1. Kesepakatan

2.8K 245 349
                                    

Ada beberapa yang mengira cerita ini bakalan sedih dan bikin nangis terus, hihiii....

Nggak semua salah, tapi pasti nanti akan ada beberapa yang lucu dan ngegemesin juga setelah semua tokohku bermunculan. Pastinya bakalan kubuat seseru seperti di cerita Frel hehehe...

Selamat membaca😊

...........................***...................................

"Jangan membantah!"

Terdengar sebuah bentakan seorang pria paruh baya kepada anak laki-lakinya. Teriakannya mungkin akan terdengar sampai lantai bawah, kalau saja pintu kamar tidak tertutup rapat.

Sang anak segera menunduk begitu mendengar teriakan yang keluar dari mulut papanya. Selama ini papanya tidak pernah menolak semua keinginannya, apalagi membentak seperti tadi.

Ia tak habis pikir, hanya karena ia menolak menjadi kekasih seorang cewek yang tak pernah ia kenal sebelumnya, yang notabene anak dari pengusaha dan saat ini sedang bekerja sama dengan perusahaan orangtuanya, papanya sampai tega beradu mulut dengannya.

"Aku enggak mengenalnya, Pa." Berkali-kali ia mengatakan hal yang sama terhadap papanya. Ia mendongak, lalu mencoba mencari akal mempengaruhi keputusan papanya. "Ayolah, Pa, ini hanya masalah sepele. Lagian, sejak kapan sih, Papa ikut campur dengan urusan percintaan Ardo?"

Papanya menghela napas lelah. Ia lantas menuju meja kerjanya dan membuka laci, lalu mengeluarkan selembar foto. Ia amati sebentar foto itu sebelum menyerahkan kepada putranya. "Papa pernah bertemu dengannya. Menurut Papa gadis ini sangat cantik, ramah dan sopan. Kalah jauhlah sama cewek-cewek centil yang biasa kamu bawa ke rumah."

Ardo tersenyum samar. Ia sebenarnya ingin sekali tertawa keras setelah mendengar perkataan papanya barusan. Ya. Bisa dibilang Ardo mewarisi sifat playboy sang papa.

Setiap Ardo membawa pulang cewek dan mengakuinya sebagai teman kencan, selama itu juga papanya tidak pernah melarang, hanya sekadar menilai cantik atau tidak. Sementara mamanya hanya mendengus dan akan dipastikan menjewer telinga suaminya ketika sang suami memberikan ide yang aneh-aneh pada anak satu-satunya itu.

Selama Ardo menjalin hubungan tidak melampaui batas, maksudnya dalam tanda kutip kepada cewek yang dikencaninya, kedua orang tuanya tidak akan pernah melarang apa pun yang dilakukan anaknya.

Ardo tidak kekurangan suatu apa pun. Kaya? Sudah pasti. Kasih sayang? Lebih, bahkan papanya sudah dianggap sebagai sahabatnya sendiri baginya. Ia tak pernah bisa menyembunyikan apa pun kepada papanya, juga mamanya.

Ardo tersenyum mengejek. "Memangnya Papa bisa menilai cewek sejauh mana? Kecantikan cewek zaman Papa dulu, beda jauh lho sama zaman sekarang."

"Jangan meremehkan Papa kalau soal cewek," ucap sang papa antusias. Ia menoleh ke arah pintu yang sudah ditutup bermaksud memastikan supaya istrinya tidak mendengar. Ia mengecilkan suaranya lalu berucap, "Kamu sendiri tahu 'kan, berapa banyak foto mantan Papa yang sudah Papa perlihatkan dulu. Cantik dan seksi."

Ardo tak mampu menahan tawanya lagi. Ia tergelak dan menghempaskan badannya di sofa. Suasana sudah tak setegang beberapa menit lalu. Kini keduanya saling melempar candaan dan berbicara lebih santai.

"Jangan tertawa! Kamu harusnya bersyukur, karena gen Papa, kamu sekarang menjadi laki-laki tampan seperti Papamu ini," ucap sang papa seraya membusungkan dada.

Ardo hanya bisa mencibir melihat kelakuan papanya yang selalu menyombongkan diri tentang ketampanan di depannya. "Jangan bangga dulu, Pa. Masih ingat enggak, saat kita dipaksa Mama menghadiri acara hajatan temannya minggu kemarin? Sudah jelas banyak para cewek sengaja mencari perhatianku, bahkan tak jarang para tante di sana memuji ketampananku melebihi Papa sendiri."

Sang papa memberengut, beberapa detik kemudian tawanya menggelegar ke seluruh ruangan dan disusul oleh Ardo. Mereka masih ingat betapa riuhnya acara itu ketika mereka datang. Banyak para cewek berebut berdekatan dengan mereka, sampai-sampai ada yang secara terang-terangan memuji ketampanan mereka berdua. Terlebih pada Ardo, malam itu ia memang terlihat sangat tampan dan paling bersinar dari yang lainnya.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mungkin peribahasa itu sangat tepat diitujukan bagi Ardo dan kedua orang tuanya. Ardo memiliki wajah tampan, kulit putih dan tinggi seperti papanya, ia juga memiliki bentuk tubuh batu bata dengan bahu yang lebar, alis tebal, hidung mancung dan senyuman yang begitu manis yang diwarisi dari mamanya.

Setiap cewek yang memandangnya pasti akan berfantasi mengenai dirinya. Menginginkan untuk menjadi kekasihnya dan memilikinya.

Oh, dan jangan lupakan bakat alamiah dari seorang Ardo yang sangat pandai memikat hati setiap cewek, diturunkan siapa lagi kalau bukan dari papanya. Ardo di sekolah juga terkenal playboy sama seperti papanya, tentunya sebelum mengenal mamanya dulu.

Sang papa berjalan mendekati Ardo. "Ini. Kamu lihat sendiri fotonya. Sampai sekarang Papa tidak sedikit pun kehilangan bakat dalam hal menilai bagaimana cewek cantik yang sesungguhnya."

Ardo mengangkat sebelah alisnya. Ia terdiam beberapa detik, memandang papanya kemudian beralih ke sebuah foto yang ditujukan padanya.

Ia masih sempat tertawa geli tatkala mengingat apa yang dikatakan papanya barusan. Memang papanya tidak pernah berubah, selalu saja tidak mau kalah dalam urusan cewek. Papanya selalu menunjukkan bahwa dialah yang paling senior, dan selalu saja mengingatkan agar Ardo harusnya berguru padanya.

Tangan Ardo terulur untuk meraih foto yang berada tepat di depan wajahnya. Ditatapnya foto itu, diamatinya raut dan ekspresi wajah si cewek.

Cantik.

Ardo tersenyum tipis. Sangat tipis, hingga sang papa yang melihatnya tidak menyadari jika ia sedang tersenyum.

"Gimana? Cantik, 'kan?"

"Lumayan," ucap Ardo dengan menampilkan wajah sebiasa mungkin dihadapan papanya. "Aku tetap pada pendirian awal. Ardo enggak mau dijodoh-jodohkan dalam memilih pasangan."

Sudah dapat diduga. Akan amat sulit mempengaruhi seorang Alardo Zefarino Bagaskara. Ia sangat keras kepala sama seperti mamanya.

Sang papa berkacak pinggang dan berjalan mondar-mandir di depan Ardo. Ia harus memikirkan sebuah ide yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Tidak ada jalan lain. Ya. Hanya itu jalan satu-satunya.

Ia tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Ardo. "Baik. Kita bikin kesepakatan, bagaimana?"

Dahi Ardo berkerut sekilas, mencoba mempertimbangkan gagasan dari papanya. "Kesepakatan apa?"

"Kamu terima tawaran Papa untuk berpacaran dengannya. Jika kamu bisa membuatnya meminta putus darimu sebelum lulus sekolah nanti, Papa janji akan membelikan mobil sport porsche keluaran terbaru yang kamu idam-idamkan selama ini."

Seketika senyum merekah terbit di bibir Ardo. Ia tahu mobil incarannya itu harganya tidak main-main. Tepat tiga hari kemarin, ia mengecek harga secara langsung di showroom terdekat, harganya sudah mencapai 5 milyar lebih. Sangat fantastis.

Ardo dan papanya adalah tipe yang senang mengoleksi mobil mewah. Sekarang saja sudah ada empat mobil sport kepunyaan Ardo yang tersimpan di garasinya.

Tanpa pikir panjang, Ardo segera menyambut dengan semangat menggebu tantangan dari papanya. "Oke, enggak masalah."

"Jangan senang dulu. Kalau Papa yang menang, kamu harus memenuhi semua kemauan Papa."

"Deal." Ardo tersenyum senang. Ia yakin betul seperti biasanya, kali ini ia juga akan menjadi pemenangnya.

Tanpa diketahui Ardo, papanya tersenyum penuh arti. Ia lega akhirnya bisa membuat putranya menyetujui tantangan yang ia buat.

Semoga saja keputusannya kali ini sudah tepat, demi masa depan putranya. Ia tidak mau putranya nanti jatuh cinta pada gadis yang salah. Jangan sampai kesalahan yang pernah dibuatnya tempo dulu, akan  terulang lagi pada anak satu-satunya ini.

..............................***..............................

Coment nya ditunggu....😊😍

Cinta Minus Kata ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang