Melihat seragamnya yang kotor akibat ketumpahan makanan dan minuman di kantin tadi, membuat Fay harus segera berganti pakaian sebelum bel masuk dibunyikan. Septi mengajak Fay ikut dengannya, berjalan ke ruang koperasi sekolah untuk memesan sepasang seragam lagi buat Fay.
Cepat-cepat Fay ke toilet dan berganti pakaian di sana.
"Gimana, sudah selesai?" tanya Septi setelah melihat Fay keluar dari bilik toilet.
Fay tersenyum tipis sembari mengangguk. "Sudah." Tatapannya sekarang terpaku pada rambutnya yang begitu lepek dan kotor. Ia sedikit mengernyit, ngeri melihat nasib rambutnya melalui cermin di depannya. "Rambutku kotor banget, Sep."
"Terus gimana? Apa perlu kumintakan izin pulang ke Pak Bandi? Tenang saja, Pak Bandi itu Om-ku, Fay. Beliau enggak akan pernah bisa nolak kalau sama aku." Septi melipat tangannya di depan dada dengan bangga.
"Kau pasti sering ambil keuntungan dari ketidakberdayaan Pak Bandi." Septi terkikik sendiri, sementara Fay menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya. "Kalau izin pulang kayaknya enggak perlu, Sep. Cuma ...," Fay berpikir sejenak, agak ragu ia melanjutkan perkataannya,"apa boleh aku diizinkan keluar sebentar?"
***
"Gila! Kenapa aku enggak kepikiran ke salon, ya? Tempatnya cuma seratus meter dari sekolah kita, lagi," ujar Septi sambil berjalan di samping Fay. Ia sesekali mengamati rambut Fay yang sudah tergerai indah, hasil keramas di salon yang tak jauh dari sekolahnya. "Gimana kalau tiap selesai jam olahraga, kita keluar ke salon itu lagi? Manjakan rambut kita lagi, Fay," lanjut Septi bersemangat seraya menyibak rambutnya yang ikut dikeramas bareng Fay.Fay terkekeh. "Memangnya saat itu Pak Bandi bisa kasih izin ke kita lagi?"
"Hehehe ... ya, enggak juga, sih. Harus ada alasan masuk akal dulu kalau mau izin keluar." Koridor yang sepi terlihat ramai diisi celotehan Septi. Ia selalu heboh jika sudah berbicara sesuatu hal, terlebih dia sudah nyaman dengan Fay. "Oh, ya, aku jadi penasaran gimana cara Sisil bersihkan noda rendang buatan ibu kantin. Pasti tuh cewek kalang kabut hilangin tuh noda." Tawa Septi menggelegar bersama tepukan kedua tangannya yang berlebihan.
"Kuperhatikan, kau sepertinya senang sekali lihat Sisil sengsara? Ada sesuatu di antara kalian atau—"
"Tidak-tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Sisil memang layak dapat ganjaran, dia dari dulu hobi banget nindas orang lain. Aku cuma kasih pelajaran sedikit padanya biar tuh anak enggak buat ulah lagi." Septi menarik napas dalam. Ia berkacak pinggang, lantas memutar tubuhnya ke samping menghadap Fay. "Kau tahu, Fay," ujarnya lagi sambil menatap Fay dengan serius, langkahnya tiba-tiba berhenti membuat Fay kontan ikut terhenti, "tuh cewek kayaknya sekali-kali perlu dirukiah biar iblis yang bersemayam di tubuhnya hilang, deh. Aku sudah berkali-kali buat dia malu di depan umum, tapi ya itu, enggak pernah kapok. Dia benar-benar kayak setan yang enggak pernah jera mengganggu manusia!"
Fay menanggapi perkataan Sisil dengan sebuah senyuman simpul. "Setiap orang ada waktunya untuk berubah, Sep. Terkadang, sebuah kejahatan enggak harus dibalas dengan tindak kejahatan juga, tapi—"
"Aduh-aduh, pusing kepalaku, Fay." Kedua tangan Septi spontan memegang kepalanya. Ia mulai mengayunkan langkahnya kembali sembari memiringkan tubuhnya melihat Fay yang berjalan di sebelahnya. "Kau itu terlalu baik jadi orang, Fay. Pantas saja kau mudah teperdaya sama bujuk rayu Ardo."
Mata itu langsung meredup begitu mendengar nama Ardo disebut. "Gitu, ya?" Wajah Fay berubah keruh, senyuman getir terlukis dari bibirnya. Serta-merta pandangannya menunduk menatap lantai koridor yang ia lewati, mencoba menyembunyikan raut wajahnya dari Septi. "Jika cinta tulus enggak bisa buat dia menyadari kehadiranku, maka aku akan berbalik menyusuri jalan yang berbeda untuk membuatnya bisa menatapku, Sep."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Minus Kata ✔
Ficção AdolescenteArdo dan Fay merupakan dua pribadi yang sangat berbeda. Ardo adalah seorang playboy yang dengan ketampanannya mampu membuat seluruh cewek di sekitarnya takhluk, bahkan mereka dengan suka rela melemparkan diri ke pelukannya meskipun tahu begitu Ardo...