2

7 2 0
                                    

Seminggu berlalu sejak pertemuan sore itu. Sore ini masih seperti sore-sore sebelumnya, sore hari dibulan Desember, langit selalu muram dan kadang menitikkan air hujan. Setiap sore aku selalu mampir ke bengkel itu. Kalau kalau aku bisa bertemu dengannya. Tapi hasilnya selalu sama. Hanya sebuah bengkel yang telah tutup, dan aku-yang berdiri terpaku di pelataran. Seminggu ini tidurku terganggu. Lagi, dan lagi ia datang dalam mimpiku. Matanya selalu terlintas dalam mimpiku bahkan saat aku memejamkan mata. ‘Harusnya aku menghampirinya’, ‘harusnya aku menggenggam tangannya’, selalu dan selalu, kalimat itu yang muncul di kepalaku. Hari sudah mulai malam, kuputuskan untuk pulang hingga tanpa sadar diseberang jalan Fikri berdiri disamping mobilnya menatapku penuh tanya.   
Aku berjalan menghampirinya perlahan

“kamu ngapain bengong disitu?” tanyanya

“kamu ngpain disini?” aku balik bertanya

“kamu kenapa sih La. Aku masih ga paham sama kamu. Apa sebegitu susahnya ngertiin kamu?”

“tapi aku ga pernah minta kamu ngerti aku kok mas”

“Aila kamu selalu kaya gini. Ini udah ga normal la, udah seminggu kamu berdiri disini sampe malem, sampe kamu ga pernah sadar aku selalu merhatiin kamu disni la. Siapa yang kamu tunggu la? Siapa? Masih dia?” Tanya Fikri dengan suara bergetar

“Dia? Dia siapa yang kamu maksud mas? Aku gak Faham”

“Aku tau La semuanya. Selama ini aku diem. Tapi aku capek La. Berharap lebih ke kamu, tapi kamu ga pernah buka hati kamu karena dia?”

“aku gak faham yang kamu omongin mas. Aku mau pulang. Kalo kamu masih mau disini silahkan” jawabku lalu beranjak meninggalkannya.

Hujan turun lagi, rintiknya perlahan mendarat di tubuhku. Tak pernah terlintas dalam fikiranku bahwa Fikri akan bertanya seperti itu. Seperti badai bergemuruh dalam hatiku. Kenangan demi kenangan terlintas kembali dalam ingatan. Cinta juga luka. Entah yang mana yang mendominasi hatiku saat ini. Aku terus melangkah menjauhi Fikri. Takut jika ia akan kembali bertanya padaku. Karna seribu kalipun ia bertanya padaku, tak akan ada kata yang mampu ku rangkai untuk menjawabnya.

“Ila!!” gertak Fikri seraya menarik lenganku.

“kenapa lagi mas?” tanyaku dengan nada tenang.

Kutarik tanganku perlahan dari cengkraman tangannya yang semakin erat

“aku tau Ila, aku tau lelaki itu. Kamu masih mikirin manusia rendahan itu kan?!!” tanya dengan nada mulai membentak

seketika hatiku bagai tersambar petir. Sekali lagi Fikri mengejutkanku dengan kata-katanya.
Lalu tanpa kusadari tamparanku mendarat di pipinya. Fikri menatapku tajam

“Rendahan? Siapa yang kamu bilang rendahan mas? Beraninya kamu mengatakan hal semacam itu mas. Apa karna kamu merasa tinggi?” tanyaku dengan nada sedikit meninggi.

Ia masih menatapku tajam. Belum mampu berkata, kurasa. Ini kali pertama aku berbicara dengan nada seperti itu padanya, berikut dengan tamparanku tentunya.

“jelas kamu tau siapa yang aku bicarakan La. Abiyan, si berandal itu La. Masih bisa kamu memikirkannya La? Kamu ga perduli tentang perasaan abangmu La?”

Rasanya emosiku meledak seketika, kuraih kerah kemeja Fikri dan menatapnya tajam.

“kamu boleh berkata apapun tentangku mas, tapi tidak soal Abyan. Kamu gak pernah tau tentang apapun dan kuharap kamu bisa jaga sikap!” gertakku.

Segera aku beranjak pergi menjauhinya, rasanya tak sanggup lagi aku berhadapan dengannya. lalu kudengar Fikri meneriakiku dari kejauhan

“liat La, baru aku sebut namanya saja, sikapmu berubah seperti berandal”

Brengsek!  Lelaki sok tahu. Selama ini sikapnya selalu manis. Apa ia lupa dengan pujian-pujian yang selalu ia lontarkan untukku? Lalu sekarang ia berani menyebutku berandal? Jangan harap aku sudi menemuinya lagi. Persetan bagaimana kata ayah dan Bang Ali. Aku sudah tidak perduli lagi pada hal-hal semacam itu.

###

Sesampainya dirumah, fikiranku masih tak terlepas dari ingatan tentang Fikri. Hatiku masih menggerutu, memaki, bahkan menyumpahinya. Lalu kata-katanya berulang-ulang terngiang dalam telingaku

“abiyan si berandal itu” berkali-kali kalimat itu berputar dalam ingatan. Rasanya tak asing lagi mendengar kalimat semacam itu, hingga ingatanku berlayar ke waktu kali pertama kudengar kalimat itu terucap 10 tahun yang lalu

“Abiyan itu berandal!” jelas bang Ali

“loh kok tiba-tiba bilang gitu bang” tanyaku.

Saat itu kami dalam perjalanan  pulang dari sekolah, aku dibonceng bang Ali kala itu. Aku masih duduk di kelas 1 SMA, itu semester keduaku. Dang bang Ali duduk di kelas 3 SMA. Kami memang satu SMA, bahkan kami selalu satu sekolah sejak SD. karena Ayah ingin bang Ali mengawasiku selalu. Ya, sejak kecil aku memiliki 2 bodyguard yang selalu menjagaku.

“abang tau kamu lagi deket sama temen-temen cowoknya si Fira kan, ya termasuk si Abyan itu”jelas bang Ali.

“oooo” jawabku seraya mengganguk

“kok Cuma o aja?” bang Ali bertanya kembali

“aku Cuma kenal muka aja kok bang. Ga deket juga sama dia. Abang gausah khawatir” jelasku.

Kala itu memang aku belum begitu mengenal dirinya. Yang aku tahu, dia lelaki humoris yang selalu berhasil membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Banyak temanku yang menyuakinya. Ia lumayan terkenal di kalangan wanita. Bukan karena kecerdasannya, bukan juga karena ia ketua OSIS atau ketua kelas. Dia siswa biasa, dia jauh dari yang aku sebutkan itu. Prestasinya biasa saja, tampangnya pun biasa saja menurutku saat itu. Kulitnya tidak terlalu putih, tapi tidak juga hitam. Ia tak terlalu tinggi. Dan ia juga bukan anak orang kaya. Abiyan, siswa biasa yang digemari teman-teman wanitanya karena keramahannya, mungkin juga karena senyumnya. Dan memang rasanya selalu nyaman saat di dekatnya. Dan saat aku membayangkannya, pipiku merona seketika. Ah Byan, membuatku sangat penasaran olehnya kala itu. Lalu hatiku bertanya-tanya, mengapa bang Ali mencapnya sebagai berandal? Sejauh yang aku tahu, dia lelaki yang baik. Atau mungkin aku belum begitu mengenalnya? 'Ada baiknya aku mendengarkan bang Ali' ujarku dalam hati saat itu

AbyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang