02. Luc

2.3K 271 4
                                    

°°°

Kami berpegangan tangan. Lelaki bermata teduh itu menatapku penuh cinta.

“Tak peduli apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu. Percayalah padaku,” ia berucap.

Aku tersenyum, mengangguk. Dan ia menciumku, dengan lembut.

Tapi, tiba-tiba tanah tempat kami berpijak seakan terbelah. Sebuah lubang menganga tepat di bawah kaki lelaki tersebut hingga ia terperosok.
Tubuhnya menggantung, lubang itu seakan siap menelannya hidup-hidup.
Aku berusaha menggenggam tangannya dan menarik tubuhnya. Tapi tak berhasil.
Pegangan tanganku terlepas.
Ia terjatuh dan seakan tersedot ke dalam lubang tersebut.

Aku berteriak, menangis, sesenggukan.

Tidaaakkk!!

***

Mataku terbuka. Aku mendongak cepat dan rasa pusing segera menderaku. Kutatap sekelilingku. Astaga, aku ketiduran di meja kerjaku lagi.

“Ada apa denganmu?” Aku mendengar suara Emma.

Aku menoleh dan perempuan itu sudah berdiri di sampingku dengan wajah pucat. Tubuhnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya melingkari bahuku. Jadi, aku tak terbangun dengan sendirinya. Dia-lah yang berusaha membangunkanku.

“Kau ketiduran lagi di meja kerjamu. Kau mengigau, kau meracau, dan kau bahkan sempat kejang beberapa kali. Ada apa denganmu? Kau mimpi buruk? Aletha, kau membuatku ketakutan. Perlu waktu beberapa menit untuk membangunkanmu.” Ia kembali berucap dengan cemas. Aku menatapnya sesaat, sempat linglung.

“Maaf, aku memang mimpi buruk. Tapi sekarang aku baik-baik saja,” jawabku. Aku bangkit. Sedikit terhuyung.

“Aku perlu minum,” ucapku lagi seraya  beranjak mengambil minum di lemari pendingin, kemudian kembali lagi ke mejaku. Aku merasakan tatapan Emma tak berpindah dariku. Aku tersenyum, berusaha tampak biasa-biasa saja.

“Hanya mimpi buruk, Em. Hal yang... biasa,” ucapku.

“Tidak, aku yakin ada hal yang tak biasa. Kau pasti mengalami ... sesuatu.” Ia memastikan.

Aku meneguk minumanku sampai habis lalu menghempaskan tubuhku di kursi. Emma menarik sebuah kursi ke arah mejaku dan segera di duduk di sampingku.

“Apa kau bertengkar dengan suamimu?” Pertanyaan perempuan segera kujawab dengan gelengan.

“Kami baik-baik saja. Sangat baik dan bahagia.” Aku menegaskan.
“Lalu... dengan keluargamu?” Ia kembali bertanya dan aku juga kembali menggeleng.

“Lantas?” Emma tak putus asa untuk terus bertanya. Aku terdiam sesaat, memandangnya.

Aku menarik nafas panjang lalu berkata, “Em, kau tahu bahwa aku memang tak bisa menyembunyikan apapun darimu. Tapi, belum ada yang bisa kuceritakan padamu, sungguh.”

“Jadi benar ada yang tidak beres denganmu, kan?”

Aku mengangkat bahu, menyerah. “Ya, ada sesuatu yang tak beres denganku. Tapi sampai aku tahu dengan pasti apa yang terjadi denganku, bersabarlah untuk menunggu ceritaku, oke?” Aku setengah memohon padanya.

Tatapan Emma tampak protes, tapi sesaat kemudian ia mengangguk. Aku menatapnya dengan tatapan tak mengerti ketika aku menyadari bahwa pandangannya tak beranjak dariku.

What? Apa lagi?” tanyaku.
Ia menggigit bibirnya, tampak ragu. “Aku mendengarmu... mengigau,” ia berkata kemudian.

“Dan?” Aku serasa tak sabar untuk mendengarkan kelanjutan kalimatnya.
“Kau... menyebutkan nama seseorang.” Emma kembali berujar.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang