Aku mendapati diriku terbaring di sofa ketika membuka mata. Aku bangkit dan kepalaku terasa berdenyut-denyut sakit. Lelaki itu duduk di sofa di seberang meja, menatapku, dengan tatapan cemas.
“Kau menangis dengan histeris dan tiba-tiba saja tak sadarkan diri,” ia membuka suara.
Aku memijit-mijit pelipisku sesaat.“Maaf, sebenarnya aku tak biasa begini. Maksudku, aku tak sering pingsan. Kita bertemu dua kali dan kau selalu mendapati diriku tak sadarkan diri__” aku tersenyum getir.” Sungguh, ini bukan diriku. Aku hanya merasa sedikit lelah saja akhir-akhir ini,” ucapku.
Tidak hanya lelah, tapi energiku serasa tersedot habis dalam mimpi-mimpiku bersamamu! Teriakku dalam hati.
“Aku memanggil dokter pribadiku kemari. Dia sedang dalam perjalanan,” lelaki itu melanjutkan.
“Apa?” Suaraku terdengar protes.
“Aku __ cemas,” ia bangkit. Pandangan kami kembali beradu.“Aku hanya syok dan kaget. Bisa kau batalkan panggilan doktermu? Demi Tuhan, aku terlalu bingung untuk mencerna semua ini. Aku ... hanya butuh waktu untuk berpikir dan ... berbicara banyak hal padamu,” jawabku.
Lelaki itu terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu. Perlahan ia mengangguk.
“Baiklah,” jawabnya kemudian seraya beranjak menuju meja telpon dan tampak berbicara dengan serius di telepon. Setelah itu ia beranjak, entah ke mana, dan sekian detik kemudian ia muncul dengan segelas air putih di tangannya.“Minumlah dulu, agar rasa syok-mu berkurang,” ia menyodorkan segelas air putih itu padaku. Aku sempat enggan menerimanya. Tapi menyaksikan tangannya yang terulur, aku menerimanya. Dan segera kutenggak air putih itu, hingga habis.
“Whoaa, apa kau benar-benar kehausan?” Ia mencoba bergurau, tapi otakku terlalu buntu untuk menangkap gurauannya.
Aku meletakkan gelas ke meja, merapikan bajuku, lalu kembali menatap lelaki bermata indah itu.“Luc?” Aku memastikan. Ia mengangguk.
“Jadi ... dari mana kau tahu namaku?” Aku bertanya langsung.
Luc kembali duduk di kursi di seberang meja, tatapan matanya kembali padaku. Kali ini tatapan intens yang seolah-olah mengatakan bahwa dia telah mengenalku selama ribuan tahun!
“Cara yang sama seperti kau bisa tahu namaku,” jawabnya.
Aku ternganga. “Melalui mimpi?” Aku memastikan. Dan ia mengangguk.
“Jadi ... kau juga mengalami mimpi yang sama denganku?” tanyaku lagi dan Luc kembali mengangguk.
Aku menatap sekelilingku sekilas dan kembali meremas-remas jemari tanganku dengan gelisah.
“Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita... mengalami mimpi yang sama, maka, kita, kau dan aku, pasti merasakan hal yang sama pula bahwa kita punya semacam___”
“Konektivitas.” Luc memotong. Aku bergidik.
“Entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa. Aku ... bingung.” Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku selama sekian detik sebelum fokus menatap Luc lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi di antara kita? Ada apa antara kau dan aku?” Aku bertanya lirih.
Luc menarik nafas pendek dan kelihatan... rapuh.
“Aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun, Aletha.” Akhirnya ia membuka suara. Aku mendelik.
“Apa?”
Luc mengangkat bahu.“Itu benar, aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun. Awalnya mimpi yang kualami hanyalah penggalan-penggalan cerita yang membuatku seperti orang gila - Aku bahkan menganggap diriku gila, jika kau mau tahu itu. Kau hadir dalam mimpiku, hampir setiap malam, tanpa bisa kucegah, hingga membuatku frustasi dan putus asa karena aku benar-benar tak tahu kau siapa. Tapi, lambat laun, mimpi yang kualami semakin intens hingga membentuk satu kisah utuh yang menggiringku pada jawaban tentang siapa kau, siapa aku, dan apa yang terjadi dengan kita.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE
FantasíaAletha menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, William. Tapi apa jadinya jika setiap malam ia malah memimpikan lelaki lain? Lelaki yang tak ia kenal, lelaki yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Hampir setiap malam lelaki itu datang dalam...