BAB 4

87 5 4
                                    

Sehabis maghrib aku baru saja sampai dirumah setelah nongkrong sehabis pulang sekolah. Aku masuk sambil mengucap salam yang dijawab bapak di teras rumah yang sedang membaca koran. Setelah mencium tangannya, aku menaruh sepatu di rak yang sudah terlihat lapuk. Di dalam, ibu terlihat sedang asyik menonton suatu acara di televisi; acara dangdut kesukaannya, sementara ardi sedang asyik memainkan gadget yang baru di beli sebulan yang lalu. Ibu selalu menyambut aku dengan hangat.
Setelah aku mencium tangan ibu, Ardi ternyata melihat rahangku yang sedikit membengkak akibat perkelahian tadi sore. "Pipi lu sebelah kiri agak biru, kenapa bang?" Ibu yang selalu terlihat panik jika mendengar anak-anaknya mengalami sesuatu, langsung mengecek seluruh bagian kepalaku.

"Kenapa bisa jadi seperti ini, nak?" ibu terlihat khawatir.

"Tadi ada masalah sedikit bu, yang terpaksa harus di selesaikan dengan otot." aku menjawab santai.

"masalah apa? kamu berkelahi? sudahlah, jangan buat ibu kepikiran kamu terus karena ulahmu."

"abang gak apa-apa bu, gak usah khawatir. Abang kan bisa jaga diri." aku menenangkan ibu.

"Halah, dikunci di kamar mandi saat lampu mati aja, nangis. sok bisa jaga diri." Ardi berusaha membuatku jengkel.

"Itu kejadian 6 tahun yang lalu, sial!" ku lempar dia dengan kauskaki yang baunya sudah tidak karuan. Dia memang memiliki ingatan yang cukup bagus.

"Bau banget woi!!!!" Ardi setengah berteriak.

Ibu hanya tersenyum melihat tingkah kami yang kadang-kadang tidak akur.

--------------------

Setelah mandi dan menjalani kewajiban 5 waktu. Diruang tamu selalu hangat dengan berbagai cerita dari keluarga kecil ku; kali ini bapak bercerita tentang perjalanan pulang dari kantor yang katanya terkena tilang akibat melawan arus sedikit, (bapak ini aneh sekali, kesalahan tetaplah kesalahan walaupun sedikit. Padahal ia selalu mengingatkan aku dan Ardi untuk mematuhi peraturan di sekolah hahaha, namun aku mahfum, ini sangat manusiawi).  Sambil menyantap sayur asam, tempe dan tahu goreng, serta sambal terasi khas ibu, kami larut dalam percakapan di tengah makan malam. Lalu diantara tertawa bapak, ibu, dan Ardi. Aku meperhatikan kerutan di wajah bapak yang mulai terlihat; rambutnya mulai menipis dan memutih; hingga badan yang mulai membungkuk, rasanya durhaka sekali jika aku tak bisa membuat ia bangga. Ibu pun sama seperti bapak, tangannya sudah tak semulus dulu akibat bekas luka saat ia memotong bumbu untuk memasak untuk keluarganya.
Ingin sekali aku setelah lulus, bekerja disuatu perusahaan yang besar dengan gaji yang memuaskan, lalu ku tabung untuk usaha dan untuk memberangkatkan mereka ke Tanah Suci. Semoga saja aku dan Ardi bisa membahagiakan mereka. Apalagi nilai Ardi yang semakin meningkat bisa membuat ia bersekolah di SMA favorit. Iya, semoga saja terjadi.

Setelah santap makan malam, aku langsung ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang mulai mengganggu waktu bersantai ku dirumah. Tiba-tiba ponselku berbunyi tanda bahwa ada chat  yang masuk. "Lil, makasih ya! Puisinya lucu hihi." Atas nama Citra, pesan itu terkirim padaku. Sementara aku tersenyum untuk beberapa saat, aku berfikir bahwa Citra mulai menyukaiku; khususnya puisiku.

"Kirain lo lupa untuk baca hehe."

"harusnya gue yang bilang makasih. Karena kalo tadi gua gak dapet Quran, mungkin abis nih jari di cubit Abi Ahmad." aku membalas.

Setelah itu tak sengaja ku mengecek akun instagram milikku, dan tanpa sengaja melihat di fitur instastory milik akun Citra sedang mempamerkan foto; puisiku yang ku tulis untuknya. Lagi-lagi bahagia menghujam tubuh ini. Citra telah berubah dari gadis cuek menjadi gadis yang menyenangkan untukku.

LELAKI MENYIMPAN MIMPI DAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang