1

12 4 0
                                    

Sore itu mendung, awan begitu kelabu, angin yang berhembus terasa begitu dingin hingga rasanya menembus kedalam kulitku. Lalu perlahan langit menitikkan hujan. Aku berlari perlahan, takut takut kalau sang hujan datang dengan lebih banyak teman. Kala itulah aku bertemu kembali dengannya. Orang yang telah lama menghilang. Yang begitu sulit terlupa. Yang bahkan bayangannya saja pun kuingat jelas. Ia berteduh di depan bengkel yang telah tutup, tempat yang kutuju untuk berlindung dari hujan. Tapi entah mengapa langkahku justru terhenti saat melihatnya. Kurasakan kerudungku yang perlahan mulai basah, juga pipiku yang mulai terasa hangat karena air mata yang tiba-tiba jatuh bersama hujan. Tubuhku kelu, rasanya sulit untuk bergerak bahkan hanya untuk berkata pun aku tak sanggup, hingga akhirnya Fikri datang memayungiku.

"kok malah hujan2an sih la. Nanti sakit loh"
Tanya Fikri yang kemudian menyadarkanku dari lamunan.

Segera kuhapus airmataku dan mencoba tersenyum

"udah yuk langsung ke mobil aja" ajaknya
Akupun mengangguk lesu.

Fikri menggenggam tanganku perlahan lalu menarikku pergi, namun tatapanku tak lepas darinya. Mata kami beradu pandang. Mata itu, mata yang selalu ku rindu, mata itu yang sering menggodaku dulu. Mata itu menatapku tajam seolah berkata 'jangan pergi' inginku berlari kearahnya dan memeluknya erat, menumpahkan segala rindu yang tlah lama memenuhi dada hingga terasa sesak. Inginnku keluhkan segala lara yang selalu menemani hari-hariku.

Ah, rindu itu ingin kutumpahkan bersama hujan. Namun langkahku terasa sulit untuk berbalik kearahnya. Tak lama ia menghilang dari pandangan, menghilang bersama rintik hujan. Tinggalah aku bersama Fikri, yang masih menggenggam erat tanganku. Lalu membukakan pintu mobilnya untukku.

"yo masuk, baru ditinggal bentar aja udah ujan2an" ujarnya

Kubalas dengan senyum.
Walau sangan berat rasanya untuk mendaratkan senyum didlbibirku saat itu.

Sepanjang jalan Fikri menceritakan banyak hal. Namun rasanya bahkan tak satu katapun kuingat apa yang ia katakan. Fikiranku melayang jauh. Berkelana. Wajah lelaki itu berputar difikiranku. Aku hanya terdiam, berpura mendengar apa yang Fikri katakan. Berusaha membalas segala kata-katanya dengan senyuman. Namun lagi dan lagi aku teringat pada lelaki itu. Hingga rasanya tak mampu lagi kutahan airmata yang membendung dikedua mata.

Tangiskupun tak dapat kutahan lagi. Hingga Fikri menepikan mobilnya. Berusaha menenangkanku dan juga bertanya ada apa. Tetapi aku tak mampu berkata. Aku semakin terisak, hingga akhirnya Fikri menyerah tuk bertanya dan mengantarku pulang.

###

Pagi ini aku terbangun oleh ketukan pintu kamarku. Segera kubuka kedua mataku yang lelah menangis semalaman. Aku berusaha bangkit dari ranjangku dengan kepala yang begitu pusing, hingga akhirnya dengan tidak sabar kakakku membuka pintu lalu masuk kedalam kamarku

"kamu sehat dek?" tanyanya

"abang kok kesini?" aku balik bertanya.
Kakakku sudah menikah 3 tahun yang lalu dan tinggal bersama keluarganya. Dirumah, aku hanya berdua dengan ayahku

"aku denger dari Fikri kmren kamu nangis tanpa sebab. Sampe sesenggukan. Fikri sampe berkali2 minta maaf takutnya kamu kesel sama dia. Kamu sebenerny Kenapa dek?" tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku menatapnya terdiam. Tak mungkin kuceritakan kejadian sore kemarin. Lelaki itu, adalah orang yang tak boleh disebut bahkan hanya sekedar namanya. Aku terdiam sesaat menatap kakakku. Mencari-cari alasan. Tapi justru fikiranku melayang ke kejadian 6 tahun yang lalu. Kali terakhir aku bertemu lelaki itu. Aku ingat betul bagaimana ia dan ibunya menangis dan bersujud dihadapan ayahku. Kenangan pahit itu, yang selalu menghantui mimpiku. Dan lagi tak kuasa airmatakupun terjatuh. Kak Ali segera memelukku dan mengusap punggungku, Tanpa bertanya. Kami hanya terdiam. Ia tahu betul pahit yang aku rasakan. Tapi banyak hal yang tak mampu ia katakkan padaku. Ia memendam luka yang sama besarnya. Luka yang bahkan masih nyata  ia rasakan.

"aku gak apa bang. Ga perlu khawatir. Cuma overthinking aja" jawabku memecah suasana.

"abang gatau apa yang kamu fikirin. Kalau kamu gabisa cerita, abang ga maksa kamu. Tapi Fikri juga khawatir sama kamu dek. Coba kamu hubungin dia. Dia semalaman telepon abang gabisa tidur" jelasnya

"iya bang. Nanti aku telepon dia bang. Abang bilang aja aku gak apa-apa. Mungkin seharian ini aku mau istirahat dirumah dulu"

"kamu gak apa sendiri dirumah? Apa bang telepon ayah aja?"

"jangan..jangan bang! Ayah kan lagi di Bandung. Bisa-bisa ayah langsung pesan tiket le jakarta kalo abang telepon. Aku gak apa kok. Cuma butuh istirahat"

"kamu yakin?" tanyanya seraya menatapku tajam.

Akupun hanya mengganggukan kepalaku. Tak lama Bang Ali pergi. Lalu kubaringkan lagi kepalaku di bantal. Mencoba sejenak menjernihkan fikiranku. Mencoba sejenak melupakan pertemuan itu. Namun aku tak mampu. Dirinya adalah bagian dari diriku. Namanya tlah terukir di hatiku bahkan tak pernah sekalipun aku berfikir tuk menghapusnya. Bagaimana bisa? Jika perasaanku untuknya bagai oksigen dalam setiap nafasku. Bagaimana aku mampu melupakannya, jika rindu ini menjadi sarapanku di pagi hari lalu meninabobokanku di kala malam. Bagaimana bisa namanya kulupa? Jika namanya yang tak pernah luput kusebut dalam setiap doa yang kupanjatkan.

Ya tuhan, aku begitu merindukannya. Betapa besar rasa sesalku karna tak menghampirinya sore lalu. Bagaimana aku bisa mengulang waktu. Akh, tak henti-hentinya ku maki diriku semalaman. Lalu apa yang bisa ku perbuat?

Tiba-tiba teleponku berdering, Fikri, nama itu yang muncul di layar HPku.
Segera ku matikan HPku. Aku masih belum bisa berkata-kata. Fikri itu teman Bang Ali. Sedah hampir satu tahun yang lalu bang Ali memperkenalkannya padaku. Dia cerdas, mapan, dan masih muda, setidaknya begitu Ujar bang Ali dulu. Aku tidak memiliki hubungan spesial dengannya. Ia sering mengajakku untuk menjalin hubungan, namun sering juga ku tolak. Tetapi ia lelaki yang gigih, kuakui. Hingga terakhir kali ia memohon padaku, ia memaksaku untuk sekedar mencoba menjalin hubungan dengannya. Ku jelaskan padanya bahwa hatiku belum bisa menerima siapapun. Tapi tak masalah baginya. Lalu seperti ini kami sekarang, seolah sepasang kekasih namun tanpa rasa kasihku untuknya. Setidaknya jika itu mampu menyenangkan ayah dan bang Ali, kurasa cukup bagiku.

AbyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang