Pulau Awaji, kedai Biru, 17 Januari 1995.
Ini hari keduaku merasakan udara segar di Jepang. Setelah satu hari menempuh perjalanan lama dan penuh ribut membawa koper-koper hitam, malam tadi aku mulai menempati rumah baruku.
Rumah yang indah. Pekarangan sakura di depannya membuat Ibu lebih betah dibanding rumah kami di Seoul yang baru dua hari aku tinggalkan. Memiliki dua lantai membuatku bisa memilih kamar atas dan dekat balkon, oh, tentu saja aku menyukai itu meskipun aku ini lelaki. Terlihat konyol, tetapi seru jika kau menikmatinya sendiri.
Pagi ini damai.
Ayah dan Ibu sedang bergembira di dapur. Mereka memasak bersama. Oh, sangat romantis, bukan? Aku hanya bisa membuka pintu dan jendela, menghirup sebanyak-banyaknya udara yang kumau.
Di sini hampir sama dengan Seoul, yah, debu.
Entahlah, aku benci ini.
Dengan senyuman lebar yang terukir, aku mulai menyirami tanaman sakura-ku satu persatu, mencium baunya, seketika aku melihat jalanan depan rumah yang penuh dengan orang sibuk.
Trotoar dipenuhi pelajar atau pekerja kantor yang tujuan dan rumahnya dekat sini. Jalanan ramai dengan mobil-mobil mewah, sesekali berhenti di sebuah bar, toko roti, atau bahkan toko buku.
"Jeongin-ahh! Waktunya sarapan!"
Itu teriakan eomma, ibuku yang sedang hamil lima bulan.
Aku dengan lesu berjalan ke arah ruang makan, menatap sarapan yang disajikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ssstt!
Teen Fiction. . . "Sepertinya aku sudah pernah melihatmu." "Kapan? Kita baru bertemu, bukan?" "Tidak, eh, ya benar. Aku pernah melihatmu di kedai itu. Ah, aku lupa." "Kedai yang mana?" "15 tahun lalu, mungkin. Sewaktu ayahmu..." . . . "Aku suka pantai. Dulu aku...