Sepasang bola mata menatap risau ke arah pintu masuk kelas. Ia sedari tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Jemari terasa dingin, jantung yang berdetak semakin cepat, serta tubuh menggigil setiap kali bayangan sang pria melintas di benak.
Ia melirik sekali lagi benda pipih yang melekat di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7.20 pagi. Kurang sepuluh menit lagi bel akan berbunyi, namun, pria yang ia tunggu belum juga datang.
Ia menghela napas panjang. Jemari tangannya berketuk-ketak di atas meja sembari tatapannya tak pernah berhenti memandang pintu masuk.
Sementara Septi—teman sebangkunya—mengernyit bingung melihat tingkah Fay.
"Fay, kau ini kenapa?" tanya Septi setelah ia menyerah menebak gerak-gerik Fay.
Fay tersentak. "I-itu, a-aku—" ucapannya terhenti begitu seseorang yang ia tunggu memasuki kelas.
Spontan kepalanya memutar ke arah datangnya si pemilik hati. Jantung itu kembali berulah saat tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik. Ada rasa senang juga ketika ia tak mendapati cewek mana pun bergelayut manja di lengan kekasihnya.
Serta-merta Septi menggeleng-gelengkan kepalanya begitu tahu apa yang menjadi penyebab sahabatnya bertingkah aneh pagi ini. Septi tersenyum geli mengingat segugup apa Fay tadi.
Dan, tatkala kesadaran memenuhi pikiran Fay, seketika ia menunduk dan mencari buku catatan yang menjadi tujuan utama. Ia mengaduk isi tas. Tangannya memilah beberapa buku, dan mengambil salah satu buku yang bersampul warna biru.
Fay menghirup napas panjang melalui hidung, lalu diembuskannya dari mulut. Ia mencoba mengatur napasnya agar bisa sedikit lebih tenang. Matanya pun terpejam sejenak, sebelum akhirnya ia berdiri dan menghadap Ardo.
Di tempat duduknya, Septi terus saja memperhatikan Fay.
"Ini. Buat kau, Do." Ardo mengangkat sebelah alisnya dan melemparkan tatapan bertanya. "Kemarin jam pelajaran ketiga, aku lihat kau enggak ikut pelajaran Pak Ahsan. Ujian nasional semakin dekat, aku enggak mau kau sampai tertinggal pelajaran." Fay membasahi bibirnya dengan perasaan gugup. "Jadi, emm ... aku sudah salin semua penjelasan beliau di buku ini dan sudah kukasih tanda untuk rumus mana saja yang bisa dipakai agar bisa cepat mengerjakan soal."
Ardo bergeming, masih menatap lurus ke dalam mata Fay. Tangannya mulai meraih buku pemberian gadis itu, membuka beberapa lembar kertas yang sudah terisi banyak rumus dan penjelasan dengan tulisan tangan yang sangat bagus dan rapi.
Deni yang duduk diam saja sedari tadi, ikut menyikut lengan Ardo. Memberikan peringatan melalui matanya bahwa Fay masih berdiri, menunggu balasannya.
Ardo menghela napas lalu mengangguk pelan. "Thanks, ya."
Fay mengangguk-angguk kecil.
Rona merah tercetak di kedua pipi Fay. Ia menunduk, menyembunyikan senyum bahagia di bibirnya. Astaga, ia bahkan tak habis pikir, hanya sebuah ucapan kata "terima kasih" saja, sudah berhasil menimbulkan euforia seperti ini.
Septi menahan tawa, bersandar pada dinding di sampingnya sembari melihat tingkah lucu Fay jika sudah berdekatan dengan Ardo. Benar-benar sesuatu yang menghibur dirinya.
Beberapa detik keheningan tercipta di antara mereka berdua. Fay masih belum bisa menggerakkan seinci pun kakinya untuk sekadar melangkah menuju bangkunya sendiri. Ia merasa kakinya memiliki akar dan menancap kuat pada lantai, sehingga teramat sulit digerakkan, apalagi di saat mata hitam milik Ardo menghujaninya dengan tatapan yang sulit ia artikan.
Beruntung, tiba-tiba ada Bu Siska datang menyelamatkannya, menarik kesadaran Fay untuk segera kembali duduk di bangku semula. Suara gaduh kelas pun langsung sunyi karena kehadiran beliau, terutama pada sosok siswa yang berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Minus Kata ✔
Teen FictionArdo dan Fay merupakan dua pribadi yang sangat berbeda. Ardo adalah seorang playboy yang dengan ketampanannya mampu membuat seluruh cewek di sekitarnya takhluk, bahkan mereka dengan suka rela melemparkan diri ke pelukannya meskipun tahu begitu Ardo...