05. Tragedy

1.9K 215 6
                                    


“Ini bukan yang pertama kalinya, Aletha. Aku sudah mendengarmu mengigau berkali-kali, menyebut nama itu ... Luc.” Tatapan mata Will lurus ke manik mataku.

“Siapa dia? Siapa Luc?” Dan tatapan matanya seakan meminta penegasan. Aku mendesis lalu memijit pelipisku sendiri.

“Aku tak tahu, Will. Sungguh aku tak tahu. Aku bahkan tak ingat aku bermimpi apa,” jawabku, berbohong.

“Aku hanya ingat bahwa aku bermimpi buruk, aku dikejar-kejar hantu dan merasa ketakutan. Dan setelahnya, aku terbangun dengan kelelahan seperti ini,” lanjutku.
“Aku berencana berkonsultasi dengan psikiater, barangkali ia bisa membantuku keluar dari mimpi buruk ini.” Aku kembali menatap lelaki itu.

Will tampak kaget.
“Untuk apa kau berkonsultasi dengan psikiater? Kau tak mengalami gangguan jiwa.” Ia menyanggah.

Aku mengangat bahu.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku juga lelah mengalami mimpi buruk seperti ini. Aku kehabisan akal,” jawabku putus asa.

Will menarik napas berat. Kemudian ia beringsut lalu kembali memelukku.

“Sudahlah. Ayo kita tidur. Kau pasti lelah,”  bisiknya lembut sambil mengecup keningku yang berkeringat.

Ia membantuku berbaring dan sesekali menepuk punggungku dengan pelan.

Tapi aku tetap saja tak bisa tidur, sampai keesokan harinya.

***

Aku memasuki ruang kerjaku dengan tergesa-gesa. Tanpa menyapa beberapa staf yang lain, aku bergerak menuju meja Emma.

Perempuan itu tampak sibuk menatap layar komputer hingga tak melihat kedatanganku.

“Em, bantu aku membuat janji dengan psikiater,” ucapku langsung, dengan suara pelan. Serta merta Emma memutar tubuhnya ke arahku dan menatapku dengan bingung.

“Aku sudah bilang padamu, beberapa waktu ini aku dihantui mimpi buruk. Dan aku butuh orang yang bisa membantuku dari mimpi menakutkan ini. Jadi...”

“Aletha...” Emma setengah berbisik sambil mengangkat tangannya. Ia bangkit dan mendekatiku.
“Sebelum kita bicara tentang psikiater dan masalahmu, ada sesuatu untukmu,” lanjutnya.

Aku mengernyit. “Apa?” desisku.

“Kau... ada tamu.” Emma mengarahkan jari telunjuknya ke arah balkon. Aku memutar tubuhku untuk mengikuti arah jemarinya. Dan aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian rapi yang tengah duduk dengan gusar di kursi yang berada di balkon ruang kerja kami.

Mataku membelalak. Aku kembali memutar tubuh ke arah Emma dan menatapnya dengan bingung.

“Luc? Untuk apa dia di sini?” Aku berbisik. Sahabatku itu mengangkat bahu.

“Dia sudah di sini sejak 15 menit yang lalu. Dia bilang, dia harus bertemu denganmu karena ada yang ingin ia sampaikan,” jawabnya.

Aku menggigit bibir. Tanpa meletakkan tas di meja kerjaku, aku beranjak, menuju balkon, menemui Luc.

“Hai,” sapaku duluan. Luc menoleh dan menatapku. Serta merta ia bangkit dari tempat duduknya.

“Hai. Maaf kalau aku mengejutkanmu. Ada sesuatu yang harus kuberikan padamu,” jawabnya. Ia meraih sesuatu dari saku jas nya lalu mengeluarkan sebuah bros mungil berbentuk bunga tulip.

Kedua mataku menyipit, bros itu seperti kukenal.

“Milikmu.” Luc menyodorkan bros itu ke arahku.
“Kemarin terjatuh dan tertinggal di rumahku,” ucapnya lagi.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang