#5 Reflection - Prolog

6 1 0
                                        


"I wish i could love myself"

Aku memungut sekantong sampah untuk kesekian kalinya hari ini.

Entah sudah yang keberapa, bahkan aku sendiri tidak ingat.
Sampah itu ditinggalkan para pengunjung yang mengisi bahan bakar di tempatku kerja paruh waktu.

Pekerjaanku disana sebagai operator yang mengisikan bahan bakar ke mobil pelanggan yang datang sehingga mereka tidak perlu turun.

Selain untuk mempercepat sirkulasi, ini juga merupakan layanan yang kami berikan agar pelanggan senang datang ke sini.

Namun sayangnya kenyamanan yang kami berikan disalah artikan.
Mereka biasanya menyerahkan sekatong penuh sampah dari dalam mobil.

Dan aku tidak bisa menolak.
Atau sajangnim akan memarahiku habis-habisan. Karena tidak menerima sampah.

Konyol.

Tidak adil.

Tapi siapa yang bilang hidup itu adil?

Omong kosong.

Ketidakadilan sering terjadi pada hidupku.
Bahkan sesaat setelah aku membuka mata di dunia ini untuk pertama kali.

Aku lahir dari keluarga yang sangat miskin.
Saking miskinnya, biaya kelahiranku baru bisa lunas setelah aku berusia 5 tahun.

Tidak adil bukan?

Contoh ketidakadilan lainnya yang muncul setelah kelahiranku adalah nama yang diberikan.

Kim Namjoon.

Si cerdas dan ambisius.

Orang tua selalu menyelipkan doa melalui nama ketika anaknya lahir.
Sama dengan nama ini yang dalam doanya mereka ingin aku dihargai dengan kecerdasan yang aku miliki.

Sayangnya, nama itu tidak dapat mengantarkan aku pada keadilan itu juga.

Sekarang aku hanya seorang siswa sekolah menengah yang harus hidup pontang-panting dalam berburu kepingan won.

Setiap hari aku isi dengan doa agar keping won yang aku miliki bisa berubah jadi lembaran dollar.

Aku tidak memiliki mimpi seperti anak-anak lainnya.

Tapi aku punya harapan.

Harapan semoga besok aku bisa pulang dengan dompet yang penuh dengan keping won.

Cukup.

Aku sudah tinggal di Seoul sejak 4 tahun lalu.
Aku yang menjadi anak pertama laki-laki memutuskan bermigrasi dengan harapan dapat membantu keuangan keluargaku di desa.

Sayangnya, sampai saat ini aku belum dapat dikatakan mampu mewujudkan harapan itu.

Uang hasilku bekerja hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah.

Pernah aku berfikir untuk berhenti sekolah.
Namun sayangnya kedua orang tuaku hanya mengizinkan aku untuk tetap tinggal di Seoul jika aku tetap sekolah.
Akhirnya mau-tidak-mau aku tetap harus sekolah.
Walau bisa aku katakan aku juga tidak terlalu berhasil dengan sekolahku.

Waktuku banyak aku gunakan untuk kerja paruh waktu.

Aku kurang tidur sehingga meja di kelas menjadi bantal yang sangat empuk bagiku.

Aku akui, aku adalah salah satu siswa jenius yang ada di sekolah.
Aku bisa memastikan bahwa aku dapat menguasai semua pelajaran dengan mudah.

Yah, setidaknya nama yang diberikan padaku tidak terlalu gagal.

Namun kehadiranku yang hanya bisa dihitung dengan jari satu tangan membuat guru juga tidak bisa berbuat apapun.

Jika aku ditanya mengapa aku bisa sekolah dengan cara demikian dengan otak encer ini, aku bisa jawab apa?

*****

Aku pernah dengar bahwa Tuhan menciptakan semua dalam hidup yang aku anggap seperti drama mingguan ini secara berpasangan.

Ada laki-laki dengan perempuan.

Ada siang dengan malam.

Ada matahari dengan bulan.

Ada Namjoon dengan pekerjaan paruh waktu.

Ada sedih dengan kebahagiaan.

Lalu, apakah hidupku selalu sedih?

Jawabannya tentu TIDAK.

Aku juga pernah bahagia.

Dan tengah aku rasakan sekarang.
Duduk dipinggir sungai Han dengan sekaleng bir favorit.

Sepulang kerja aku selalu menyempatkan diri untuk duduk beberapa saat dipinggir Sungai Han.

Tidak ada yang aku lakukan.

Hanya duduk dengan sekaleng bir favoritku.

Aku suka melihat orang-orang berlalu lalang.

Aku seperti menyaksikan drama lain yang diciptakan Tuhan untuk orang-orang itu.

Dan itu menjadi saat aku mensyukuri hidupku.

Aku tak tahu apa alasanku bersyukur.
Tapi yang pasti ini kebahagiaan kecil yang Tuhan berikan.

Tugasku kemudian hanya bersyukur.

Aku dapat merasakan ponsel ku bergetar di balik saku hoodie.
Aku meraihnya dan tersenyum melihat nama pengirim pesan yang tertulis disana.

Tae.

Aku membacanya sambil tersenyum, kemudian kembali memasukkan ponsel ku kedalam saku.

Aku menggosok telapak tanganku ketika hembusan angin menyerbu daratan.

Angin sungai Han.
Dingin yang menghangatkan.

"Hyung....".

Aku menoleh.

Aku tahu pemilik suara itu, jadi aku tahu panggilan hyung itu pasti untukku diantara banyaknya laki-laki yang mungkin di panggil dengan sebutan hyung juga.

Taehyung tersenyum sambil melangkah mendekat kepadaku.

Aku tersenyum.

Kebahagiaan kecil lainnya yang aku miliki datang menghampiri.

Your M(a)yTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang