07. Our Fate (END)

3.1K 300 33
                                    


Aku membuka mata ketika merasakan cahaya matahari menerpa wajahku. Serta merta aku bangkit dan menatap sekelilingku.

Sebuah kamar berukuran suit yang tampak mewah dan elegan. Ini bukan sel tahanan. Jelas bukan. Sempat mengira ini mimpi, namun itu terbantahkan ketika aku beranjak turun dan merasakan bahwa apa yang ada di sekelilingku adalah nyata.

Aku berlari ke dekat jendela dan mendapati pemandangan luar biasa dari sana. Aku ternganga.

Yang kulihat selanjutnya adalah pepohonan, dan pepohonan lagi. Astaga, aku berada di tengah hutan?
Ini tampak seperti aku sedang berada di vila yang berada di lantai tujuh. Itu dikarenakan aku bisa leluasa memandangi hamparan pepohonan di luar sana.

Di mana ini?
Di mana aku?

Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok lelaki tampan muncul dari sana. Lelaki tinggi tegap berpakaian rapi. Celana linen yang diseterika dan kemeja putih yang ujungnya tak dimasukkan.
Penampilannya terlihat makin maskulin karena lengan bajunya ia gulung hingga ke siku. Dan tentu saja itu menunjukkan otot-otot tangannya yang kekar.

Aku menelan ludah. Lututku lemas seketika.
“Luc?” desisku.

Lelaki itu sempat menatapku dengan canggung lalu melangkah mendekatiku. “Kau sudah sadar?”
“Untuk apa kau di sini?” Aku balik bertanya.
“Ini vilaku. Aku yang membawamu ke sini,” jawabnya.

“Kenapa kau membawaku kemari?”

Luc tak segera menjawab.

“Aku tahu tentang apa yang terjadi antara kau dan suamimu. Aku tak bisa membiarkanmu tinggal di penjara, jadi aku mengatur rencana untuk membebaskanmu dan melarikanmu ke sini,” jawabnya.
“Maaf, aku tak bermaksud lancang dengan ikut campur masalah keluargamu. Tapi aku tak akan membiarkanmu tinggal di penjara lebih lama lagi. Aku takkan tega,” lanjutnya.

“Aku tersangka pembunuhan, kau harus tahu itu. Jika kau membawaku lari dengan cara seperti ini, itu sama saja menjadikanku buronan. Dan kau juga akan menjadi buronan karena membantuku,” sanggahku.

“Aku tak peduli,” jawab Luc cepat. “Aku takkan pernah membiarkanmu tinggal di penjara lebih lama lagi. Itu tekadku. Walau kau membenciku, walau mereka akan menjadikanku buronan. Toh aku percaya kau tak berniat mencelakai suamimu. Kau takkan tega melakukannya. Aku mengenalmu dengan baik.” Ia kembali menjawab tegas. 

“Vila ini terletak di pulau pribadiku. Takkan ada orang yang tahu. Setidaknya, dalam waktu beberapa hari sampai akhirnya polisi mengerahkan kemampuannya untuk mencarimu. Tapi percayalah, kau aman di sini. Bersamaku.” Mata abu-abu itu menatapku dengan dalam, tatapan melindungi dan menenangkan.

"Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah makan, baru kita akan bicara.” Luc berbalik. Langkahnya baru saja akan mencapai pintu ketika akhirnya aku memanggil namanya lirih.

“Luc...”

Lelaki itu berbalik. “Hm,” jawabnya pendek.

Kami berpandangan.

Aku merasakan bibirku bergetar. “Aku ... sudah ingat semuanya,” jawabku kemudian.

Seketika raut muka Luc terlihat kaku. Mata teduh itu tertegun menatapku.
Aku kembali menelan ludah dan bersusah payah untuk kembali berkata-kata. “Aku sudah ingat semuanya, Luc. Aku ... ingat tentang kisah kita,” lanjutku.

Rahang Luc tampak kaku. Tatapan kami terkunci satu sama lain untuk waktu yang cukup lama.

“Kalau begitu ...” jakunnya naik turun. “Kalau begitu, apa yang kau tunggu?” Ia merentangkan kedua tangannya. “Kemarilah, Aletha. Kekasihku.”

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang