Bab 3

372 51 9
                                    

Barikade yang menjadi tumpuan pertahanan kami kini telah diubrak-abrik oleh para zombi. Banyak zombi yang telah masuk ke dalam. Banyak pula yang tumbang. Seorang pria memerintahkan kami semua untuk naik ke lantai dua. Aku terlalu fokus untuk menembak mereka hingga Arhan menyadarkanku untuk pergi ke atas bangunan.

Saat sedang naik tangga, belakang kami ada seorang pria dan wanita. Tiba-tiba saja sang wanita ditarik oleh dua ekor zombi. Kami semua kaget oleh jeritannya.

"Jennifer!" Sang pria berteriak pada wanita itu. Dia turun kembali untuk menyelamatkannya.

Dia menembakan pistolnya ke kedua zombi tersebut. Sang wanita masih hidup. Sayangnya, telah terkena gigitan yang cukup parah. Ia terlihat diam sejenak menatap wanita itu. Arhan hendak menariknya kembali ke lantai atas, tapi dia menolak.

"Pergi kalian! Aku akan menahan mereka."

Meski terlihat bimbang, Arhan mengerti dan segera menyusul kami. Aku berada di pintu, menunggunya untuk masuk. Setelah dia masuk, kami segera mengunci pintu dan memasang kursi dan meja sebagai barikade. Bersamaan dengan selesainya mengamankan pintu, kami mendengar beberapa tembakan dan teriakan sang pria yang begitu nyaring.

Setelah itu, suara yang membuatku merasakan rasa ngilu yang amat sangat. Suara daging yang dirobek.

***

Aku sedang duduk sembari menyenderkan kepalaku ke tembok. Ini sangat melelahkan sekali. Di sebelahku, Arhan sedang menundukan kepala. Mungkin dia melamun. Hingga seorang perempuan berambut pirang menghampiri kami; kelihatannya seusia kami.

"Bagaimana keadaan kalian?"

"Baik." Arhan menjawab sebelum aku, meskipun dia masih tak mengangkat kepalanya.

"Kau tidak apa-apa, Arhan?"

Hah? Bagaimana gadis itu tahu kalau dia Arhan?

"Baik, terima kasih," jawabnya masih tanpa mengangkat kepalanya. Wanita itu sejenak tersenyum pada kami, sebelum akhirnya pergi dari hadapan kami.

Kami sejenak diam sebelum aku mengeluarkan pertanyaan dari dalam benakku, "Kamu mengenalnya, Han?"

"Ya, dia Vera. Adik dari dia, Vick," tunjuknya pada seorang pria. "Dan yang satunya lagi, Piero, pemilik toko ini."

Aku mulai paham. Dia mengenal mereka. Itu berarti dia sering pergi ke sini. Pantas saja setiap malam Selasa dan Kamis dia sering pergi sendirian keluar.

"Ternyata kamu diam-diam belajar senjata api juga."

"Hus! Jangan bilang ini pada ibuku, ya. Katakan saja aku hanya menemukan pistol ini di jalan," ucapnya.

Aku tersenyum menahan tawa, lalu berkata, "Yah, terserah."

Besoknya kami semua makan bersama dengan pasta makaroni dan keju kepunyaan Piero. Setelah itu, kami kembali beristirahat. Namun, untuk sampai kapan kami diam seperti ini?

Jadi kami semua berdiskusi. Semua orang setuju untuk pergi untuk keluar dari tempat ini. Namun, Piero berkata bahwa kita tak bisa sembarangan pergi. Kami bahkan belum tahu apakah lantai bawah sudah kosong atau tidak. Vick memutuskan bahwa dirinya sendiri akan pergi memeriksa.

Kami menyingkirkan semua barang yang menghalangi dari pintu, kemudian membuka kuncinya. Vick sudah menyiapkan diri. Pintu perlahan dibuka dan tampak tak ada seekor zombipun yang berada di bawah tangga.

Vick melangkah perlahan menuruni tangga, sementara kami menunggu di lantai dua. Setelah Vick mencapai bawah tangga, dia terlihat kaget. Dia kemudian terburu-buru naik ke atas kembali. Kami melihat empat ekor zombi mengejarnya dari bawah tangga.

Ketika dia sudah masuk, aku langsung menutupnya. Pintu didobrak dengan sangat kuat sehingga menyebabkanku dan Vick terhentak.

"Kunci!" perintah Piero.

Aku segera mengunci pintu tersebut. Kemudian Piero segera mendorong kursi-kursi dan meja untuk membarikade pintu. Dobrakan tersebut masih terus terjadi. Bahkan kelihatannya pintu tersebut mulai merusakkan daun pintu yang tertahan kuncinya.

Kami semua panik. Tak ada pintu selain pintu kamar mandi; tentu saja akan konyol jika kami semua bersembunyi di sana. Arhan menyarankan jendela yang mengarah ke sebuah gang.

"Lewat jendela!"

Arhan segera keluar dari jendela tersebut dan melompat ke bawah, kemudian Piero menyusul. Aku memandang sejenak ke balik jendela, ternyata di bawahnya adalah kotak sampah. Sementara itu, para zombi telah merusak pintu dan mencoba masuk menerobos barikade yang kami buat. Vick segera menembaki mereka.

Aku melompat ke bawah dan mendarat di kotak tersebut. Untungnya kotak itu tertutup, karena aku mencium bau busuk yang kuat sekali. Tak bisa dibayangkan apabila aku masuk ke dalam. Vera juga turun, kemudian disusul oleh Vick. Kami langsung berlari ke ujung gang sebelum zombi-zombi itu menemukan kami.

"Kita harus ke mana?" tanyaku ketika sudah mencapai di ujung jalan.

"Kita harus segera keluar dari kota ini!" kata Arhan.

Vick menyanggahnya, "Kita tak bisa dengan mudahnya berjalan keluar kota. Kota terdekat bahkan berjarak empat puluh tujuh mil. Kita perlu pergi ke tempat aman dan berkumpul dengan orang lain yang masih selamat."

"Aku dengar orang-orang berkumpul di kantor polisi." Vera menambahkan.

"Tidak, aku tak percaya pada polisi," ucap Piero.

"Ayolah, Piero! Kita harus pergi ke tempat yang aman. Aku yakin polisi bisa menolong kita." Vick meyakinkannya.

Piero mengusap pelipisnya sejenak untuk berpikir. Sebelum akhirnya ia berkata, "Baiklah, kita pergi ke sana. Kurasa itu lebih baik daripada tak memiliki arah sama sekali."

Vick kemudian menoleh ke arah kami. "Kalian?"

"Tak masalah," jawabku. Arhan hanya mengangguk.

Kantor polisi kata mereka cukup dekat. Kami hanya butuh sekitar sepuluh menit untuk mencapainya. Kami berjalan dengan gerakan agak cepat, melalui trotoar jalan aspal besar untuk memudahkan untuk pergi ke sana.

Namun sebelum kami bahkan sampai di sana, kami menyaksikan sebuah kejadian di perjalanan kami. Sebuah mobil polisi melaju cepat melewati kami. Terlihat tak terkendali sebelum akhirnya menabrak pagar. Kami segera berlari untuk melihat apakah ada orang yang selamat dari mobil polisi tersebut. Namun sebelum mencapainya, aku menyadari terdapat cahaya yang terang benderang dari belakang.

Ketika aku berbalik, ternyata itu lampu sebuah truk tangki. Truk melaju lurus dan menabrak mobil-mobil yang terbengkalai. Truk itu menabrak sebuah mobil dan mobil tersebut terlempar ke arah kami.

"Awas!"

Teriakanku mengejutkan mereka. Mereka segera bergerak mundur menghindari mobil yang terlempar hampir mengenai kami. Fiuh... beruntung sekali tak ada yang terkena. Sementara itu, truk tangki itu terus melaju hingga akhirnya menabrak mobil polisi. Tak lama kemudian, terlihat percikan api hingga akhirnya meledak.

Biorisiko: Pelarian Dari Kota MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang