Aku Pergi!

106 9 5
                                    

Entahlah...harus bagaimana lagi aku menyikapi, sungguh rasa ini tak bisa ku mengerti, berbagai cara telah aku lewati, semakin aku melepaskan semakin erat rasa itu kembali.
Ya Illahi... kemana lagi harus kusandarkan hati ini?
Kau yang mengetahui segala hati, berilah hambamu ini kekuatan setidaknya untuk mengikhlaskan jika belum bisa kulepaskan.

Semakin berat langkah ini pergi, semakin bertambah pula harapan itu datang menghampiri, aku sudah muak dengan rasa yang terus menggorogoti hati. Melihat senyumnya, tingkahnya serta sanda guraunya membuat hatiku ingin benci, tapi tak bisa? Entahlah.... kenapa?

Dret.... hanphoneku bergetar dari saku kananku, perlahan kulihat siapa yang sedang menelponku, melihat nama Zaid yang ada dilayar hanphoneku, ingin ku buang ponsel itu, sungguh aku tak ingin mensengar suaranya, apa pun tentangnya aku tak ingin berurusan lagi dengannya. Hati kecilku berkata lain, angkat saja mungkin saja penting. Entahlah... bisikan syaitan atau malaikat, aku pun menurutinya.

"Asslamualaikum, ada apa Zaid?" sahutku dengan sopan.
"Walaikumsalam, aku perlu bantuanmu, kamu bisa menolongku Nisa?" Kata Zaid dengan nada yang seperti orang kebingungan.
"InsyaAllah, selama aku bisa, memangnya ada apa?" Jawabku dengan manis. Munafik!
"Alhmdulillah aku sudah melamar Ersya!" Ucapnya terpotong.
"Lalu?" Tanyaku heran.
"Maukah kau membantuku untuk menemani Ersya membeli cincin, kau sudah ku anggap adikku sendiri Nisa, adik perempuanku tak begitu kenal dengan Ersya, apalagi kalian berdua sahabatan pasti akan cocok nantinya, aku tidak bisa menemaninya, ikatan khitbah hanya sebuah kepastian hati sementara, tolong untuk kali saja!" Tuturnya dengan halus.
Aku terdiam sejanak, apakah ia tak salah orang? Kenapa harus aku? Apalagi setelah mendengar pengakuannya yang selama ini hanya meanggapku seperti adik perempuannya. Pilu, sungguh!
"Bagaimana Nisa? Kok diam? Kamu bisa kan?" Katanya mengejutkanku.
"InsyaAllah bisa, kapan?" Sahutku spontan.
"Besok ba'da zuhur insyaAllah, nanti kau bisa langsung jemput Ersya ya, uangny sudah ku transfer padanya, kau cukup menemaninya saja" pintanya dengan ramah.
"Baiklah"
"Terimakasih banyak Annisa Al-firdaus, semoga segala kebaikanmu dibalas Allah, kalau tidak di dunia, semoga kelak mendapatkan balasannya di akhirat, assalamulaikum" ia mengakhir telponnya dengan mengucap salam.
"Walaikumsalam"
Tuut... tuttt.. tanda telpon berakhir.

Hei! Kenapa aku mengiyakannya? Padahal aku bisa menolaknya. Jika tidak nyaman dengan hati, bukan karena orang yang menyakiti, tapi diri sendiri membiarkan rasa itu memasuki diri, hingga tak mampu lagi menyikapi.
Ya Illahi Robbi...kuatkan hati ini!

***

Sesuai kesepakatan aku akhirnya menemani Ersya untuk membeli cincin. Kalain ingin tau siapa Ersya Farsya Ramadhani yang sesungguhnya? Wanita cantik yang memiliki segudang bakat, kecerdasan yang luar biasa, akhlak yang begitu mulia, siapa pun yang mendapatkannya akan menjadi lelaki terberuntung di dunia. Zaid, adalah salah satunya.

Setauku banyak lelaki yang mencoba mendekatinya, mulai dari pengusaha, ustadz, anak kiyai, sampai anak pejabat politik sekalipun. Siapa yang bisa menduga jika Ersya memilih Zaid sebagai pendamping hidupnya selamanya. Ia sempat bertunangan dan hampir menikah dengan seorang lelaki pengusaha muda yang merupakan seorang penghafal Al-qur'an, lelaki itu bernama Muhammad Hafiz. Anak angkat dari pengasuh pondok dimana aku, Zaid, Ersya dan hafiz tinggal dalam menuntut ilmu. Tapi takdir mengatakan lain, saat malam pernikahan antara Hafiz dengan Ersya, Hafiz kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia. Oh... ya Ersya Farsya Ramadhani adalah seorang wanita yang pernah mengidap penyakit tumor otak sebelumnya.

Aku tetap bersikap sewajarnya kepada Ersya, tak ada perubahan. Aku tetap santai dan enjoy kepadanya, dalam perjalanan kami sering tertawa, bernyanyi seakan tidak ada terjadi apa-apa antara hatiku yang telah terluka.

"Sya... bagaimana dengan novelmu yang berjudul Lelaki berjanggut itu?" Tanyaku memulai pembicaraan, dari pada boring.
"Alhmdulillah sudah tahap terbit Nis... doakannya biar bisa best seller lagi, seperti karnyaku yang lainnya" tuturnya dengan tersenyum.
"Wahhh, hebat kamu Sya! Ajarin aku dong biar bisa jadi penulis hebat dan papoler kayak kamu, penggemarnya banyak, karnya pun juga banyak hehe" sahutnya dengan cengengesan.
"Ahhh... kamu bisa aja Nis, tulisanmu juga bagus, cuma perlu dipoles lagi sedikit, hehe" ia tersenyum. Duhhh senyumnya itu manis banget pantas saja Zaid terpesona dibuatnya.
"Bagi tipsnya dong!" Ujarku sambil ngedipin mata genit.
"Yang penting kita nulisnya dari hati Nis, gak kebawa nafsu, ikhlas, dan apa adanya, tulisan kita pun akan mengalir begitu saja tanpa harus direkayasa ataupun terbawa bumbu teori nulis yang sekarang ramai ada dimana-mana, kamu harus pede, dan satu hal lagi jangan males buat nulisnya, kalau punya ide yang cemerlang atau apa pun itu tulisknya saja!" Katanya sambil merangkul bahuku.
"Laper, makan yuk!" Kutarik tangannya menuju tempat makan yang tak jauh dari toko cincin.
Sesampai ditempat makan Ersya menanyakan suatu hal yang sungguh mengagetkanku.
"Nis... boleh nanya seauatu gak?" Tuturnya dengan ramah.
"Boleh, tanya apa Sya?" Jawabku dengan tersenyum manis.
"Maaf sebelumnya, jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu atau pun hatimu, aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja ada yang mengganjal dihatiku, jika tidak menanyakan ini" ujarnya dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku tau antara kau dan Zaid memanglah sahabat dari kecil, hingga orang tuamu selalu mempercayakanmu padanya, apa kau tak ada sedikitpun rasa tertarik padanya? Padahal ia lelaki yang sholeh, baik, tampan, cerdas hafalan qur'annya masyaAllah, mapan bahkan sekarang menjadi kepercayaan Pak Kiyai untuk meneruskan pondok yang ada di kalimantan timur?" Lanjutnya lagi, sungguh mencengangkan. Pertanyaannya bagaikan racun bagiku hatiku.
"Haha mana mungkin aku suka dengan Zaid, dia itu usil, jail, jutek dan lelaki yang paling menyebalakan selama aku kenal!" Ucapku dengan tawa, membuat Ersya bingung.
"Kenapa kau berkata begitu?" Ersya mengerukan dahinya.
"Zaid itu sudah kuanggap seperti abangku sendiri Sya, tak ada perasaan lebih, aku memang sering bercanda dengannya, kalau kau sudah nikah nanti, kau harus hati-hati! ia jahil, usil, nyebelin tapi nyenengin kok kadang hehe" jawabku datar.
"Bagaimana dengan tulisanmu yang ada di bloger itu, judulnya pangeranku, semua karakter dan yang lainnya itu menggambarkan kau menyukainya melebihi seorang abang! Maaf." Tatapanya mataku dengan tajam, seakan mencari celah bahwa kali aku sedang berbohong.
"Tatap mataku Sya! Apa ada sebuah celah dusta diantara kata-kataku?" Ku lekat matanya dengan tajam, menggambarkan bahwa aku tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Zaid. Munafik!
"Aku ikhlas Sya, sebelum semuanya terlambat!" Tuturnya, namun bening air matanya tak mampu menggambarkan bahwa hatinya tidak apa-apa mengatakan itu semua. Jika lidah bisa berdusta,tapi isyarat mata bisa dibaca. Sungguh hatimu terlalu mulia, aku tak pantas mendapatkan itu semua, perlahan rasa ini pun belajar mengikhlaskannya dengan sabar.
"Sudahlah Sya, jangan kau ungkit antara aku dengan Zaid, ia memang ku anggap seperti abangku sendiri, soa tulisanku di blog itu hanya sebuah anganku saja, jika menurutmu itu sama dengna Zaid dan aku menyukainya, kau salah besar!" Aku memang terlalu pandai bersandiwara, atau pun karena hatiku sudah terlanjur kecewa.
"Memang ada seseorang yang aku doakan dalam setiap sujudku pada Robbi, peru kau tau nama itu bukan Zaid!" Ujarku meyakinkan Ersya dan kali ini ia benar-benar percaya.
"Sungguh? Siapa?" Tanyanya dengan penuh semangat.
"Cukup aku dan Allah saja yang tau!" Sahutku dengan mengedipakan mata. Munafik, pembohong besar, 2 kata itu cukup menggambarkan siapa aku. Ya Illahi Robbi... maafkan atas segala kekhilafan hambamu ini! Lirihku dalam diam.

***

Jelang waktu pernikahan Ersya dengan Zaid. Aku mendapatkan tugas dari kampus untuk pergi ke jawa dalam rangka penelitian akhir tugasku, aku benar-benar bersyukur kepada Allah karena telah diberi kesempatan untuk menghindari acara pernikahan mereka. Bukan aku tak rela, ataupun tak ikhlas, hanya saja hatiku masih tak sanggup melihatnya. Aku harus menerima amukan mereka karena kepergianku disaat hari bahagianya, itu lebih baik dari pada aku harus hadir diacara walimahannya.

Assalamulaikum guys...! Gimana kabarnya?
Sehat?
Alhamdulillah... semoga kalian semua dalam lindungan Allah... aamiinn insyaAllah...
Penasaran?
Sama saya juga hihihi😆😅
Jangan lupa like dan tersenyum ya...!😊
Terimakasih sudah membaca 😊☺😉😘😙

mencintaimu adalah luka paling disengaja (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang