[ Telisik Tapak: #2 ] Kemang dan Segala yang Multitafsir

330 26 6
                                    

Karena rapat himpunan molor, Rian dan Ami memutuskan untuk pergi setelah langit gelap saja daripada harus mencemasi waktu salat magrib yang singkat di antara gencatan lalu lintas Jumat petang. Kini setelah nyaris 45 menit menjadi penyumbang kemacetan, mereka sampai juga di tujuan.

Sudah kelima kali Rian melihat pemandangan yang sama seperti di hadapannya saat ini, Ami memunggunginya dan sibuk memilih varian jus di rak minuman dingin Kem Chicks. Berarti sudah lima kali pula mereka melakukan rutinitas bulanan ini. Berbelanja keperluan masing-masing, lalu diakhiri dengan memesan seporsi pao telor asin, hakau, stim ceker, dan dua botol Badak di Haka.

Kali kelima ini membuat Rian sadar bahwa ia sudah lama bersama Ami. Tidak pernah seperti ini jika bukan dengan perempuan itu.

"I'll go with this one, deh," kata Ami sambil berbalik badan dan memasukkan sebotol jus berwarna merah ke keranjangnya.

"Bit, ya?"

Ami mengangguk. "Bit, apel, wortel, lemon."

Rian mengernyitkan alisnya yang tebal dan rapi, Ami pun sering iri padanya. "Gue pasti nggak suka."

"Lo harus coba sekali aja, Yan, asli. Seenggaknya itu soju-soju di badan lo luruhlah."

"Gue udah nggak minum, ya, Mi," ralat Rian. "Dari terakhir lo bilang jangan."

Perempuan itu tertawa, seolah kalimat Rian bukanlah hal yang serius walau laki-laki itu benar memaknainya. "Masih juga gapapa, kok. Bodo amat soalnya nggak beli pake duit gue."

"Bodo amat?" tanya Rian ulang.

"Iya."

"It's kinda weird because when you stay up all night, mikirin tugas Kastrat sambil belajar, gue kok nggak bodo amat, ya?"

Ami menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik badan menghadap laki-laki yang dikenalnya sejak masuk himpunan itu. "Kenapa?"

"Lo pasti ngerti. I know you're not that stupid," jawab Rian. "Denial lo, Mi."

"Gue tanya kenapa bukan untuk minta klarifikasi kalimat lo, tapi untuk nanya kenapa lo merasa bahwa itu adalah hal yang perlu dilakukan?"

Rian hanya mengangguk ketika Ami menyelesaikan perkataannya lalu kembali berjalan ke rak makanan ringan. Bicara tentang perasaan kepada Ami memang bukan hal mudah. Berkali-kali Rian mencoba, namun tetap saja pembicaraan itu tanpa kesimpulan di ujungnya. Lagipula, Rian tidak bisa mengelak. Ia benar sayang pada perempuan yang vokal menyuarakan aspirasi mahasiswa ke depan jajaran dekanat itu.

Ami tahu, tapi ia memutuskan untuk tutup telinga rapat-rapat. Ia tidak terbiasa dengan segala hal yang menyangkut dengan hati. Ia dan dirinya saja sudah cukup. Ia tidak mau hal tersebut jadi pengacau dadakan di hidupnya. Mungkin suatu hari, jika semua jadi masuk akal untuknya dan ia siap menanggung risiko jatuh hati.

"No Haka today," kata Ami sambil menoleh sedikit ke belakang.

"Karena gue nyebelin hari ini?"

"Wow, bagus juga lo nyadar," jawab Ami. "Tapi bukan soal itu, kok, Yan. Gue lagi nggak mood."

"Nggak mood-nya, kan, karena gue," ujar Rian sambil memasukkan beberapa makanan ringan ke keranjangnya.

Ami mengendikkan bahunya. "Kalo lo berkesimpulan kayak gitu, ya udah."

"Makan di kosan gue, mau? Masih ada beef teriyaki, tinggal diangetin," tawar Rian karena rasa laparnya yang sudah tidak bisa dilawan.

Beberapa menit, pertanyaan itu seperti menggantung di udara. Ami sedang menimbang apakah ia sanggup menghabiskan makan malam jika harus bersama laki-laki yang ia ingin hindari ini. Ami ingin memberi jarak. Jangan terlalu deket, Yan, nanti lo malah lari, seringnya Ami memperingatkan Rian dalam hati.

Akhirnya, Ami mengangguk. Pelan ia coba terima beberapa hal yang tidak bisa ia kendalikan.

Beberapa hari lalu ketika Rian mengajaknya ke M Bloc untuk menonton Coldiac, Ami sempat canggung karena di jalan pulang, ia masih teringat ketika lagu Vow dinyanyikan, Rian menatapnya lurus-lurus sambil ikut bergumam, "Baby stay the same. Don't you feel the same?". Di dalam mobil, Rian pun sama diamnya. Mau tidak mau, ia larut dalam bungkam Ami dan rahasia-rahasianya.

Sama seperti malam ini ketika keduanya iseng menyetel film Mantan Manten sebagai teman makan malam irit mereka di ruang makan indekos Rian. Mereka berbagi earphone, Rian sebelah kanan dan Ami sebelah kiri, karena enggan mengganggu penghuni yang lain jika suaranya terdengar sampai ke kamar-kamar.

Selepas beef teriyaki yang tadi dipanaskan di teflon oleh Rian dan telur dadar buatan Ami, mereka masih anteng menatap layar laptop di hadapan. Ami sebenarnya ingin pulang, tidak enak jika harus berada di sana hingga larut malam. Hanya saja, sudah kadung film itu diputar dan Ami harus menyelesaikannya dalam satu duduk, jadi ia tetap tinggal.

"Yan, jangan banyak gerak. Earphone gue ketarik-tarik," kata Ami ketika Rian kembali dari kamarnya untuk memberikannya sarung bermotif batik megamendung.

"Maaf sweater gue lagi di-laundry semua. Adanya sarung, kalo lo kedinginan," sahut Rian tidak memedulikan ocehan Ami barusan.

"Malah gerah yang ada, Yan."

"Ya, masa mau di kamar yang ada AC-nya? Baru nutup pintu udah digrebek warga."

Mendengar omongan Rian yang mulai aneh, Ami memutuskan untuk kembali fokus pada film. Mereka tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Keduanya larut dalam adu peran Atiqah Hasiholan dan Arifin Putra.

Ketika film memasuki babak ketiga dan Ikat Aku di Tulang Belikatmu milik Sal Priadi mengiringi gambar sebagai lagu latar, Ami tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Badannya naik-turun tidak dalam ketukan. Ami tidak pernah menangis di hadapan siapapun, terlebih di hadapan Rian yang kali ini bingung dan kaget sekaligus.

Film itu usai, namun Ami masih menunduk seperti membiarkan air dari matanya jatuh saja sekalian. Rian tidak mampu menyiapkan kata tanya, maka direngkuhnya perempuan itu yang tiba-tiba jadi seringkih kertas basah.

Rian hanya memeluknya, Ami dan segala tentangnya yang belum ia ketahui.

Heart OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang