Thornbill dalam keadaan bahaya!
Drake yang baru datang menyaksikan hal tersebut segera menyuruh Piero dan Earnest untuk bersiap dengan senapan mereka. Senapan serbu lebih baik karena mampu menembak dengan akurat dalam jarak yang cukup jauh, dibandingkan dengan senapan gentel atau pistol. Selain itu, hanya mereka berdua yang memiliki senjata itu.
"Minggir semuanya!" Earnest segera mengambil tempat dan menekukan kakinya. Kami semua segera menyingkir dan menyediakan ruang yang lebih luas untuknya.
Topi kupluknya di tekan terlebih dahulu agar menyatu ke kepala, kemudian dia mengangkat senjatanya. Dia meluncurkan satu persatu peluru, terbang membelah udara menuju ke zombi yang mengejar Thornbill dan wanita bersamanya. Tembakannya meninggalkan lubang di jendela kaca. Kami semua sampai mundur untuk menghindari pecahan kaca. Sementara itu, Piero baru saja kembali setelah mengambil senapan serbunya yang ketinggalan di bawah. Dia lalu ikut mengambil tempat di samping Earnest untuk membantu Thornbill. Kami berada di sekitar mereka untuk beberapa detik. Suara tembakan lumayan kencang, tetapi rasa khawatirku meredamnya.
Arhan menepuk bahuku. "Al, ayo ke bawah! Kita harus membuka pintu untuk mereka."
Kami berdua segera berlari dan turun melalui tangga. Setelah sampai di depan pintu, Arhan membuka kuncinya. Thornbill dan sang wanita sudah agak dekat, zombi-zombi yang mengejar mereka tumbang satu-persatu akibat ditembak oleh Piero dan Earnest.
Segera setelah mereka masuk, Arhan menutup kembali pintu dan menguncinya kembali. Semua orang mulai mendatanginya.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Drake.
Thornbill terlihat terengah-engah, tapi masih dapat mengangguk untuk meyakinkan kami bahwa dia baik-baik saja. Wajah dengan kumis beserta janggut tipis di setiap sisi dagu dipenuhi dengan keringat. Seakan-akan semua bagian wajahnya berminyak. Entah sudah berapa lama dia harus berlari dari kejaran zombi-zombi itu. Aku kemudian memandangi wanita yang kelihatannya seorang karyawati, duduk bertumpu di ban besar bus. Terlihat sama kelelahan dengan Thornbill.
"Apa yang terjadi sampai kamu lama kembali? Dan siapa dia, omong-omong?" tanya Drake kembali.
"Namanya Kate," jawabnya, "aku menemukannya di jalan. Dan sewaktu kami kembali, kami melihat gerombolan zombi yang melintas. Kami terpaksa memutar jauh."
Terry berujar, "Senang kau bisa selamat, Opsir."
"Apa bus kita sudah siap?" tanya Thornbill.
"Belum, kami menunggumu dulu tadi."
Thornbill menghela napas. Dia kemudian berdiri dan berkata, "Kalau begitu, ayo kita bekerja untuk...."
Drake menahan Thornbill yang hendak berdiri. "Tahan dulu, Opsir! Mungkin seharusnya kamu istirahat saja dulu. Kamu jelas terlihat kelelahan. Jangan memaksa dirimu sendiri."
"Ya sudah...." Dia kemudian duduk di sebuah kursi, menyenderkan diri untuk melepas rasa lelah.
"Dan... Kate. Kamu naiklah ke atas. Istirahatlah di sana," kata Drake pada Kate. Dia mengucapkan terima kasih dan segera berjalan ke sana; diantarkan oleh istri Terry. Drake kemudian beralih pada semua orang yang tersisa. "Ok semua! Kita akan bekerja. Kita akan membuat sedikit perubahan pada bus yang nanti akan kita tumpangi."
***
"Satu... dua... tiga!"
Aku dan Arhan bekerja sama mengangkat satu pelat besi yang berukuran besar; kira-kira panjang kedua sisinya 2 meter. Lalu kami menghamparkan pelat itu ke lantai secara perlahan. Meski tidak tebal, tapi berat sekali. Drake segera menarik sebuah meteran dan mengukur panjang. Sejenak bergumam, dia kemudian menoleh ke arah Thornbill yang duduk di belakangnya, "Apa kau yakin, Opsir?"
"Tentu saja, kau juga tahu mobilnya berceceran dimana-mana. Bahkan bus lain juga menghalangi jalan. Kupikir itu akan lebih baik," jawab Thornbill.
"Baiklah." Drake kembali mengukur, kemudian membuat tanda menggunakan pensil.
Setelah selesai dengan pengukuran, Terry mengambil giliran. Dengan mesin bertenaga tinggi, dia memotong pelat besi tersebut. Karena suaranya cukup keras, aku sempat khawatir jika nanti para zombi akan mendatangi tempat kami. Namun seharusnya bukan masalah yang serius. Earnest yang sedang berjaga di atas bisa mengatasinya. Ketika mesin tersebut masih menggerung dengan kerasnya, tiba-tiba Piero menepuk pundakku.
"Al, bisa bantu aku?" tanyanya.
"Kenapa?"
"Kita akan mengambil semua bahan bakar bus-bus yang berada di luar untuk persediaan. Ayo!"
Aku mengangguk dan segera mengikuti Piero. Arhan melihatku dan berkata bahwa dia juga ikut. Kami keluar dari garasi, dengan membawa enam jeriken kosong. Kami menuju satu bus terdekat untuk diambil bahan bakarnya.
Piero membuka tangki bus dan memasang selang. Dia mengisap sebentar salah satu ujung selang, kemudian meletakannya pada lubang jeriken berukuran besar. Tanpa menunggu lama, selang itu mengeluarkan bahan bakar diesel. Sayang sekali, isinya sedikit. Hanya mengisi seperempat dari jeriken yang dapat terisi hingga enam galon ini.
Tak menyerah, kami mencarinya ke bus lain. Beruntung bus ketiga memiliki tangki yang masih penuh, jadi kami dapat mengisi jeriken kami hingga memenuhi empat jeriken. Aku dan Arhan membawa kembali jeriken yang sudah terisi penuh itu ke garasi. Wow! Di garasi, bus sedang dipasangi pelat besi yang dibentuk seperti tameng. Terry sedang mengelasnya. Aku tak bergeming, melihatnya dengan takjub.
Arhan menepukku. "Al, kita masih ada pekerjaan."
"Ah iya." Aku tertawa kecil.
Kami kembali ke tempat Piero. Kini dia berada di bus lain. Dia mengeluh karena tak banyak solar yang dia dapatkan, selain dari bus ketiga. Tak ada lagi bus, mungkin-
"Oh, shit...!" ucap Piero secara tiba-tiba.
Bagaimana tidak? Kami terkejut mendengar suara geraman anjing. Di saat seperti ini, anjing adalah makhluk yang berbahaya. Kami menoleh ke arah jalan besar, dan ternyata ada enam ekor anjing yang menatap kami.
"Kalian berdua berjalan perlahan.... Sesuai aba-abaku nanti, kita berlari," bisik Piero.
Kami bertiga bergerak sangat pelan sekali sembari terus menatap anjing-anjing zombi itu dari kejauhan. Mereka tampak menyeringai sinis sembari mengeluarkan air liur, seakan tahu ketakutan kami. Aku baru melihatnya sejelas ini. Mereka memiliki kulit mengerikan seakan sebagiannya seperti terkelupas; menampakan daging mereka. Mata mereka putih seakan tak memiliki kehidupan. Namun, aku tahu mereka menatap tajam kami.
"Sekarang!"
Piero berlari sembari membawa satu jeriken setengah penuh. Begitupula dengan kami. Anjing-anjing itu mulai mengejar. Dengan napas yang seperti terpompa, aku berlari hanya untuk satu tujuan yaitu pintu garasi. Aku mendengar suara tembakan dari jendela lantai atas garasi. Itu pasti Earnest yang sedang memberikan perlindungan pada kami. Pintu garasi terbuka dan muncul Thornbill dari sana. Dia menyuruh kami untuk cepat-cepat kembali.
Namun, batu sialan! Bagaimana bisa batu sebesar itu ajaibnya berada di sana padahal sebelumnya tidak ada di sana?! Apa ada orang yang ingin nasib tragis menimpaku?!
Alhasil aku jatuh terlungkup di tanah. Kedua lututku membentur aspal. Sialnya, sakit sekali! Aku terguling beberapa kali di tanah. Aku segera berbalik memastikan anjing-anjing itu tak menyerangku. Salah satu anjing sedang berlari lurus ke arahku. Dia melompat.
Aku dikejutkan oleh ledakan senapan gentel. Mengenai kepala anjing tersebut hingga darahnya menciprat ke arah wajahku. Aku reflek menutup mata, menghindarkannya dari cipratan darah yang menjijikan tersebut.
Aku mendengar suara Thornbill. "Almura! Kau tidak apa-apa?!"
Aku membuka mataku. Thornbill berada di depanku menatap khawatir. Aku segera memberitahu dirinya bahwa aku baik-baik saja. Dia kemudian mengajakku berlari. Dia menembakan senapan gentelnya pada satu ekor anjing yang mendekat, lalu menuntunku berlari.
Namun, seekor anjing lain berhasil menghindari senapan serbu Earnest, kemudian menyambar Thornbill. Dia tak sengaja melepas senapan gentelnya. Dia juga tak sengaja mendorongku akibat serangan anjing itu. Aku kembali terjatuh ke tanah, mengenai kembali luka di lututku. Ah sialan! Perih sekali. Ketika aku menoleh ke belakang, aku mendapati hal yang lebih mengerikan. Anjing itu telah menggigit bahu Thornbill.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biorisiko: Pelarian Dari Kota Mati
AcciónKeberuntungan menghampiri tatkala seorang pemuda diajak sahabat karibnya untuk melanjutkan pendidikan di negara bagian Minnesota sekitar benua Amerika. Namun, petaka terjadi di suatu malam. Sebuah wabah yang sangat mengerikan. Mendorong manusia-manu...