#3 First Love - Prolog

4 1 0
                                    

"The corners of my memory"

21.00...

Kakiku melangkah gontai menjauhi halaman rumah besar itu.
Di rumah itu ada ayah, nenek dan juga adik ayahku yang tinggal bersama suami dan anaknya.

Aku tidak pernah mau dengan tanpa syarat menginjakan kaki dirumah itu.

Tapi, untuk malam ini dan malam-malam dengan tanggal yang sama selama empat tahun ini merupakan syarat yang aku ajukan untuk diriku sendiri.

Malam ini merupakan malam peringatan kematian ibuku.

Ini sudah tahun keempat aku memasuki rumah itu dengan hati yang lapang.

Aku tahu semua orang dirumah itu tidak ada yang dengan rela kami mengadakan upacara itu disana.

Yah, kami. Aku dan ayahku.

Semenjak ibu meninggal akibat kebakaran yang melahap rumah kami 4 tahun lalu, ayah memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya atau nenekku.

Nenekku secara hukum dan biologis, walau sampai saat ini aku tidak merasa memiliki nenek sepertinya.

Nenek tidak pernah merestui pernikahan ayah dan ibu.

Bahkan hingga akhir hayatnya ibu tidak pernah sekalipun dipandang oleh nenekku.

Alasannya, ayahku adalah orang berada. Sayangnya, ia jatuh cinta dengan orang biasa.

Ibuku hanya pemain piano yang menjual permainannya di semua tempat, asal menghasilkan uang.
Mulai dari permainan piano pengiring pengantin hingga di acara pemakaman.

Kendati begitu, ibuku orang yang sangat tegas dan berpendirian teguh.
Selama ia tidak salah, ia tidak akan pernah menangis dihadapan orang lain.

Hingga air mata pertama yang aku lihat darinya jatuh saat ia pulang dari rumah besar ini.

Aku yang baru berusia 3 tahun saat itu tidak mengetahui apa yang terjadi.
Ibu hanya menggendongku di punggungnya sambil ayah yang juga mengejar kami dibelakang.

Anehnya, aku yang tidak tahu-menahu juga ikut menangis.

Entahlah, mungkin ikatan batin anak dan ibu yang membuat aku menangis saat itu.
Apalagi sesampainya dirumah, ibu kembali menangis sambil mendekapku.
Semakin pecahlah tangisku.

Ibu mengajarkan banyak hal padaku.
Ibu juga menjadi orang pertama yang menunjukkan hal baru di dunia padaku.

Ibu mengajarkan bagaimana menjadi lelaki yang kuat dan bisa diandalkan.

Tidak hanya cara menjalani hidup, ibu juga mengajari cara mencintai hidup melalui musik.

Ibu yang sejak muda sudah menyukai musik mengajariku tentang berbagai hal, termasuk bermain alat musik.
Ibu menguasai banyak instrumen seperti gitar, drum, saxophone hingga piano.

Piano adalah yang paling ibu kuasai.
Kendati ibu bukan orang berada, tapi ia memiliki sebuah piano usang dirumah.

Piano itu dipindahkan ke rumah baru kami setelah ibu dan ayah menikah.
Karena sudah usang, ibu selalu merawatnya.
Ibu juga sering memainkan lagu-lagu klasik yang indah.

Pemandangan paling indah bagiku adalah saat ibu bermain piano dan ayah duduk disebelahnya.
Jika itu terjadi maka aku akan menjadi setan kecil yang mengganggu mereka.

Namun, bukannya marah, mereka akan balik menyerangku dengan gelitikan.
Itulah saat-saat paling membahagiakan dalam ingatanku.

Karena sering diajari atau melihat ibu bermain musik, aku jadi ikut menguasai rata-rata alat musik.

Aku sempat minta masuk ke sekolah musik yang walau akhirnya ditentang oleh ayah dan keluarganya.

Mereka ingin aku yang seorang cucu pertama bisa menjadi pewaris perusahaan keluarga.

Tidak jarang ayah dan ibu adu mulut karena hal ini.
Karena pertengkaran sering ku dengar sejak kecil, membuat emosiku sering terganggu.
Aku jarang berbicara dengan orang lain.

Bahkan jika aku marah, ibu pun tidak aku ajak bicara.
Tapi, bukan ibu jika tidak bisa menenangkan anaknya.

Ibu pasti akan selalu bisa mencairkan emosiku.
Ia akan mendengarku, lalu mengutarakan maksud orang dewasa tersebut dengan cara yang bisa aku terima.

"Yongi-ya, jika kau tidak bisa menyempurnakan musikmu, maka jadikanlah musik sebagai bagian dari kesempurnaan hidupmu"

Itu kata-kata yang diucapkan ibu saat aku hampir putus asa menerima kenyataan bahwa ayah tidak mau memasukan aku ke sekolah musik.

Saat itu tidak tahu berapa besar rasa cintaku padanya.

Dia idolaku yang pertama.

Saat itu mimpiku adalah bisa menjadi penjaga ibu sampai akhir hidupku.

*****

"Yongi-ya, keluargamu terkena musibah. Rumahmu terbakar. Ibumu di rumah sakit sekarang".

Aku tidak tahu lagi kalimat apa yang diucapkan oleh guruku selanjutnya.

Aku lemas.

Saat itu aku menyadaru bahwa mimpiku kandas sebelum tercapai.

Rumahku terbakar saat aku tengah berlibur bersama teman-teman sekolahku ke pulau Jeju.

Aku ingin langsung pulang namun terhalang cuaca buruk.

Aku hampir gila ketika ayah mengatakan bahwa ibu dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian.

Ibu selamat dari kebakaran tapi ia sempat tertimpa reruntuhan bangunan.

Aku kembali dan langsung dijemput ayah untuk melihat ibu di rumah sakit.

Ibu tersenyum melihatku.
Aku sempat menunggui ibu dirawat sebelum akhirnya ia menyerah.
Luka di kepalanya terlalu fatal.

Ayah menangis tersedu disamping jenazah ibu.
Semua warga yang mengunjungi kami ikut menangisiku.

Dan anehnya, aku tidak mengeluarkan air mata sedikitpun.

Aku hanya mematung.
Walau aku hidup, berjalan dan bernafas, tapi aku tidak menyadari apa yang terjadi disekitarku.

Tapi satu hal yang pasti dan jika boleh aku ingin menolaknya.

Ibuku, cinta pertamaku, kini meninggalkanku.

Your M(a)yTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang