tahu, aku bersedia sabar menunggumu selesai makan. Tidak perlu tergesa-gesa, seperti kamu yang memilih pergi dengan pergelangan tangan polos karena arlojimu entah di mana letaknya. Silakan jika kakimu terus berguncang menghentak aspal di dekat bangku plastik merah yang kamu duduki. Ia masih basah sisa hujan lepas subuh, masih menggigil namun dipaksa siap jadi pijakan orang, yang datang, singgah, dan pergi lagi melanjutkan urusan, yang mencari lontong sayur atau pisang goreng ketan.

Kamu sendiri, mencari apa?

"Katamu, jangan takut," cetusku ketika kamu memberi jeda di antara cemas dan ragumu.

"Takut itu manusiawi."

"Yang berlebihan yang tidak."

Dengan satu kali tembak, mati sudah percakapan namun di kepalaku tampil satu-satu kata rayu untuk buatmu bicara. Mereka belum mau keluar, masih menunggu kamu sukarela. Sampai deru motormu bergabung dengan bising teman-temannya di jalan, bungkam masih jadi pilihanmu.

"Bisa," kataku sekali lagi, ketika karcis sudah di saku, helm sudah digantung, dan kamu sudah lembut napasnya. "Jangan bilang tidak."

Sarapanmu hari itu, segenggam asa dan percaya. Yang itu untukmu saja.

"Iya."

Heart OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang