BAB 3

88 7 3
                                    

Suara pintu yang tertutup sangat jelas terdengar ketika aku, Hamdi, dan Yongki memasuki ruang kesiswaan. Disana sudah ada Bapak serta orangtua Hamdi dan Yongki. Bu Puspa menjelaskan panjang lebar tentang peraturan sekolah ini dan apa saja kesalahan-kesalahan kami. Bagiku sebenarnya ini sangat buang-buang waktu, seharusnya aku bisa mendapatkan pelajaran lebih untuk menghadapi ujian, tapi waktuku terpangkas hanya untuk hal sepele seperti ini.

"alahhhh ngantuk gue denger dia ngoceh mulu" dengan nada pelan Yongki menggerutu.

"emang lo doang? gue udah sering nih kayak gini" Hamdi dengan ketus membalas.

Setelah bu Puspa selesai menjelaskan kesalahan kami, Bapak keluar dengan wajah dingin; aku tahu ia kecewa dengan sikap anak sulungnya yang bukan hanya hari ini membuat masalah.

"Bapak , abang minta maaf bikin repot bapak terus." kataku dengan wajah memelas.

"Kamu udah dewasa, udah seharusnya berfikir." sahut bapak dengan santai, namun sangat penuh makna.

"Bapak langsung berangkat kerja ya, abang jangan buat masalah lagi. Inget ibu dirumah!" aku mencium tangan bapak sebelum ia pergi.

Sejak kejadian kemarin aku berfikir. Mungkin kejadian ini akan menjadi yang terakhir selama aku berseragam abu-abu.
Bapak selalu membawa ibu ketika menasihati, mungkin ia tahu bahwa aku paling tidak bisa melihat ibu menangis karena ulahku. Aku terlalu sensitif jika bicara tentang satu malaikat yang menjagaku sejak kecil hingga tumbuh besar seperti ini.

"aku harus sukses dan gak boleh bikin kecewa bapak dan ibu"

Aku memasuki kelas setelah berpisah dengan bapak di lobby sekolah. Sialnya, aku lupa membawa Al-Quran! hari ini pelajaran agama. Jika tak membawa, habislah aku dengan abi Ahmad dengan cubitan yang kecil, namun membuat seluruh tubuh panas dingin.
Ternyata teman sekelasku yang bernama Danang juga lupa membawa. Oiya, Danang ini sohib sebangku yang dari kelas 10 menemani ku, kami selalu bersama melakukan suka dan duka.

"Izin keluar dulu yuk, cari Quran" Danang mengajakku untuk mencari di sekitaran sekolah; entah itu kelas, mushola, hingga perpustakaan. Sayangnya, ditempat yang kami cari hanya menemukan satu buah, ku relakan itu untuk Danang. Diperjalanan ketika aku sedang asyik ngobrol dengan Danang, tiba-tiba Citra lewat hingga langkah kami bersinggungan dan kebetulan ia membawa sesuatu yang aku perlukan.

"Citra, gue boleh pinjem Al-Qurannya?" tanyaku sambil berharap ia mengijinkan permintaanku.

"oh, ini bawa aja. gue udah selesai pakai kok." Citra membalas dengan cuek, gadis ini memang selalu begitu.

"makasih ya Cit, secepatnya gue balikin." aku senyum sambil berjalan meninggalkan Citra.

Sementara di setiap langkah menuju kelas, Danang heran bagaimana Citra --gadis yang terkenal cuek-- itu mau meminjamkan barang miliknya kepada lelaki yang bad boy sepertiku. Proses perkenalan ku dengan Citra memang sengaja ku rahasiakan dari Danang. Karena dia terlalu meremehkan aku semenjak aku galau berat dan hampir putus arah saat hubunganku harus berakhir dengan mantanku beberapa tahun lalu. Dia pikir aku tidak bisa bahagia, ternyata omongannya hanya sampah untukku hehehe.

Ditengah pelajaran, aku mendapat ide untuk membuat gadis itu tersenyum!

------------------

Bel berbunyi tanda bahwa pelajaran telah berganti, karena sistem sekolah yang memberlakukan moving class. Tentu saja para siswa berhamburan keluar kelas. Mataku masih saja mencari keberadaan Citra, aku hendak mengembalikan barang yang tadi dia pinjamkan. Namun saat itu ia sama sekali tak terlihat, maka ku putuskan untuk mengembalikannya sepulang sekolah, sementara aku melanjutkan jam pelajaran yang lain.

Di halte, aku menunggu Citra yang belum tampak sama sekali. Beberapa kawan sudah mengajakku untuk nongkrong di area parkiran. Aku hanya menyuruh mereka untuk berjalan lebih dulu ke sana. Di antara murid-murid yang berhamburan, Citra ternyata tak melihatku yang sedang duduk di pagar besi halte tersebut. Dengan refleks aku menarik tangan Citra yang sepertinya tidak melihatku. "Duh!" Citra nampak kaget ketika aku menariknya.

"ini gue mau balikin Al-Quran yang tadi lo pinjemin." Aku memberi barang tersebut.

"Oiya! Di antara halamannya ada kertas, gue buat itu sebagai tanda terimakasih aja. jangan dibaca disini ya! gue malu hehe."

Aku berjalan ke area parkiran bersama Citra; kali ini ia pulang bersama temannya. Sementara aku menuju ke arah segerombol pelajar dengan kepulan asap di sekitarnya.
Setelah sampai ke tempat kawan-kawan berkumpul, ada nada tidak enak yang keluar dari mulut Gunawan. "Hidup lu wanita terus gua liatin." dengan suara sedikit serak.

"maksud lu apa wan?" aku heran tiba-tiba Gunawan berbicara seperti itu.

Resky dan Rian telah siap jika ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Gunawan.

"Waktu lo sekarang udah gak buat kita, otak lo sekarang cuma wanita, wanita, dan wanita." dengan senyum bengal, Gunawan tanpa rasa bersalah berkata seperti itu.

*buughh*

Tanganku bersarang tepat di pelipis Gunawan. Aku menghindar ketika ia mulai menyerang bagian kepalaku. Sementara Resky dan Rian berusaha mencegah kami yang tengah disulut amarah.

*bughhh*

Pukulan yang bertubi-tubi membuat Gunawan kali ini berhasil memukul sebelah kiri rahangku. "pukulan yang lemah."  Aku bergumam dalam hati.

"Lo kira gua takut sama lo, sini maju lo bangs*t." Teriak Gunawan yang tubuhnya dipegang beberapa kawan yang lain.

"Mulut lo sampah anj*ing! dijaga kalo ngomong sesuatu." aku tak mau kalah melawan celotehnya.

"Udah-udah, lo berdua udah gede! malu sama adik kelas, banyak yang liat! lo berdua mikir dong." Hamdi yang baru saja datang ke lokasi sangat emosi melihat kedua temannya bertengkar karena hal sepele.

"gue gak pernah nyari masalah sama dia Ham." aku membela diri, karena memang benar aku sangat menjaga persahabatan kami.
Sementara Gunawan hanya menunduk sambil memegang wajah yang sempat ku pukul. Aku khilaf karena langsung memukul wajahnya, sebab perkataannya yang membuat aku seolah-olah memilih wanita dibanding persahabatan.

Hamdi memaksa aku dan Gunawan untuk berdamai, karena kami harus melindungi satu sama lain sekaligus adik kelas saat perjalanan pulang kerumah. Karena beberapa pelajar sekolah lain senang mencegat  aku dan kawan-kawan untuk tawuran.

"Sorry gue gak bermaksud buat ngajak berantem, karena lo mukul gue duluan, gue jadi emosi Lil." Gunawan membuka pembicaraan kepadaku sambil menjabat tangan.

"Lain kali kalo ngomong sesuatu di pikir dulu Wan, kali ini korban dari kata-kata lo baru gue. Takutnya nanti temen-temen yang lain tersinggung akibat perkataan lo." Aku menjabat tangannya, tanda permintaan maafnya telah ku terima.

"Tapi pukulan lo tadi kurang keras Wan hahaha!" Aku meledeknya sekaligus disambut beberapa teman yang lain untuk mencairkan suasana yang tadi sempat memanas.

Setelah itu kami segera bersiap-siap untuk pulang kerumah.

"Beberapa perkataan memang harus dijaga. Sebab yang paling buas dari manusia adalah kata-katanya. Kita bisa mendapat teman atau musuh yang banyak tergantung dari tutur kata kita."

LELAKI MENYIMPAN MIMPI DAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang