[ Telisik Tapak: #1 ] Panglima Polim dan Segala yang Bermula

410 42 29
                                    

Disclaimer:

Telisik Tapak is a series about places, the walkings, and the talkings. One chapter may relate to another, or it may not. I honestly wanted to make this in a form of another book, but I kinda suck of updating stories regularly so I won't promise anything about this one too.

Semoga suka, semoga berkenan, dan hati-hati di perjalanan.

"Put, katanya tadi nyari peniti?"

Perempuan yang dipanggil namanya itu menengadah sambil merapikan kerudungnya yang tanpa pengait. Sebisa mungkin ia menutupi rambutnya agar tidak tampak oleh lawan bicaranya yang tangannya terbuka dengan beberapa buah peniti di telapak.

"Tau dari mana, Nan?"

"Denger dari Ami," pungkas Adnan. "Nih, pake."

Puti mengambil satu buah peniti dari tangan Adnan dan mengaitkan dua sisi kerudungnya dengan cepat. "Makasih."

"Sama-sama."

Setelah hampir tiga tahun berkenalan dengan Adnan, Puti tahu laki-laki itu memang tidak banyak omong. Puti sudah terbiasa dengan kata-kata yang seringnya singkat keluar dari mulutnya. Jadi, ketika urusan mereka sudah selesai dan Adnan langsung berjalan melewatinya untuk duduk di barisan belakang, Puti tidak heran. Ia hanya sering menerka bagaimana rasanya bicara dari pagi ke pagi dengan Adnan saat akhir pekan. Tentang apa saja, dari cerita tentang ulang tahun masing-masing saat masih kanak-kanak, berdiskusi mata kuliah yang sulit dimengerti, sampai membahas RUU Cipta Lapangan Kerja pun Puti akan menyanggupi.

Tapi sering kali, Adnan minim kata, bahkan ketika ayahnya meninggal satu tahun yang lalu. Puti yang sedang mengajar di rumah singgah dekat kampus waktu itu terkejut mendengar kabar duka itu disampaikan Rian yang jadi tandemnya mengajar. Lantas, Puti izin pulang sebelum jadwal dan memesan layanan ojek dalam jaringan ke alamat yang pernah tiga kali ia datangi itu.

Saat Puti datang, tenda di depan rumah Adnan sudah terpasang. Ia tidak sempat bersalin, maka di badannya masih menempel kemeja merah muda, kontras dengan para pelayat yang pakaiannya serbahitam. Adnan melihatnya menyeruak dari kerumunan, memanggilnya pelan karena perempuan itu seperti sedang mencari seseorang dan ia yakin ialah yang dicari.

"Nan...," bisik Puti dengan suara tercekat. How can you look so... normal? Tidak sembap, seperti baik-baik saja, pikirnya ketika Adnan berada di hadapannya.

"Makasih udah dateng, Put," katanya sambil tersenyum.

Lepas itu, Puti dan Adnan tidak bicara apa-apa lagi. Puti menemani Bu Ayu, ibu Adnan, yang tidak menyangka suaminya akan pergi hari itu padahal malamnya mereka baru saja menyusun rencana pembiayaan kuliah Adam, adik Adnan, tahun selanjutnya. Tidak pernah sakit, tanpa persiapan, namun terjadi juga perpisahan. Sedang Adnan mengurus pemakaman sebagai anak sulung yang di pundaknya ada beban yang harus ditanggung, dibantu Adam yang pertahanannya tidak sekuat abangnya karena kesedihan itu jelas ia utarakan lewat wajahnya.

Ketika pemakaman sudah selesai, Puti tetap tinggal setelah beberapa pelayat pamit pada Adnan dan keluarganya yang kini tinggal bertiga. Bagi Puti, pulang urusan nanti. Ia hanya ingin tahu jika Adnan ingin didampingi, bercerita apa saja, menangis juga tidak masalah. Ia ingin membuat Adnan merasa lebih baik, meskipun terdengar naif karena belum sehari musibah ini berlalu.

"Nan, I'm always one call away. Okay?" ujar Puti ketika ia dan Adnan berjalan keluar area pemakaman, beberapa meter di belakang Bu Ayu dan Adam.

Heart OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang