1Tsu -ji

401 14 3
                                    

Terang.

"Ingatannya hilang, Pak."

"Mungkin dia hanya bisa mengenang sesuatu yang ada buktinya."

"Ke mana Ayahnya?"

"Mana Ibunya?"

"Ibunya selamat, bayinya meninggal dalam kandungan."

"Empat puluh detik. Nafasnya teratur."

"Bagaimana jika ia lupa dengan Ibunya?"

...

...

...

"Akan aku antar ke psikolog, kuharap dia baik-baik saja."

...

"Maaf, Bu. Ayahnya tak bisa diselamatkan."

***

Aku terbangun.

Kicauan burung mulai terdengar. Knalpot kendaraan pun mulai berlomba, ramai sana-sini, para pohon menyambut pejalan kaki.

"Jeongin-ahh."

"Ibu?" aku menoleh. "Selamat pagi."

"Selamat pagi juga, Sayang," beliau mengecup keningku.

Aku beranjak dari kasur, segera kuambil handuk dan bergegas mandi.

Cuaca pagi ini cerah, tidak seperti hatiku yang sedang resah. Hari ini adalah festival sakura di sekolahku, membuat aku harus datang pukul sembilan--bukan pukul tujuh seperti biasanya. Ini menyenangkan. Aku bisa bangun sedikit telat.

Kutatap sebuah foto keluarga.

Ibu, aku yang masih berumur lima tahun, dan sosok lelaki gagah yang tak berjenggot maupun berkumis. Ibu bilang, itulah yang dinamakan sosok "ayah".

"Sarapan pagi ini adalah sup kacang. Jika kau mau yang lain, ada roti isi kesukaanmu," kata Ibu.

Aku hanya mengangguk.

Aku dan Ibu duduk berdua di meja makan, kami menyantap sarapan hanya berdua--seperti biasa. Kali ini lebih tenang dan damai.

Sesekali aku melihat wajah sedih dari raut muka Ibu. Yah, aku tahu. Ia sangat merindukan "ayah".

"Ibu, ceritakan bagaimana Ayah-ku itu," ujarku.

Ibu tersenyum kecut, kemudian menelan makanannya.

"Dia pemberani dan baik hati."

"Hanya itu?" selaku kemudian.

Ibu tersenyum lagi. "Ia mirip denganmu."

Aku tidak bisa memaksakan lagi, karena aku tahu jika begitu akan membuat Ibu semakin sedih. Meskipun sudah 10 tahun tanpa Ayah, kini Ibu masih merasa sangat kehilangan.

"Ibu, aku berangkat."

"Hati-hati di jalan."

***

Sekolah penuh dengan remaja-remaja yang bergembira.

Tidak hanya satu-dua, bahkan lima-enam pasangan remaja berfoto ria sambil memegang bunga sakura mereka.

Aku tersenyum kecil memandangi setangkai sakura yang kupegang di tangan kananku.

Aku tidak punya pacar. Tidak punya sahabat perempuan. Tetapi aku hanya mengikuti festival, melihat-lihat sakura karena aku memang suka bunga itu.

"Jeongin!"

Aku menoleh, tersenyum.

"Hosh. Kau baru datang?" ia ngos-ngosan.

"Mengapa? Ah, jam berapa festival ini dimulai?" tanyaku.

Yoshiaki memukul lenganku. "Aku sungguh tak suka ini. Oh, jam sepuluh akan dimulai. Kuharap kita hanya berkeliling dan tidak iri memandangi mereka yang pacaran."

"Aku tidak tertarik," balasku.

Kami berdua menuju aula utama yang kini dipenuhi dengan tumbuhan sakura, duduk bersebelahan dan mulai menyantap pudding kesukaan. Inilah kegiatan favorit bila ada festival di sekolah. Tidak perlu repot-repot merayakannya, cukup diam dan duduk saja.

Yoshiaki, sahabatku yang paling setia. Dia setipe denganku.

Baru-baru ini dia menembak seorang adik kelas yang cantik dan cukup terkenal, diterima. Dia senang. Tetapi begitulah. Ia jarang bertemu dengan adik kelas itu.

"Siapa nama pacar barumu? Aku lupa," aku mulai bercanda.

"Tak penting untukmu," jawabnya ketus.

"Kau tak berpacaran dengannya?"

"Dia menghilang entah ke mana," jawabnya lagi.

Lima detik, ia menoleh ke arahku. "Dia orang Seoul yang pindah ke sini, sama sepertimu."

Akhirnya dia menjawab.

"Siapa namanya?" tanyaku lagi.

"Kim Na Min," jawabnya.

"Ahh, aku tak perlu nama lengkapnya!" ledekku.

Yoshiaki tertawa. "Kau tak ingin punya pacar?"

Aku menggeleng, kemudian mengangkat bahu.

"Kenapa?"

"Belum tertarik. Lihat saja nanti. Aku akan mendapatkan yang lebih dari Namin," aku meledeknya lagi.

"Terserah!"

Kami berdua tertawa lagi.

Namun tawa kami terhenti oleh bel sekolah, menandakan festival ini akan dimulai.

Aku sih, senang-senang saja. Toh aku bisa berkeliling dan berfoto ria bersama "sakura". Yoshiaki mendengus kesal, dia jelas tidak suka "bunga", terlebih lagi festival bunga.

***

Ssstt!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang