7. Kenyataan

1.3K 114 215
                                    

Meski dua jam pelajaran telah usai, tapi rasa nyeri dan perih itu masih melekat kuat di hati Fay kala mendengar ujaran santai Ardo mengenai hubungan mereka.

"Kalian bisa memilikinya," Fay juga mengingat lanjutan perkataan Ardo yang sangat kejam di kalimat berikutnya, "setelah Fay sendiri mengucapkan kata putus itu."

Kejadian itu sudah berlalu, namun, suara itu berkali-kali terngiang di kepalanya. Seolah-olah tak mau berhenti.

Fay tak menyangka, Ardo semudah itu mengatakannya.

Perkataan Ardo membuat Fay berpikir seakan-akan ia tak ada nilainya sama sekali, tak punya arti apa-apa bagi Ardo. Ia merasa seperti barang yang akan digilir pada teman-temannya. Lebih parahnya lagi, ia bahkan merasa dibuang oleh pacarnya sendiri. Ah, itu mungkin terlalu berlebihan. Tapi, entahlah ia sangat bingung, bahkan Fay merasa apa yang ia alami saat ini semua tidaklah nyata.

Fay terus saja meyakinkan pada dirinya sendiri, bahwa tadi ia cuma salah dengar atau mungkin hanya sekadar bunga tidur belaka. Ia bahkan berulang kali mencubit tangannya untuk memastikan sesuatu hal yang tak ia duga sebelumnya, hingga terdengar ringisan yang keluar dari bibirnya tatkala cubitan terakhir menyentaknya, menarik kuat-kuat harapan konyol yang sengaja ia tanam untuk mengelabui hatinya yang terlanjur sakit.

Dan terbukti, semuanya nyata. Bukan salah di bagian pendengaran, bukan juga karena bunga tidurnya.

Fay mengusap-usap bekas cubitan yang memerah di tangannya sembari menatap hampa ke depan, sampai-sampai ia tak sadar akan keberadaan cewek berambut panjang lurus dengan memakai bando warna merah yang sedari tadi tengah memperhatikannya. Mengamati diam-diam perubahan wajahnya sejak ia memasuki kelas hingga rentetan kalimat Ardo yang terdengar bagaikan bunyi senapan yang menghantam jantungnya.

Cewek itu menyapu pandangan ke seluruh isi kelas. Ia menghela napas sambil mengerucutkan bibirnya kala tatapannya jatuh pada Fay yang tak beranjak sedikit pun meski kesunyian telah mendominasi ruangan di sekelilingnya.

Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas dagunya seraya berpikir sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan berdiri dari duduknya dan mendatangi bangku Fay.

"Kau, enggak apa-apa?" tanyanya dengan hati-hati. Melihat tidak ada tanggapan dari lawan bicaranya, ia mengernyit heran. Tangannya pun terangkat menyentuh pergelangan tangan Fay yang masih betah berada di atas meja.

Sentuhan pelan itu membuat Fay tersentak, menciptakan gerak refleks dari tubuh dan raut polosnya. Ia spontan tergagap dan mengerjap-ngerjapkan matanya bingung tatkala melihat cewek yang beberapa jam lalu harusnya menjadi teman sebangkunya.

Fay terperangah. "Eee ... Septi?"

Napas kelegaan lolos dari cewek di depannya. Ia tersenyum ceria sembari mengangguk mantap menyambut pertanyaan dari Fay. "Ya, namaku Septi. Kulihat dari tadi kau melamun terus, mau nyobain gimana rasanya kerasukan di kelas, ya?"

Fay meringis sambil menggelengkan kepalanya pelan, sementara Septi melipat kedua tangannya dengan tatapan masih menyelidik raut muka Fay.

"Bel istirahat sudah bunyi dari tadi, lho. Mau ke kantin, enggak? Aku temani."

Mendengar ucapan Septi, seketika Fay menengok kiri kanan dan betapa terkejutnya dia begitu mendapati kelasnya yang sudah kosong melompong tak berpenghuni. Septi sendiri setelah melihat respons kebingungan Fay, serta-merta memutar kedua bola matanya. Ia tak habis pikir akan tingkah teman barunya ini.

Septi mengembuskan napasnya kasar. "Ternyata kau terlalu polos, Fay. Enggak heran jika kau begitu mudah terjerat rayuan Ardo." Fay menatap Septi dengan pandangan tak mengerti. Melihat kepolosan Fay yang kelewat batas mendatangkan rasa gemas di diri Septi. "Makanya ayo ke kantin, biar kutunjukkan gimana brengseknya Ardo."

Cinta Minus Kata ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang