Bagian Dua

20 4 6
                                    

Kling

Satu dentingan dari ponsel memecah keheningan di kamarku. Dengan malas aku mengambil ponsel itu dan melihatnya. Satu notifikasi dari akun instagram yang muncul di layar ponsel.

Dengan segera aku membukanya. Satu nama yang tertera di sana. Mengirimkan pesan lewat aplikasi itu.

'Iya nanti aku bawakan.'

Aku tersenyum sendiri membaca balasan dari dia. Entah mengapa rasanya aku kembali menjadi muda lagi. Merasakan keanehan yang dulu juga pernah aku rasakan.

2 Desember 2011

Mencari bahan untuk tugas adalah hal yang menyebalkan. Apalagi kalau bahannya sangat susah dicari. Belum lagi dengan nama-namanya yang aneh. Kalau saja ini bukan untuk tugas praktik, sudah aku tinggalkan pencarian ini.

"Daun adam dan hawa? Ini daun kaya nama nabi aja." Gerutuku sambil tetap berjalan mencarinya. "Bentuknya kaya apa? Ya ampun bisa gila gue nyari ginian ngga selesai-selesai."

Walaupun menggerutu aku tetap mencari. Menyusuri pinggiran jalan perumahan Ekasari. Kata Bu Atma kemarin, tanaman ini sering tumbuh di pinggir jalan. Jadi, tidak salah bukan kalau aku mencarinya di samping jalan seperti ini?

Tapi sudah satu jam lebih tanaman itu tidak ketemu juga. Banyak ditemukan di pinggir jalan apanya! Aku nyari tidak ada tuh! Pembohongan publik!

Aku melihat wanita paruh baya sedang menyirami tanaman yang berada di luar pagar rumah. Dengan otak yang sudah buntu ini, aku berinisiatif untuk bertanya pada wanita itu. Kenapa tidak dari tadi yah?

Aku menghampirinya dengan canggung. "Permisi, Bu." Wanita paruh baya itu menoleh ke arahku, lalu menhentikan aktivitasnya dengan meletakkan selang air yang tadi dipegangnya.

"Iya?" Ucapnya dengan ramah.

Aku menggaruk kepalaku yang dulu pernah dihinggapi kutu. "Aku mau tanya, Bu." Wanita paruh baya itu hanya mengangguk ringan.

"Daun adam dan hawa itu seperti apa ya, Bu?" Dia tersenyum. Sudah tahu bukan kapasitas otakku yang sangat teramat pas-pasan ini?

"Di depan gerbang perumahan ada tanaman itu, Dek. Daunnya di atas hijau, di bawahnya warna ungu." Terang wanita paruh baya itu.

Aku mengangguk mengerti. "Ya sudah, Bu. Terimakasih banyak." Sekarang giliran wanita paruh baya itu yang mengangguk lagi.

Aku melanjutkan pencarian ini dengan semangat. Pencarian yang sudah menemukan titik terang. Pencarian yang sudah menemukan... apa sih aku ini dramatis sekali.

Setelah sampai di gerbang masuk perumahan, aku meneliti semua tanaman yang ciri-cirinya sama persis dengan apa yang dikatakan ibu paruh baya tadi. "Ini? Di ujung komplek H juga tadi ada kalau ini mah." Dari ujung ke ujung, ternyata tanamannya ada di dekat rumah. Salah siapa kalau begini.

Aku mengambil gunting yang sudah ada di saku celanaku. Menggunting 7 daun dengan sangat rapi. "Pak Dan, aku minta daun ini yah." Teriakku asal. Toh yang diteriaki juga sedang sibuk menonton gosip di televisi.

o0o

Angkot adalah kendaraan utama bagi banyak siswa di daerahku. Tak terkecuali aku. Angkot adalah hidup dan matiku. Kenapa? Karena kalau tidak ada angkot, aku mungkin akan jalan kaki untuk bisa pulang.

Kenapa tidak pakai motor? Mobil? Atau dijemput saja? Sekolahku memiliki aturan yang tidak memperbolehkan siswanya untuk membawa motor ataupun mobil. Jangankan motor dan mobil, ponsel saja tidak boleh dibawa. Lalu kalau mau telepon untuk dijemput bagaimana? Sekolah sudah menyediakan wartel di koperasi. Hebat sekali bukan sekolah tercintaku ini?

Aku turun di depan toko Budi Jaya. Toko alat tulis dan perlengkapan lainnya yang ada di depan sekolahku. Di daerahku semua kendaraan umum akan berhenti di sembarang tempat, tidak di depan halte. Aku berjalan menuju tempat penyebrangan, disana sudah ada Pak Subur, seorang satpam sekolah.

Disana sudah ada seseorang yang beberapa hari lalu menangis. "Sabda!" Dia menoleh ke arahku sekejap, lalu kembali meluruskan pandangannya. Langkahku sampai tepat di samping kanannya. Mataku melirik pada benda yang ia bawa di tangannya. "Emang suruh bawa ini yah?" Tanyaku padanya.

"Minggu kemarin Bu Atma bilang." Jawabnya. "Ngga bawa?" Lanjutnya bertanya padaku. Aku menggeleng sebagai jawabanku padanya.

Pak Subur sudah meniup peluitnya, tanda bahwa semua siswa sudah boleh melangkah untuk menyeberang jalan. "Aku bawa dua, kamu ambil satu aja." Katanya saat sudah sampai di depan gerbang sekolah. Sabda mengambil daun itu dari plastik lalu mengulurkannya padaku.

Aku menerimanya dengan bingung. "Da, yang Bu Atma suruh bawa daun apa sih?" Sabda kembali melirikku sebentar. "Emang kamu ngga denger?" Dia malah balik bertanya.

Aku menghela napas. "Daun adam hawa 'kan?" Dia mengangguk sebagai jawaban. "Kok lo malah bawa ini?" Aku mengacungkan daun pemberiannya tadi tepat di depan mukanya. Dia sedikit terkejut, entah karena kelakuanku atau karena ia salah membawa barang.

Sabda menghentikan langkahnya di koridor tempat absen sidik jari. "Lah, ini yang namanya daun adam hawa." Katanya dengan nada enteng.

Lagi-lagi aku menghela napas. Aku membuka tas ranselku, mengambil daun yang kemarin aku cari. "Ini Da yang namanya daun adam hawa." Aku kembali mengacungkan daun itu tepat di depan mukanya. Dia terdiam. "Yang lo bawa itu daun ilalang, Da." Aku memang bodoh, tapi kalau daun ilalang begini juga aku tahu. Ya karena daun ini familiar juga sih.

"Buruan absen." Suruhku padanya.

"Aku salah bawa dong." Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatnya.

"Nih." Aku mengulurkan daun itu. Sabda mengambilnya dengan ragu. "Makasih yah." Katanya pelan. Lalu dia berjalan mendahuluiku menuju kelas.

Buru-buru kutempelkan ibu jariku di atas sensor sidik jari. Setelah alat itu mengatakan 'Thank You' aku segera berlari kecil untuk menyusulnya. "Sama-sama ganteng." Kataku pelan tepat di sampingnya. Lalu aku kembali berlari, tapi kali ini aku berlari dengan cepat disertai dengan tawa keras.

o0o

Entah kenapa setiap mengingat masa-masa itu, aku selalu tersenyum. Masa-masa dimana aku menjadi gadis yang bodoh. Tapi aku malah menikmatinya. Mengenang masa-masa indah yang mungkin hanya satu kali bisa aku rasakan.

Aku kembali tersenyum. Entah aku ini gila atau bagaimana pun aku tidak tahu. Aku rindu, pada masa itu. Dan aku rindu.... pada lakon utama di masa itu.

Terima kasih, telah menghadirkan warna di putih biruku.

Bersambung.

CINTA, Sampai Tak SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang