Part 2 - I Find You

7 0 0
                                    


Tengah malam. Aku masih mengantuk. Mataku yang bengkak bekas menangis juga sakit saat aku mencoba membukannya. Tapi seseorang mengguncang-guncang tubuhku, memintaku segera bagun. Aku mengerjap, melihat Diego di sana. Berteriak memanggil namaku tak sabaran sambil mencengkeram lenganku. Sesuatu berdebum di dekatku. Apa itu? Seperti suara bom tapi itu tak mungkin. Tapi ketika kutajamkan mataku, aku melihat asap dan kepulan api di belakang Diego. Eh? Apa yang terjadi?

"Lari! Lari bodoh!" Itu suara Diego. Lari dari apa? Apa maksudnya?

Aku mengedarkan pandanganku. Itu memang benar bom! Astaga. Apa yang terjadi? Beberapa orang bersenjata mengerubungi kami. Wajah mereka tertutup pelindung wajah dan mereka memakai rompi antipeluru dengan warna serba hitam. Di dada mereka terdapat tulisan Falcon. Mereka pasukan dari kubu Falcon. Eh... Falcon? Bagaimana bisa?

Diego menarik lenganku kasar, memaksaku berdiri. Kakak-kakakku membuat barikade. Mereka melindungiku. Orang-orang sekitar lari tak tentu arah, mereka bertubrukan dan lebih banyak lagi yang sudah terkapar di lantai-sekarat. Bom tadilah yang menyebabkan demikian. Bom sialan itu juga merusak bangunan yang ada, beruntung kami tidak terkena reruntuhannya dan tak tersentuh ledakan bom itu sebab jaraknya agak jauh dari tempat kami, hanya bunyi kerasnyalah yang kami dengar.

Tapi kami terlambat melarikan diri, pasukan kubu Falcon sudah mengepung kami. Orang-orang yang lari itu hanya buang-buang tenaga. Kami yang selamat dari ledakan bom dan reruntuhan bangunan hanya menunda waktu untuk tewas. Moncong senjata pasukan Falcon siap menembus kepala kami satu per satu. Tidak ada celah, kami terkepung. Aku gemetaran. Habislah sudah.

Mereka menembaki kami. Kakak-kakakku di bagian depan barikade tumbang lalu yang di belakang mereka juga ikut tumbang. Aku ada di tengah, terlindungi tapi hanya untuk beberapa detik. Di saat-saat terakhirpun, mereka masih saja melindungiku. Aku memejamkan mataku, setidaknya aku mati bersama mereka-orang-orang yang paling kusayangi yang juga menyayangiku seperti adik kandung mereka sendiri.

Diego, Ethan, dan Samuel mencoba melawan mereka. Tapi apa yang bisa berubah? Tetap saja mereka akan kalah. Remaja seperti kami melawan orang dewasa yang sudah terlatih, membawa senjata pula sedangkan kakak-kakakku hanya menggunakan tangan kosong. Mereka hanya beringas menyerang, percuma saja.

"Lari! Natalia lari!" Teriak Samuel kalap.

Eh? Ternyata mereka memberikan perlawanan untuk memberi celah agar aku bisa lari. Tapi aku tak bisa lari. Tubuhku gemetar.

"Diego bawa dia pergi! Aku dan Sam akan tahan pasukan brengsek ini."

Diego menyeret lenganku-lagi-dan membawaku lari. Aku melihat ke belakang, Ethan dan Samuel sudah ditembak dan luruh ke tanah. Diego berbalik, mengambil bom yang terjatuh milik salah satu prajurit, mengaktifkannya, dan melemparkannya ke pasukan Falcon. Sebagian dari mereka terpental dan sebagian lagi mulai mengejar kami. Diego memegang kedua pipiku. Dia tersenyum. Matanya tak mengindikasikan ketakutan apapun.

"Apapun yang terjadi, tetaplah hidup dan ubahlah dunia ini menjadi lebih baik!" Katanya.

Salah satu prajurit menembaknya tepat di rahang. Aku terpekik. Kemudian secara reflek lari. Sebisa mungkin aku menghindar dari peluru itu. Akan sangat sulit menembak ketika kita sedang lari, semahir apapun orang itu, kemungkinannya meleset. Aku lari di sembarang arah. Tak sempat memilih jalan saking takutnya. Ulu hatiku nyeri sekali tapi aku tak mengindahkannya bagaimanapun taruhannya adalah nyawaku. Aku tak boleh mati, tak boleh mati.

Ya Tuhan, aku bahkan beberapa kali menginjak mayat. Bagunan yang kulewatipun sudah runtuh, sebagian terbakar. Bagaimana caranya aku bisa sembunyi? Jika terus lari maraton aku bisa pingsan lalu ditembak kemudian mati. Tidak! Aku tak boleh mati!

Brak!

Aku terjatuh. Kurasa aku menabrak sesuatu. Berakhirlah sudah. Aku menutup mataku. Tinggal menunggu peluru menembus kepalaku.

Dor... dor... dor...

Bunyi peluru kembali memekakkan telingaku. Tapi kenapa datangnya dari depan? Harusnya yang menembak adalah pasukan Falcon di belakangku. Ah... tidak... pasti pelurunya akan mengenaiku sebentar lagi. Tapi kenapa lama sekali? Aku jadi tidak sabar untuk segera mati. Aishh... kubuka mataku dan terbelalaklah aku. Di depanku pasukan Megadron sedang menembaki pasukan Falcon. Aku menengok kebelakang. Pasukan musuh sudah mulai berkurang-mereka banyak yang tewas.

Seseorang menarik lenganku-yang pasti itu bukan Diego-dia berpakaian putih, ciri khas rompi anti peluru pasukan Megadron-pasukan milik kubu yang kutinggali yaitu kubu Oxoine.

Dia menggendongku. Aku tak bisa melihat wajahnya, dia memakai pelindung wajah. Di belakang sana pasukan Megadron masih menembaki sisa-sisa pasukan Falcon yang masih hidup. Sepertinya aku tidak jadi mati tapi kepalaku berdengung luar biasa, mungkin akibat terbentur rompi antipeluru salah satu prajurit tadi. Orang itu membawaku ke salah satu Meze-sebutan untuk kendaraan khusus prajurit Megadron-dan membaringkanku di tempat tidur kecil. Mungkin disediakan untuk mengangkut prajurit yang terluka.

Prajurit yang mengemudikan meze menatapku terheran-heran. Paramedis yang ada di dalam segera memeriksaku.

"Bagaimana mungkin?" Kata pengemudi itu.

"Aku tak tahu," orang yang menggendongku balas berteriak, dia masih mengamati wajahku.

"Ini keajaiban! Dia satu-satunya yang berhasil selamat."

"Putar balik! Kita harus pulang. Biar yang lain yang mengurus sisanya."

"Aye-aye Kapten," dia memberi hormat lalu fokus kembali mengemudikan meze.

Lalu meze yang kutumpangi bergerak memutar, meninggalkan lokasi pembantaian yang dilakukan prajurit Falcon. Aku tak tahu kami akan kemana, mungkin ke distrik 2-markas militer berada. Kepalaku kembali berdengung. Salah satu paramedis memencet hidungku dengan kain putih. Aku baru sadar kalau aku mimisan akibat benturan tadi.

"Bagaimana dia?"

"Untuk kejadian mengerikan tadi, bisa dikatakan ini mukjizat, Komandan. Dia tidak mengalami luka berat, tak ada patah tulang, tak kutemukan benturan di kepalanya."

"Lalu kenapa hidungnya berdarah?"

"Pasti terbentur sesuatu."

"Ya, aku terbentur salah satu rompi milik prajuritmu," aku membatinnya dalam hati.

Kepalaku berdengung lagi... sakit sekali. Benturan tadi sangat keras. Aku meringis lalu... pingsan.

Nguuuung....

Uh! Kepalaku... kepalaku tersayang, rasanya hampir mau meledak. Dengung itu masih ada. Kukira setelah aku pingsan, dengung itu sudah hilang. Eh? Pingsan? Aku lupa kalau aku sempat pingsan. Tunggu... di mana ini? Aku menscan seluruh ruangan yang kutempati. Warnanya serba putih dengan segala peralatan medis yang tak kukenal. Bau khas obat juga tercium oleh hidungku. Heh... ternyata hidungku masih berfungsi setelah mimisan sebelumnya. Aku sudah dikeluarkan dari meze dan terbaring di tempat antah berantah ini. Ngomong-ngomong berapa lama aku pingsan?

"Kau pingsan dua hari."

Aku kaget dan reflek terduduk di tempat pembaringanku. Kuambil tiang infus dan kuacungkan benda itu ke arah orang berompi putih yang tadi berbicara padaku, untuk jaga-jaga saja.

"Wow... wow... tenang Nona, aku ada di pihakmu. Kau lihat ini kan," dia menunjuk rompinya yang tercetak tulisan Megadron. Orang itu sudah melepas pelindung wajahnya. Jika dilihat dari penampilannya, mungkin ia berusia sekitar 27 tahun atau mungkin lebih.

Meski begitu aku tetap mengacungkan tiang infus itu dan memelototkan mataku. Siapa tahu dia orang mesum. Hei... aku hanya berjaga-jaga saja lagipula dia bisa membaca pikiranku. Orang itu lalu tersenyum-senyum melihatku. Hah benar dugaanku, dia memang orang mesum.

"Akhirnya aku menemukanmu Anakku."

Heh?

Sepertinya aku terkena gegar otak.

Change the WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang