Aku, Kamu, dan Dia!

120 9 2
                                    

Annisa Al-firdaus lahir di kota Amuntai Kalimantan Selatan. Tepatnya desa Panyiuran, senin 13 November 1995. Saat ini usiaku telah menjalani 20 lebih, ya bukan usia anak remaja lagi, melainkan telah dewasa. Katanya.

Bukan pula bocah ingusan yang selalu nangis disetiap bangun tidur. Gak akan bisa diam kecuali dipindah dari tempat tidur ke kasur, bukan lagi anak manja yang selalu disiapkan makananya, dirapikan bajunya dan siapakan segala kebutuhannya, kalau tidak aku akan teriak sekencang-kencangnya sampai seluruh kampung tau. Kata Umi, aku ini manis, tapi kalau di mata Abi aku selalu cantik. Sejak kecil aku aku selalu dimanja oleh Abi, apa pun keinginanku selalu dipenuhinya, meskipun tidak selalu disaat aku minta Abi selalu turuti. Abi selalu punya cara untuk menggenggamku tanpa harus melepaskan.

Sekarang aku adalah mahasiswi akhir semester yang ada di salah satu kotaku, aku lagi sibuk dengan skripsi dan profosal serta yang lainnya. Untung saja selalu ada Zaid yang siap siaga membantuku.

Zaid, adalah sahabat kecilku, ia tau segalanya tentangku. Kami sama-sama dilahirkam di pondok yang sama, membuatku semakin dekat padanya. Abi pun selalu mempercayai apabila aku berpergian jauh dari rumah, selama ada Zaid aku bisa pergi kapan pun dimanapun, dan bersama siapapun.

Selain itu Zaid juga merupakan guru privatku. Entah kenapa mondok selama 6 tahun, pelajaran nahu dan shoraf itu selalu saja membuatku bosan, setiap kalam dan kalimatnya membuatku pusing, terlalu rumit untuk otakku bisa memahami. Lain lagi dengan Zaid, baginya nahu dan shoraf itu  seperti nyawa dalam kehidupanya hingga dengan mudah ia bisa memahami dan mengajarkannya kepada siapa saja. Satu hal lagi yang harus kalian tau, aku adalah pencinta sastra, tapi fakultas jurusan kuliahku adalah Prodi Bahasa Arab. Bertolak belakang dengan Zaid yang mengambil jurusan bahasa sastra. Sungguh ini tak adil!

Tak mudah bagiku untuk bisa bertahan selama 4 tahun di fakultas tersebut. Bayangkan saja aku menjalani dengan saparu hati, sungguh benar-benar tidak ikhlas. Jika ditanya kenapa kamu masuk fakultas bahasa arab? Jika aku menjawab karena keingin tahuanku belajar tentang tafsir dan memahami Al-qur'an dan sebagainya. Itu benar-benar jawaban munafik yang pernah aku jawab, sebenarnya aku hanya ingin menghafal Al-qur'an disitu, karena fakultas menerapkan pondok tahfiz dimana kita bisa sarjana yang bisa bergelar status Hafizah atau pun hafiz setelah lulus dari fakultas tersebut.

Zaid adalah orang pertama yang membuatku jatuh cinta dengan bahasa arab. Ia mengenalkanku laksana seorang Ayah yang sedang memperlihatkan keindahan dunia, padahal tak jarang aku memintanya untuk mengerjakan tugas kampus yang menurutku sulit, namun dengan mudahnya ia menjawab semua tugas itu. Segala sesuatu yang berkaitan denan Zaid selalu saja bisa membuatku terlena dengan rasa.

Masih terniang bagaimana Zaid mengungkapkan rasanya untuk Ersya kepadaku, rasa sakit ini masih membekas di qalbu. Jika sebuah luka di tangan ada bekas setelahnya, begitupun dengan hatiku setelah tergores luka hanya bekas dan bagaimana cara mengobatinya saja yang masih terbelenggu.

Bersikap sewajarnya dan biasa saja itu mudah, tapi mengembalikan rasaku untuk seperti semula itu susah. Karena rasa yang telah hadir itu anugrah, apakah sebuah luka ini merupakan musibah? Ya Robbi... tuntun hati ini kembali kepada-Mu, biar rindu ini selalu bertemu dengan-Mu. Lirih Annisa dalam diamnya.

tak sengaja aku bertemu dengan Zaid di belakang kantor pondok. Aku merupakan stap pengajar bagian kepengurusan putri di Pondok bukan pengajar yang memberi pelajaran kitab kuning, melainkan mengurus admitrasi dan pelajaran umum lainnya. Hal ini membuatku harus sering terlibat dengannya yang terkadang harus selalu berjumpa setiap harinya, jika sebelum aku menjadi pengajar hanya 3x seminggu karena ia mengajari sebagai guru privatku, sekarang aku bisa berjumpa dengannya tiap hari diruangan ini, itu semua membuatku lelah, bukan badanku tapi hatiku.

"Assalamualaikum ustazdah" sapanya dengan ramah.
"Walaikumsalam ustadz" sahutku tersnyum padanya.
"Boleh ana bicara sebentar?" Katanya dengan sopan.
"Maaf, gak enak ustadz, kita lagi ada di pondok kalau nanti ada yang melihat ana takut mereka salah paham" tolakku dengan manis.
"Oh... baiklah kalau begitu, nanti ku telpon saja, assalamualaikum" ia berlalu dari hadapanku. Tanpa sedikitpin melirik kepadaku.
"Walaikumsalam"

Entah apa yang hendak ia katakan aku tak tau. Yang jelas aku hanya tak ingin melihatnya, tak ingin melihat senyumnya, kalau bisa aku jangan lagi berjumpa dengannya.

Assalamulaikum guys... gimana?
Duhhh kalau kalian diposisi Annisa gimana ya? Harus menghindar tapi gak bisa, tunggu sambungannya... 😆
Jangan lupa like, komen atau ada yang ngasih saran atau pun ide, boleh kok 😊

Tetap tersenyum ya gusy...!😊

mencintaimu adalah luka paling disengaja (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang