Bagian Satu

31 5 3
                                    

Akhir-akhir ini aku sering sekali membaca novel yang menceritakan kisah cinta sepihak. Ditambah lagi dengan karakter pria yang bersifat tak acuh pada sang wanita. Entah itu hanya kebetulan semata atau memang Tuhan sengaja agar aku kembali mengingatnya. Entahlah.

Dan kali ini aku juga sedang membaca cerita online. Pun dengan tema yang sama. Dengan bodoh pula aku meresapinya dan membuat air mataku mengalir. Sakit rasanya jika mengingat hal itu kembali. Walau sudah 6 tahun berlalu, tapi seolah luka itu baru kemarin sore kurasakan.

Aku menatap sebuah ponsel lama yang tergeletak di atas meja belajarku. Ponsel usang tapi memiliki kenangan hebat di dalamnya. Bukti perjuanganku padanya. Perjuangan yang seolah sirna tak berbekas. Bukan karena dia, tapi karena aku. Karena... salahku.

3 September 2011

Pagi ini ruang kelas terasa sangat hening. Semua siswa sibuk dengan bacaannya. Mungkin di kelas lain akan berisik jika hari ini akan dilakukan ulangan harian, tapi sungguh berbeda dengan suasana kelas ini. Mereka semua diam membaca, memahami, dan menghapal materi yang akan diujikan.

Bel masuk berbunyi. Aku menaruh buku yang tadi aku baca di laci meja. Bukan karena aku sudah siap, tapi otakku sudah tidak kuat lagi menampung bahasa-bahasa asing yang bertebaran di buku itu.

Aku menatap seisi kelas. masih ada yang setia membaca buku, ada pula yang sudah mulai mengobrol dengan teman di samping bangkunya, dan ada pula yang hanya diam menatap ke depan. Di SMP ini tidak ada yang duduk berdua. Semua bangku dan kursi khusus untuk satu orang. Sedih bukan? Mau mengobrol saja susah.

“Hari ini kita ulangan biologi. Jangan menyontek, soal Ibu tulis di papan tulis,” hah? Kapan guru itu masuk?

Semua murid kelas IX.5 SMP Pancasakti mengeluarkan selembar kertas untuk ulangan biologi. Sedangkan guru biologi itu menuliskan soalnya di papan tulis. ‘Lima soal yang mematikan’ ujar temanku saat aku bertanya bagaimana soal ulangan biologinya.

Soal biologi yang menggunakan bahasa inggris dan dijawab dengan bahasa yang sama pula. Aku yang baru menulis soal saja sudah mulas. Beginilah nasib anak yang tidak tahu bahasa internasional. Harus mikir berlipat ganda. Mikir maksud dari soal, mikir jawabannya, dan mikir bahasa inggris dari jawaban yang aku tulis.

SMP Pancasakti bukanlah SMP internasional. Tapi termasuk SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Maka dari itu, ada beberapa mapel yang mengguna-kan bahasa inggris. Mungkin bagi orang di luar sana masuk SMP ini adalah satu kebanggaan, namun bagiku ini cobaan yang berat.

Aku menulis soal dengan asal. Lalu bergegas menjawab sebisa mungkin. Keuntungan ulangan harian ini adalah boleh membuka kamus jika tidak mengerti artinya. Dan aku orang yang selalu membuka kamus, karena banyak sekali bahasa yang tidak aku tahu.

Satu jam pelajaran selesai. Aku baru menjawab soal dalam bahasa indonesia. Guru biologi nampak berkeliling kelas, mungkin untuk mengawasi kami. Oh iya, beliau juga wali kelas IX.5, jadi selain mengawasi tentunya untuk mengecek kelas apakah rapi atau tidak. Abaikan saja guru itu dan kembali mengerjakan soal karena sebentar lagi waktu akan habis.

Selang 30 menit, aku sudah menjawab 4 soal, sisa satu yang belum aku tulis jawabannya di kertas. Aku mengedarkan pandanganku. Beberapa siswa sudah ada yang menggaruk kepala, ada yang menghembuskan napas lelah, dan ada pula yang mengerjakan dengan wajah tenang tanpa beban. Aku? Sudah mau pecah kepala ini. Senggol sedikit saja, akan meletus layaknya letusan gunung krakatau. Mungkin.

“Waktu sudah selesai, kertas dikumpulkan sekarang juga.”

‘Gila! Aku belum selesai!’ aku kelabakan sendiri, satu nomor lagi, aku belum selesai menulisnya. Aku menulis inti dari jawabanku dengan kilat, persetan dengan tulisanku yang lebih parah dari tulisan dokter dan bahasa inggris yang acak-acakan.

Aku bergegas untuk mengumpulkan lembar jawabku. Langkahku terhenti saat melihat pemilik bangku nomor tiga masih menelungkupkan kepalanya di atas meja. Lembar jawabnya masih kosong. Hanya ada tulisan nama, kelas, dan nomor absen di bagian atas sebelah kirinya.

“Da?” kusentuh pundak sebelah kanannya, lalu dia mendongak menatapku. Matanya memerah dan di sudut matanya ada sedikit genangan air mata. Menangis?

“Kenapa? Sakit?” dia hanya menjawab dengan gelengan pelan dan kembali menundukkan kepalanya. “Kok kertas lo masih kosong, Da? Kalo sakit ngomong aja sama Bu Atma.” Dia kembali menggelengkan kepalanya. Iya, guru biologi itu namanya Bu Atma. Atma Sanjaya tepatnya.

Aku menghela napas kasar. Menarik kertas kosong itu, membawanya bersama dengan kertas ulanganku. “Ini Bu punya saya.” Aku mengulurkan kertas milikku. “Dan ini punya Sabda. Kosong.” Tuturku pada guru itu.

Bu Atma menerima kertas itu dan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa masih kosong? Soal pun tidak ditulis?” tanyanya entah pada siapa, tapi aku malah menggelengkan kepala.

“Sabda.” Panggilnya lembut, tapi panggilan itu membuat seisi kelas menatap ke arah Sabda. Karena tidak ada sahutan atau reaksi dari Sabda Bu Atma memilih untuk menghampirinya. Bu Atma melakukan hal yang sama denganku tadi, menepuk bahu kanan Sabda dan dia pun mendongak menatap Bu Atma. “Kenapa?” Sabda malah menggeleng dan meneteskan air mata.

Bu Atma hanya tersenyum. “Ngga jelas tulisan Ibu?” tanya Bu Atma lagi. Kali ini Sabda mengangguk lemah. Sungguh aku ingin tertawa melihat kejadian ini. Sabda, pria pendiam menangis karena tidak jelas melihat soal di papan tulis. Kenapa tidak dari awal bilang kalau tidak jelas, jadi bisa tuker tempat duduk.

“Kamu tulis soalnya sekarang, terus nanti ikut Ibu ke ruang guru yah?” Sabda mengangguk. Ia berjalan menuju tempat yang paling depan. Oh iya, selain duduknya yang sendiri-sendiri di kelas ini juga memiliki sistem satu hari geser tempat duduk. Kalau di kelas lain bisa dua hari sekali atau seminggu sekali. Tergantung keinginan kelas. Reaksi teman-teman atas kejadian ini? Ada yang menyemangatinya dan ada pula yang mencibir. Sudah biasa bukan?

Aku menatap Sabda yang masih sibuk menulis soal. Sabda Ramadhan, itulah namanya. Orangnya pendiam, pria paling pendiam di kelas ini. Dia juga jarang terlihat berbicara panjang dengan lawan jenis. Memiliki dua lesung pipit di pipinya. Oh iya, jangan lupakan gigi gingsulnya yang menambah kesan manis saat dia tersenyum. Mungkin jika ada nominasi 7 teman ganteng di kelas, dia akan jadi salah satunya.

0o0

Aku tersenyum kecil mengingat kejadian itu. Kenangan pertama kali aku menepuk pundaknya. Kenangan pertama kali aku menegurnya dan melihat dia menangis. Kenangan yang mungkin akan selalu aku ingat.

Aku berjalan menuju tempat tidurku. Membuka laci yang ada di bawah ranjang. Dan mengambil album kenangan SMP Pancasakti. Melihat kembali wajahnya saat SMP. Sama, tak ada yang berbeda. Malah makin tampan. Mungkin.

Bersambung.

CINTA, Sampai Tak SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang