Ayo Menikah!

24 2 0
                                    

     Hari ini aku sangat senang. Kau tahu kenapa? Karena perpustakaan yang baru sudah diresmikan! Menyenangkan sekali bukan melihat tumpukan buku-buku bersegel berbaris di lantai, rak buku yang masih bersih, sampul-sampul yang terlihat mengkilau dan yang paling menyenangkan adalah mencium bau kertas-kertas tua di gudang. Iya iya, aku adalah petugas perpustakaan, jadi tentu saja aku bisa keluar masuk gudang dan bersenang-senang dengan buku-buku tua sesukaku. Mereka seperti teman bagiku. Kadang aku mencurahkan semua isi kepalaku pada buku-buku itu, aku akan bercerita panjang lebar tentang kejadian receh di sekitarku. Dan mereka mendengarkan ceritaku dengan penuh minat tanpa berebut ingin menyela.

     Aku sudah menata buku sesuai abjad dan golongan saat jam di gudang menunjukkan pukul 10.42. Seharusnya kau datang satu jam delapan belas menit yang lalu. Mungkin kau masih tidur, mengingat semalam kau begadang mengerjakan tugas kuliahmu. Atau mungkin kau lupa janjimu karena terlalu banyak beban pikiran. Tapi tak apalah, setidaknya aku bisa bercengkrama bersama sepi lebih lama.

   "Leila, maafkan aku membuatmu menunggu lama. Tadi jalannya macet, hujan deras di luar membuat lalu lintas kacau balau." Kau berjalan tergesa-gesa menuju gudang. Kemejamu basah, rambutmu juga basah. Pun sepatumu, jejak tanah tertinggal di lantai saat sepatumu mencium tegel.

   "Tak apa, kau tidak kedinginan kan, Bujang?" Kau tidak menjawab pertanyaanku. Matamu tertuju pada deretan buku yang sudah kususun rapi. Tidak, aku tidak marah. Mungkin suara air di luar menenggelamkan suaraku.

   "Bisa kita mulai sekarang, Leila?" Buku-buku tebal sudah ada di depanmu. Sejarah kota. Ya, apa lagi yang akam kau kerjakan di gudang perpustakaan selain membaca buku-buku lawas untuk referensi?
    
     Aku tersenyum kikuk. Kemejamu yang basah, rambutmu yang ikal, matamu yang lelah, bibirmu yang sedikit membiru karena kedinginan, itu semua terlihat menawan di mataku.

  "Apa kau tidak kedinginan, Bujang. Kebetulan aku membawa selimut, jika kau mau aku akan mengambilkannya."

   "Tidak perlu, aku sudah tidak kedinginan." Aku tahu kau berbohong. Bibirmu masih bergemeletuk kecil saat kau mengatakannya tadi. Tapi aku tidak marah. Mungkin kau tidak mau merepotkanku hanya untuk mengambilkan selimut.
 
      Seharusnya kau mau kuambilkan selimut. Atau kalau tidak, gantilah dulu kemeja basah mu dengan baju yang kering. Lihat itu, helaian kertas-kertas buluk itu menjadi basah karena kemejamu menempel halaman buku. Semoga lembaran kertas itu tidak sampai sobek.

      Kau serius sekali saat membaca. Alis tebalmu hampir bertautan, seberat apa sih buku yang kau baca? Lihat, sampai selama satu menit kau tidak berkedip. Beruntung sekali buku yang tengah kau pegang. Aku jadi iri.

     Lima belas menit kau masih sibuk mencerna kalimat dalam buku tebal itu. Aku juga masih sibuk mencerna ekspresi seperti apa yang muncul dari wajahmu saat membaca. Hingga tanganmu menyentuh kresek putih dengan gambar beruang teddy, aku bahkan tidak menyadari keberadaan benda itu. Kau membukanya dan mengeluarkan dua gelas coklat panas.

   "Kau mau coklat panas ini? Aku tadi sengaja membelinya di depan kampus. Mungkin ini sudah tidak panas lagi." Senyum kikukmu terlihat lucu, tanganmu menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.

    "Terima kasih, aku lebih suka coklat hangat dari pada coklat panas." Aku mengambil coklat panas di tanganmu. Kurasa coklatnya sudah sangat dingin karena terlalu didiamkan, nasib coklat ini sepertinya sama denganku--terlalu lama didiamkan. Tapi tak mengapa, duduk di depanmu dan mengamatimu seperti ini saja aku sudah merasa hangat.

     Sudah satu jam kau menggabiskan waktumu dengan berkutat dengan buku-buku di rak, meloloskan setiap jilid buku yang sudah aku tata rapi. Dan mengacuhkan aku yang duduk di depanmu dengan tatapan penuh minat. Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Di antara tujuh hari dalam seminggu kau menemuiku di hari Kamis, saat di mana kunjungan sedang kosong dan seharusnya pengunjung pulang lebih awal. Di antara dua puluh empat jam kau menemuiku pada jam sembilan sampai jam sebelas. Itu pun kalau tidak telat. Dan hari ini kira-kira sudah sembilan puluh enam jam waktu yang kuhabiskan sejak pertama kali bertatap muka denganmu. Dan aku sudah jengah.

   "Bujang, aku mencintaimu." Kataku enteng, sambil masih memandangi matanya yang terbelalak kaget.
  
   "Kau mengatakan apa, Leila?"

  "Aku mencintaimu."

  "Maksudmu apa, Leila?"
  
  "Ya, aku mencintaimu. Tapi tidak perlu kaget seperti itu, aku hanya mengutarakan isi hatiku. Aku tidak meminta jawaban."

   "Leila, apa kau baik-baik saja?" Kau terlihat gugup sekali.

   "Aku baik-baik saja, sebaiknya kau lanjutkan membaca, jam kunjungnya hampir habis." Aku menengok jam di dinding, memasang senyum terbaikku sepanjang tahun.

     Kau membaca dengan gelisah, aku tahu itu. Bola matamu tak tenang menelusuri setiap huruf, sesekali melirik ke arahku yang masih saja memandangimu dengan senyum yang lebar.

                              Sedetik

Dua detik

Tiga detik

     Kau mengemasi barang-barangmu, meletakkan sembarangan buku-buku yang kau ambil tadi. Melemparkan gelas plastik coklat panas ke tempat sampah. Lalu berjalan tergesah-gesah mendorong pintu kaca tanpa memberi seulas senyum. Miris ya. Pergi tergesah-gesah tanpa memberi ucapan apapun padaku. Tapi tak mengapa, aku tidak marah padamu.
    

    Lihatlah, jejak kaki kotor itu, aku harus membersihkannya lagi. Mengepel sampai mengkilap. Lihatlah, buku-buku yang berserakan itu. Seharusnya kau jangan tergesa-gesa pergi, rapikan dulu rak buku tadi. Dan, hei apa kau tidak sadar telah menumpahkan setetes coklat panas yang sudah dingin itu ke salah satu halaman buku yang masih terbuka? Kau benar-benar membuat buku itu terlihat mengenaskan.


                               ***

            

   Kenapa kalian menatapku dengan tatapan seperti itu?  Aku tidak mengapa, pun tidak kecewa. Aku sekarang malah sangat senang. Bukan, bukan karena aku sudah mengatakan perasaanku, tapi karena Bujang tadi sangat lucu. Tidak sia-sia aku menyatakan perasaan bohongku. Setidaknya Bujang pulang lebih awal, dan aku bisa lebih lama berdiam diri di gudang ini sendirian. Kalian tadi lihat bagaimana ekspresi Bujang saat aku menyatakan perasaan settingan itu? Lucu sekali bukan? Kuharap dia tidak datang lagi dan membuat ruangan serta buku-buku ini menderita. Atau aku akan berpura-pura mengajaknya menikah.

Matahari Retak UjungnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang